"Gapapa, walaupun kita gak bisa sama-sama, tapi kan kita tetep bisa jadi temen baik. Jangan nangis lagi ya? Gimana pun juga pasti suami kamu gak pengen lihat kamu nangis kaya gini. Gapapa ya..." coba tegak Irfan pada wajah Sivia diikuti anggukan kecil darinya.
Meski murka amarah benar-benar tak tertahan terus bergejolak dalam diri, namun Irfan paham bahwa dirinya selalu lemah di hadapan Sivia, kala tatap teduh gadis itu selalu bisa menenangkannya.
"...padahal dulu kamu juga pernah nanya, siapa perempuan yang beruntung bisa dapetin aku. Tapi sekarang gantian aku yang nanya, siapa suami yang beruntung bisa dapetin kamu?"
"Hahah, cuma orang biasa kok. Abdi negara."
"PNS juga? Kalo sama-sama PNS, kenapa gak milih aku aja coba?" sedikit canda Irfan mencairkan suasana.
"Hahah bukan mas, tentara biasa kok."
"Kalo tentara pasti keren dong."
"Cuma mayor biasa, Mas Irfan. Tapi saya gak mau ngasih tahu siapa nama suami saya loh ya. Nanti kamu nyariin dia lagi, ngajak berantem eh malah kamu yang babak belur nanti."
"Dasar, ngremehin banget!" senggol Irfan pelan dengan diri mereka mampu saling terkekeh, "Tapi..."
"Hmm?"
"...kalo aku nanya soal anak kamu, gapapa kan?"
Tanpa menjawab, Sivia menarik tangan Irfan untuk bisa ia sentuhkan pada perutnya lembut.
Irfan terperanjak, tak tahu mengapa Sivia mengambil keputusan demikian. Namun kala dirinya mulai merasakan bagaimana kehangatan mampu diciptakan dari siapapun sosok bayi di dalam kandungan, membuat Irfan terlena.
"Dari kemarin sih dia aktif banget. Tapi nanti kalo udah waktunya, saya kenalin deh sama kamu. Semoga kalian akur deh ya, soalnya nanti kamu pasti dipanggilnya jadi Om Irfan hahah," terkekeh Sivia, dengan Irfan melirik bagaimana gadis itu tersenyum tipis ikut memandang calon anaknya dengan penuh tatap tulus.
"Tapi kalo... suatu saat nanti kita berdua emang udah gak punya waktu buat bisa sama-sama lagi, kalo semesta udah menghapus benang garis cerita, dan kita saling sibuk sama kehidupan masing-masing... saya tetap mau ngenalin kamu ke anak saya yang pertama ini. Dia laki-laki, ya semoga sih ganteng seperti bapaknya."
"Iya, nanti kalo mirip aku malah nakutin."
"Hahah, gak gitu juga loh, Mas Irfan kamu ini."
"Iya udah iya, pasti ganteng seperti bapaknya. Udah punya nama?"
Sivia mengangguk, "Agam Soedartono. Gak muluk-muluk sih, saya berharap dia bisa nerusin jejak karir ayahnya jadi abdi negara."
"Kalo anak yang kedua?"
"Satu aja belum lahir, gimana mau yang kedua sih, mas?"
"Loh, siapa tahu kan?"
"Hahah iya sih, tapi... kalo saya dan suami pengen punya anak kedua nanti pengennya perempuan ya. Namanya siapa ya? Belum kepikiran nih."
"Kalo perempuan pasti cantik mirip ibunya."
"Pasti dong. Tapi... kalo saya namain Ghea pasti lucu ya?"
"Iya, lucu dan cantik seperti ibunya. Tapi masa aku nanti dipanggilnya om? Berasa udah tua aja."
"Itu jadi tanda-tanda kalo kamu juga dikejar umur buat nikah. Buruan gih, nyari perempuan yang bener-bener peduli sama kamu, perhatian sama kamu, dan sayang sama kamu lahir batin."
"Gimana bisa aku cari perempuan lain, kalo orang yang amat sangat ingin aku habiskan waktu bersama sampai tua nanti itu kamu? Harus cari siapa lagi?"
Sivia yang tak menduga jawaban tersebut, terdiam mengamati bagaimana Irfan yang masih memegangi perutnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...