Keadaan Yang Semakin Memperjelas #60

150 18 4
                                    

Padahal belum apa-apa, Fina sudah dibuat terkesiap menyadari motor ojek online yang dirinya tumpangi, sudah mulai memasuki kompleks perumahannya. 

Padahal belum selesai diri Fina mendikte apa-apa saja bahan masakan dalam kantung kresek yang dirinya beli dari pasar, ia sudah mulai kelabakan berusaha mencomot beberapa lembar uang dari dalam dompet.

Padahal Fina belum tua-tua amat, namun keadaan benar-benar memaksa dirinya untuk bersikap selayaknya emak-emak saja. 

Begini nih jadinya kalau Fina sok-sok ingin hidup sederhana dan ala kadarnya, padahal dengan sukarela Pak Saputro sudah menawarkan Fina untuk membawa mobilnya tadi.

"Udah sampe, mbak. Sini ya?" ucap laki-laki sang pengemudi ojek dengan aroma parfum refill lima puluh ribuan yang masih saja tercium harum.

"Oh iya, mas. Udah sampe ya? Bentar, aduh saya ambil uang dulu. Maaf ya mas udah banyak repotin," berusaha turun Fina dengan melepas helm yang dipinjamkan berasa couple-an.

"Gapapa, mbak. Kalo rumah mbak disini, berarti gak jauh dari pasar tadi dong ya."

"Iya sih, tapi kalo saya jalan kaki juga nanti pulang-pulang kaki saya jadi gempol kan mas haha."

"Iya, bener juga ya," terima laki-laki itu pada helm yang Fina sodorkan kembali, "Tapi mbaknya asli sini juga atau gimana?"

"Saya asli sini kok, cuman beberapa tahun ini saya tinggal di Jakarta aja. Kenapa, mas?"

"Oh gitu, gapapa. Soalnya... logat bicara mbaknya udah beda."

"Hahah emang bedanya gimana, mas?"

"Maksudnya gak medok kaya saya."

"Sama aja kali, mas haha. Oh ya, tadi semuanya jadi berapa ya?"

"Dua puluh ribu, mbak."

"Oke, dua puluh ribu ya? Bentar, nah... makasih ya, mas," ulur Fina pada selembar uang kertas.

"Iya sama-sama. Oh ya, mbak..." ucapnya dengan sorot keraguan datang, seolah ada satu hal yang ingin diucapkannya.

"Kenapa, mas? Kurang ya?"

"Gak kok, mbak."

"Ada yang kebawa sama saya?"

"Bukan juga. Tapi kalo boleh tahu, mbak sering pergi ke pasar tiap hari atau..."

"Ya... gak mesti juga sih, mas. Tapi kayanya bakal sering juga sih, soalnya saya juga punya usaha kedai kopi disini."

"Oh gitu, kalo mbak gak keberatan dan... mbak juga mau atau berkenan, saya mau kok nganterin mbak nya tiap hari ke pasar."

"Maksudnya mas mau saya jadi pelanggan tetap tanpa pesan lewat aplikasi? Boleh kok boleh, kalo gitu saya minta nomor hape—"

"Bukan, mbak. Maksud saya... saya pengen kenal lebih jauh dan... deket sama Mbak Fina. Itu kalo mbak mau dan gak keberatan," berhasil jujurnya dengan Fina mulai memahami.

Fina tak ingin berbohong bahwa siapapun sosok laki-laki di hadapan yang masih tak dirinya kenali namanya, terlihat sopan dan baik meski sepanjang perjalanan mereka ngobrol ngalor-ngidul tak ada juntrungannya, terlebih sosoknya juga tak kalah imut dan lucu.

Namun kali ini tidak untuk Fina. Seolah rasanya sudah cukup bagi Fina untuk bermain hati lain.

"Oh, itu... gimana ya?" bingung Fina merangkai kata penolakan agar tak menyakiti hati laki-laki itu.

"Kalo soal bayarnya mbak gak usah bingung kok—"

"Bukan itu mas, tapi—"

"Atau mbak gak usah bayar juga gapapa. Karena saya mau berusaha untuk memantaskan diri buat mbaknya."

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang