Memintas Jarak Rindu #50

164 18 4
                                    

Dengan menenteng tas dan menarik koper setelah hampir lima belas menit menunggu di ruang pengambilan bagasi, Ghea sudah mulai merasa jompo dengan kakinya terasa kebas dan kram hingga memutuskan untuk berdiri sejenak mengambil nafas mengamati bagaimana megah bandara Sultan Hasanuddin Makassar ini.

Ghea memang tidak tahu-menahu soal hal-hal berbau arsitektur, namun pemandangan dan interior yang disajikan oleh bandara ini benar-benar memberi kesan seolah Ghea memang sudah tiba di tanah bugis yang penuh dan kental akan budaya luar biasanya.

Sejenak Ghea mendongak membaca plang arah yang menunjuk bahwa pintu keluar penerbangan domestik tak jauh dari tempatnya berada.

Padahal penerbangan dari bandara Soekarno-Hatta sampai kemari hanya membutuhkan waktu dua jam tiga puluh menit saja, namun rasa lelah perjalanan membuat tubuh Ghea benar-benar serasa baru dihantam oleh pegulat professional saja. Gini nih kalau dirinya sudah jarang berolahraga.

Tanpa menunggu waktu lagi, Ghea kembali melangkahkan kaki meski pandangannya masih berusaha menyisir ke berbagai arah. Siapa tahu ada ojek barang bawaan sehingga Ghea tak perlu bersusah payah seperti ini.

Bukan maksud Ghea untuk bermanja, tapi ia juga bingung pada dirinya sendiri kenapa harus membawa banyak barang seperti ini. Seolah dirinya akan tinggal lama saja. Mana koper yang Ghea bawa juga muat jika diisi dua ekor tuyul. 

Tapi berpikir lagi kalau Asran sudah mengijinkannya untuk bisa menikmati waktu libur di sela-sela jadwal padat seperti ini, tentu tak ingin Ghea sia-siakan lagi.

Tak butuh waktu lama kala dirinya bisa menghirup udara segar keluar melewati pintu masuk kaca besar bandara, Ghea mulai celingukan mencari kendaraan. Banyak taksi yang terlihat sih memang, namun Ghea merasa tak yakin.

Dirinya datang kemari tanpa sepengetahuan siapa-siapa termasuk Yudhi, tidak lucu rasanya kalau ada apa-apa, Ghea malah tak bisa meminta tolong karena tak mengenali siapapun disini.

Sampai satu ide terlintas di kepala cepat, Ghea mulai memesan taksi online hingga tak butuh waktu lama, terlihat satu mobil yang hanya berjarak dua puluh meter darinya bergerak mendekat dan berhenti tepat di hadapan.

Kalau begini caranya kenapa dirinya tidak memesan taksi yang ada di depan matanya saja ya?

"Dengan kak... Ghea ya?" seru sosok laki-laki paruh baya menurunkan kaca mobil Xenia hitam-nya.

"Iya... Pak Daeng ya?" sedikit menunduk Ghea menatap, hingga dibuat mentautkan alis pada sosoknya yang cekatan keluar dari mobil.

"Iya kak, wah kebetulanji. Ayo-ayo masuk, cuma... ini barang bawaannya ya?" senyumnya sumringah benar-benar memberi kesan ramah dengan Ghea mengangguk mengiyakan.

"Iya, pak. Cuma ini, tapi hati-hati ya ini berat loh."

"Udah, ndapapaji.  Pasti aman. Biar saya masukan ke bagasi ya. Kak Ghea masuk aja ndapapa."

Rasanya keputusan Ghea tak salah untuk memesan taksi online dan bertemu akan sosok pria paruh baya yang mungkin seumuran ayahnya tersebut, yang mampu menampilkan sikap supel membuat Ghea serasa diperlakukan bagai seorang ratu saja.

"Nah, udah siap ya, kak. Semua barang-barangnya ada di bagasi belakang semua. Kita mau kemana?" kembali Pak Daeng ke dalam mobil, mulai mengenakan sabuk pengaman dan kacamata kala menggeser-geser maps pada hapenya yang ditempelkan pada dashboard.

"Ke... mana ya? Kalo dari alamat yang saya punya sih saya pengen ke perumahan Pabbulu, cuman... kayanya ke kantor dinas UPT aja deh, pak. Soalnya pacar saya masih di jam kerjanya," lirik Ghea pada arloji menunjukkan pukul sebelas siang.

"Ohhh begitu, ke perumahan Pabbulu ya?" ulang Pak Daeng seolah meyakinkan Ghea pada sesuatu.

"Iya, pak. Kenapa? Ada sesuatu ya?"

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang