Pertemuan Pertama #2

758 33 2
                                    

Sialan, padahal sudah dua minggu berlalu sejak insiden konyol nan bodoh yang menimpa dirinya, Ghea masih tak habis pikir bagaimana ia kini benar-benar menjadi seorang istri sah secara agama bersama sosok laki-laki yang terduduk di meja kerja tak jauh darinya itu.

Layar laptop di hadapan yang menampilkan pekerjaannya tak Ghea hiraukan, dan lebih memilih untuk memperhatikan secara seksama bagaimana Yudhi—sosok kepala pemerintah sekretariat divisi humas itu, nampak sibuk dengan dunia sendiri.

Alisnya yang tebal, tatapan mata yang tajam bak elang, bulu mata yang indah, bibirnya yang kemerahan, dan tak lupa pula wajah ganteng yang menjadi idola emak-emak divisi sebelah, benar-benar membuat Ghea terheran sendiri.

Bagaimana bisa laki-laki itu menjadi kepala divisi humas di usianya yang masih dua puluh delapan tahun? Padahal jelas-jelas dalam satu ruang ini, banyak karyawannya yang jauh lebih senior. Benarkah ia sepintar yang dibicarakan?

Tapi plis deh, Ghea yang notabene anak magang bau kencur, secara tidak sengaja, dipaksa, dan tak pernah ada rasa, benar-benar menikahi salah satu sosok kepala pemerintahan alias atasan sekaligus pembimbing magangnya.

Padahal di benak kepala Ghea selama ini, dirinya akan mengenal dan menikahi sosok pangeran tampan selayaknya Adipati Dolken, Nicholas Saputra, atau paling mentok... Refal Hady kek. Bukan mas-mas yang awal perkenalan mereka saja benar-benar tidak enak diingat.

Perasaan marah tentu masih bersarang dalam diri Ghea, tentang Yudhi yang memutuskan sepihak untuk menikahinya, tentang bagaimana dirinya bisa berakhir disini, tentang bagaimana Ghea merasa nasib karirnya selalu berada di ujung tanduk setiap waktu, dan tentang semua kemungkinan baik yang terjadi apabila dirinya tak menerima tawaran untuk magang disini kala itu.

Ghea hanya mahasiswa akhir yang ingin segera lulus, mengepakkan sayap karir bermusiknya lebih lebar, dan membanggakan diri serta ayah dan kakaknya. Hanya itu saja.

Di sisi lain, Yudhi yang sedari tadi berfokus pada hamparan data dan angka dalam layar komputer, seketika melirik diri Ghea yang ketahuan mencuri pandang padanya.

Menyadari hal itu, secepat kilat Ghea melempar tatapan ke arah lain dengan mati kutu bak monyet yang ketahuan mencuri celana dalam tetangga.

Entah itu pada sosok Pak Slamet dan Pak Gun yang mengemasi kamera untuk tugas liputan seraya tertawa entah membicarakan apa, pada sosok Bu Fitri yang menata banyak berkas dengan rapi untuk dibawa ke kantor sekretariat bawah, hingga Akbar yang sedari tadi mondar-mandir keluar masuk ruangan tak jelas.

"Pak Yudhi, kita ijin meliput acara launching jembatan baru di kampung sebelah ya," pamit Pak Gun.

"Iya, sama Pak Slamet ya? Bawa apa aja?"

"Cuma bawa kamera DSLR sama mirrorless, pak," jawab Pak Slamet menunjuk tas.

"Gak sekalian di bawa lensanya? Tuh yang baru masih nganggur."

"Boleh, pak?" berbinar mata Pak Gun yang memang menyukai dunia fotografi, langsung ngibrit begitu saja untuk mengambil benda yang dimaksud kala Yudhi mengangguk mengijinkan.

"Pak Yudhi, saya mau ke sekretariat bawah buat ngasih berkas dokumen ini. Bapak mau nitip?" ribet Bu Fitri membawa banyak stopmap membuat Yudhi merasa tak tega.

"Gak ada bu, mau saya bantu?"

"Eh gak usah, saya bisa sendiri kok."

Ghea paham bukan maksud Bu Fitri untuk menolak bentuk kebaikan dari Yudhi, namun sudah cukup banyak sosoknya membantu, membuat semua karyawan divisi humas ini merasa sungkan.

Ghea sih boro-boro sok-sok mau nolak, kalo ada yang nawarin kenapa harus jual mahal coba?

"Pak bos, lihat duren yang kemarin Pak Mahfud bawa gak?" celingukan Akbar pada sekitar.

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang