Sebelum melangkah lebih jauh dari tukang sayur keliling tadi, Fina yang baru memasuki pelataran rumah mendikte kembali barang belanjaannya dalam kantung kresek.
Tidak lucu apabila dirinya sudah yakin telah mengolah semua bahan-bahan yang ada menjadi masakan, ia malah kelupaan untuk membeli bumbunya.
Sampai tak butuh waktu lama kala Fina menjejakkan kaki memasuki ruang tamu, dirinya melihat bagaimana diri Rifan sudah mengenakan seragam dan bergegas membawa tas kerjanya.
Rifan yang tadinya berniat untuk tak ingin bersinggungan dengan Fina, mau tak mau saling membalas tatap bingung.
Untuk pertama kalinya, Rifan tak tahu harus bereaksi dan berbicara apa dengan istrinya yang benar-benar dapat Fina rasakan perubahannya. Tak ada canda, tak ada senyum lepas yang entah mengapa selalu berhasil membuat hati Fina menghangat. Hanya tatap datar dan diam.
Padahal setiap kali diri Rifan melihatinya berpenampilan seperti emak-emak yang baru bangun dan langsung pergi berbelanja, selalu keluar kata-kata ejekan hingga membuat Fina merasa kesal atau malu sendiri.
Namun kini hanya kosong dengan tatap rasa marah dan kecanggungan luar biasa di antara mereka.
"Mas Rifan udah mau berangkat, mas?"
"Iya."
"Udah sarapan? Tadi aku sempet beliin kamu bubur ayam sama udah aku buatin teh di atas meja. Udah dihabisin kan?"
"Udah."
"Gimana rasanya? Bubur ayamnya sih bukan Pak Ujang yang biasa buatin, dia lagi sakit jadi istrinya deh."
"Sama aja," balas Rifan seolah acuh tak acuh dan sibuk mengenakan sepatu.
"Sini mas biar aku bantu—"
"Gak usah, udah bisa," balas Rifan yang tak lebih dari dua kata, menghindar cepat dari Fina yang sudah bersiap untuk berjongkok di hadapan.
Merasa tawarannya tak berharga lagi, Fina terdiam tak tahu harus membalas dengan apa. Laki-laki itu selalu meminta tolong dan melibatkan dirinya pada hal kecil sekalipun, kini Fina hanya mampu melihati bagaimana Rifan yang seolah memang tak lagi membutuhkan dirinya.
"Ya udah hati-hati ya mas berangkatnya, jangan ngebut nanti kalo ada apa-apa—"
"Ya," tolak Rifan dengan melengos kala Fina mengulurkan tangan hendak bersalaman mencium tangan suaminya.
Kini Fina tak ingin berlaku munafik bahwa ia merasa ada puluhan rasa sakit menerjang begitu saja. Sebegitu menjijikkan dirinya kah di mata Rifan hingga laki-laki itu tak ingin sedikitpun membiarkan Fina menyentuhnya?
Meski dengan mencelos hebat dan perasaan tak berdaya, Fina mengekor dan melihati bagaimana Rifan mulai menghidupkan motor. Namun ketika laki-laki itu hendak mengenakan helm, sosoknya berbalik dan mulai menghampiri pelan.
Secercah harapan seolah timbul dalam batin Fina hingga membuatnya sedikit membulatkan mata. Dengan satu gerakan cepat meraih sesuatu dalam saku, Rifan menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah dengan Fina menatap sebentar tak percaya.
"Ini apa, mas?"
"Uang bulanan. Buat kamu belanja atau beli kebutuhan rumah yang lain. Gaji bonus aku bulan kemarin udah masuk rekening. Kamu pake aja."
"Tapi uang yang kemarin masih ada, mas. Ini kamu simpen aja gapapa kok. Aku juga udah belanja tadi."
"Kamu bisa pake ini buat minggu depan atau buat kamu pergi belanja barang kesukaan kamu—"
"Gak usah, aku masih ada—"
"Atau buat kamu beli lagi selimut kesukaan kamu yang udah aku pake tadi malem. Kan kamu juga gak pernah mau ada satu orang pun sentuh barang itu termasuk aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...