"Yudhi, kita mau kemana sih?" tudung Ghea dengan telapak tangan pada wajahnya tak tahan kala mengekor pada laki-laki yang sedari tadi memimpin jalan namun tak menemui tujuan.
Sudah beberapa pedagang kaki lima mereka lewati, namun laki-laki itu terus saja berjalan di samping trotoar yang tak jauh dari kantor. Mana cuaca panas siang hari membuat Ghea ingin sekali rasanya meneguk air es se-baskom.
"Katanya mau makan siang."
"Iya, tapi tadi kan Mbak Desti udah mau ngajakin gue buat nyari makan di luar, eh malah gak dibolehin sama kamu."
"Nanti kalo kamu makan siang sama Desti, gak bisa berduaan sama aku," balasnya santai namun tidak bagi Ghea, apakah laki-laki itu baru saja mengatakan bahwa ia tak rela kalo Ghea makan bersama orang lain?
Tanpa menjawab lagi, Ghea yang dari tadi menuruti pergelangan tangannya Yudhi genggam erat, mulai memasuki sebuah tempat makan nampak cukup ramai dengan satu sosok ibu-ibu yang langsung menyambut mereka. Terutama kepada Yudhi yang langsung menawarinya minum dingin.
"Eh... Pak Yudhi, kok baru keliatan lagi sekarang?" sapanya dengan logat kental.
"Iya ibuk, bemana kabarnya? Ibu sehat? Pesan biasa ya, kalo bisa bikin yang special," balas Yudhi yang kini tak lagi jadi pertanyaan di benak Ghea karena mereka berdua sama-sama datang dari tanah Makassar yang sama.
"Alhamdulilah baikji. Siap, pakk—loh, Pak Yudhi bawa siapa itu kesini?"
"Cuma bawa anak magang, buk," balasnya santai membuat sosok ibu-ibu yang tadinya biasa saja, dibuat histeris ingin berteriak kala melihati diri Ghea.
Namun tanpa memberi kesempatan Ghea untuk balik berkenalan, Yudhi terus menarik tangannya menjauh dari ruang depan untuk tiba di sebuah ruang rooftop yang hanya terdapat diri mereka berdua meski ada beberapa meja dan kursi menganggur disana.
Tapi lebih dari itu semua, Ghea dibuat terpukau pada satu hamparan pemandangan yang ada nampak asri dan begitu hijau. Terdapat satu buah gunung di kejauhan sana, sawah, sungai, benar-benar memanjakan mata.
Dirinya baru sadar ada sebuah kenikmatan mata dibalik rumah-rumah yang cukup padat di kota ini.
"Yudhi kita dimana? Kok gue baru tahu ada pemandangan indah gini?"
"Bagus gak?" bantu tarik Yudhi pada satu kursi yang ada untuk bisa Ghea duduki.
"Bagus banget ya ampun. Makasih deh ya... paksu."
"Paksu? Bahasa planet mana lagi?"
Padahal Ghea sengaja menggoda laki-laki itu dengan menyebut panggilan gaul tersebut, eh malah yang dijahili tidak paham.
"Kamu gak tahu gitu panggilan paksu artinya apa?"
"Pake susu?"
"Hahah bukan ih, paksu itu... artinya pak suami. Jadi... makasih deh ya pak suami udah ngajakin kesini. Saranghaeo," bentuk hati Ghea dengan jarinya membuat Yudhi salah tingkah maksimal yang coba ia sembunyikan dengan bersikap biasa saja meski malah membuat sikapnya seperti anak kecil.
"Hahaha gak usah salting gitu dong."
"Gak ada yang salting, biasa aja," kerjap mata Yudhi polos.
"Haha iya deh iya, eh ini menunya ya? Kamu makan apa? Ada apa aja sih? Makanan khas Makassar semua ya?" miring badan Ghea ikut menilik pada daftar menu yang Yudhi pegang.
"Kamu sendiri mau makan apa? Ada coto makassar, ada sop konro, ada jalangkote, ada burasa."
"Ehm... mau... apa ya? Coto makassar aja apa ya? Tapi rasanya gimana deh? Soalnya gue belum pernah hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomansaGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...