Sudah terbiasa untuk tak menghiraukan rasa ngantuk dan menjemput alarm yang telah berbunyi di jam setengah lima pagi seperti ini, Ghea bersiap menarik kesadaran dan mengingat-ingat kembali jenis bentuk masakan apa yang akan dirinya sajikan hari ini.
Padahal baru beberapa hari ada disini, baru beberapa hari pula dirinya tinggal satu atap bersama Yudhi, namun Ghea benar-benar seperti sudah terbiasa untuk menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Ya meskipun mereka belum ada di satu ranjang yang sama pula di setiap harinya, namun dengan membayangkannya saja, sudah membuat Ghea cukup yakin bahwa dirinya tak siap untuk terlihat jelek seperti singa kelaparan saat bangun tidurnya.
Rambut yang acak-acakan, tak tahu apakah dirinya ngorok atau tidak karena kelelahan, sampai tak tahu apakah dirinya siap memperlihatkan belek mata pada Yudhi yang terbiasa melihatinya cantik karena make-up di tiap hari. Ghea tak siap.
Sebelum benar-benar yakin untuk beranjak dari terduduknya di ujung ranjang, Ghea berusaha mengusap-usap, menepuk-nepuk wajah, dan menggeleng-gelengkan kepala menepikan rasa kantuk.
Dirinya memang tidak ingat akan mimpi apa yang dialami, namun ingatannya tak pernah lupa pada percakapan antara Yudhi dan keluarga Pak Rinaldi tadi malam.
Semua itu sudah terjadi sembilan jam lalu, namun masih membekas benar dalam diri menggugah rasa bersalah lain dalam diri Ghea. Bahkan dari cara bersikap Yudhi, laki-laki itu masih berusaha menjaga perasaan kedua calon mertuanya.
Ghea tahu dirinya tak ingin memperkeruh suasana untuk Yudhi agar tak mengatakan hubungan mereka yang sesungguhnya, hanya saja... ada satu ketidakrelaan dan rasa cemburu besar, kala mengetahui baik Yudhi dan Pak Irfan terlihat masih ingin meneruskan rencana lama mereka.
Lantas jika memang benar begitu, untuk apa kehadiran Ghea disini? Untuk apa Yudhi terus mempertahankan dirinya? Sebagai mainan semata?
Ah tidak, sebelum pikirannya benar-benar mengambil alih denganmembawa energi negatif yang hanya akan membuat kepalanya pening, Ghea berusaha menarik nafas dan meluruskan niat untuk membuatkan bekal makan seperti biasa.
Namun baru saja Ghea membuka pintu, tak dinyana tak diduga, Ghea dibuat terlonjak kaget mendapati sosok yang baru saja berkeliaran di pikirannya sudah berdiri di hadapan menatap sama terkejutnya.
Mana laki-laki itu masih nampak baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan, kaos tidur ala kadarnya, dan celana pendek se-lutut yang membuat Ghea ingin menutup mata saja.
"Ihh Yudhi, kamu ngapain disini eh?" beralih pandang Ghea dan menutupi setengah wajah bangun tidurnya.
Padahal baru tadi Ghea mengatakan pada diri sendiri bahwa dirinya belum siap jika Yudhi mendapati wajah bantalnya. Eh sudah kejadian saja, semesta memang gemar bercanda.
"Aku nungguin kamu bangun."
"Ya kenapa harus nungguin aku bangun?"
"Aku mau ngomongin sesuatu sama kamu."
"Ngomongin apa? Tinggal ketok pintu aja."
"Ya aku takut ngebangunin kamu kalo kamu masih tidur."
"Hah? Gimana sih? Aku udah bangun kali jam segini. Lagian kamu ngapain nekat kesini cuma pake celana pendek kaosan—ih Yudhi..." karang alasan Ghea padahal dirinya sekedar malu-malu.
"Ya gimana... kamu juga dari tadi malem aku coba ketok pintunya gak jawab, aku kira udah tidur. Aku telfon juga hape kamu mati."
"Y-ya maap, baterai hape aku tuh mati! Lupa buat di-charge," bohong Ghea padahal ia memang sengaja memutus semua sambungan telepon semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...