Merengkuh Kehangatan #66

150 15 2
                                    

28 tahun yang lalu.

Tak payah untuk melihati waktu meski sudah setengah jam terus berdiri di depan pintu masuk sebuah pasar malam, Irfan masih berusaha untuk menepati janji meski kehadiran Sivia masih tak kunjung terlihat.

Dari sekian orang yang berlalu lalang, dari sekian orang yang datang dan pergi, tak nampak sedikit pun diri gadis itu akan datang.

Padahal semua bentuk keseruan yang telah terbayangkan dalam kepala, sudah tak sabar untuk bisa Irfan wujudkan dengan berbagai gegap gempita perasaan pula. 

Bahkan dirinya sudah kehilangan hitungan akan berapa kali saja ia telah melirik pada setiap bus dan mobil yang datang, berharap bahwa wajah cantik itu akan dirinya lihati lagi.

Sampai ketika Irfan mulai kehilangan harapan, sampai ketika dirinya dibuat sadar diri dengan sok-sokan mengajak perempuan seperti Sivia, datangnya sebuah bus lain berhenti tepat di depan sana diikuti satu langkah kaki turun menghampiri, sontak mengundang senyum lebar dan kelegaan besar dalam diri.

Bukan hanya pada Sivia yang nampak amat sangat cantik mengenakan pakaian dress bunga-bunga dan rambutnya yang ia juntaikan indah, namun juga fakta bahwa gadis itu benar-benar menepati janjinya sendiri.

"Cieee udah nunggu lama pasti ya?" tembak gadis itu mengejek.

"Gak, baru aja dateng kok."

"Ehmm... bohong, orang kamu keliatan bosen gitu. Maaf ya, soalnya tadi ada masalah sedikit di jalan. Gak marah kan?" intip Sivia pada ekspresi Irfan yang sudah coba disembunyikan.

"Harus marah gak ya?"

"Hahah gak boleh gitu, kan saya udah minta maaf. Yah?" pegang lembut Sivia pada tangan Irfan.

"Ya udah iya dimaafin."

"Yess udah baik, pemaaf lagi haha. Yuk mau langsung masuk aja?"

"Ada maunya aja muji-muji," ikut mengekor Irfan memasuki pintu gerbang pasar malam menghampiri seorang petugas loket.

"Bukan muji, mas. Kan sebagai rasa tanggung jawab saya juga hehe. Tapi bagus gak sih kalo saya pake pakaian gini? Gak keliatan mulai kaya ibu-ibu kan?"

"Gak kok, bagus. Tetep cantik."

"Tuh kan, sekarang yang muji-muji siapa? Ada mau apa hayo?"

"Bukan gitu—dasar," kehabisan kata Irfan pada Sivia yang selalu pintar membolak-balikkan kalimatnya.

"Hahaha, bercanda Mas Irfan, bercanda. Permisi mbak, tiket buat dua orang ya," raih beberapa lembar uang Sivia dari tas samping.

"Oke, tiket untuk dua orang semuanya lima ribu, silakan ya. Karcis ini hanya berlaku untuk tiket dan beberapa wahana saja. Tidak termasuk area permainan berhadiah."

"Pake uang aku aja—" sergah Irfan cepat.

"Ehh gak usah, Mas Irfan. Pake uang saya dulu aja ya—ini ya mbak semuanya lima ribu. Terima kasih," bersikeras Sivia.

Irfan yang tak ingin kalah dan tak ingin sampai gadis itu mengeluarkan uang sepeserpun malam ini, berusaha mencomot kertas karcis meski kalah cepat dengan Sivia yang lebih dulu menyabetnya meninggalkan senyum kemenangan.

"Kurang cepet, wlek! Hahah, yuk masuk," ejek gadis itu dengan Irfan menghela nafas melihati kelakuannya.

"Masa aku yang ngajak tapi kamu yang bayar, dok."

"Gapapa lagi, sekali-kali. Soalnya saya juga udah lamaaa banget pengen dateng ke pasar malam lagi, eh baru kesampaian sekarang. Itu pun harus diajak sama kamu."

Jatuh Hati, Aparatur Sipil NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang