Yudhi yang telah bersiap untuk menepati janji bertemu dengan Arin di salah satu kedai kopi yang tak jauh, celingukan mencari kunci mobil hingga bergegas untuk menyusul kedatangan gadis itu yang sudah menunggu sedari tadi.
Namun baru saja dirinya membuka pintu depan rumah, Yudhi setengah terperanjak kaget dengan kehadiran ayahnya di hadapan seraya mengepalkan tangan di udara berniat mengetuk pintu.
Tentu sejuta kalimat tanya berkeliaran di kepala, tentang segala kemungkinan yang terjadi atas kehadiran ayahnya itu meski hubungan mereka sedang renggang dan tidak baik-baik saja.
Antara ayahnya yang ingin membawa dirinya pulang ke rumah dengan paksa, atau ayahnya sekedar ingin meminta hal yang bersangkutan dengan kepentingan dirinya sendiri saja. Mustahil jika Yudhi mendengar kalimat maaf datang dari pria paruh baya itu.
"Bapak ngapain disini?" tak ingin berbasa-basi Yudhi menanyakan niatnya.
Pak Irfan yang mendapat sambutan kurang hangat, hanya bisa memaklumi dalam hati.
"Bapak boleh bicara sebentarji sama kamu?"
Awalnya Yudhi merasa tak yakin. Tanpa aba-aba dan meminta, pria itu datang begitu saja.
Namun Yudhi tak ingin berbohong, bahwa ia sedang melihati sorot tatap berbeda dari ayahnya tak seperti yang dirinya kenali selama ini.
"Bicara apa?" taut kedua alis Yudhi.
"Bapak boleh masuk sebentarkah?"
"Saya mau keluar. Ada urusan lain—"
"Bapak cuma mau ngomong sebentarmi sama kamu," sergah Pak Irfan cepat tak menyerah, kala melihati Yudhi yang seperti sudah tak ingin lagi bertatap dengannya.
Dari sekian patah hati yang tumbuh, hilang, dan pergi. Sesungguhnya patah hati teramat sangat dari seorang ayah, yakni ketika kehadirannya sudah tak lagi disambut baik oleh sang anak yang selalu dirinya banggakan.
Tentu saja Yudhi selalu menjadi anak yang paling bisa Pak Irfan banggakan selama ini. Dan melihati laki-laki itu memendam amarah dan murka serta berlagak memusuhinya, membuat hati Pak Irfan terasa sakit.
Sesungguhnya Yudhi benar-benar tak ingin memberi satu pun kesempatan pada pria paruh baya itu.
Sudah cukup mereka bertengkar sendiri yang hanya akan menghabiskan tenaga saja, padahal masih ada hal lain yang harus dirinya lakukan.
Namun bagaimana pun, setelah semua apa yang Pak Irfan lakukan, pria itu tetaplah ayahnya yang membuat Yudhi lagi-lagi harus mengalah kesekian kali, dan membukakan pintu lebar-lebar bagi Pak Irfan untuk bisa ikut masuk ke dalam rumah.
Mungkin Arin harus menunggu kedatangannya sedikit lebih lama, dengan Yudhi mulai menutup pintu dan ikut terduduk di salah satu sofa yang ada.
Sejenak Pak Irfan mengedar pandang kagum pada isi rumah dinas yang Yudhi sewa.
Tak heran mengapa rumah ini hanya bisa ditempati oleh karyawan staff kantor utama saja. Bahkan ruang tamu ini sendiri sudah lebih mewah dari ruang tamu rumahnya.
Sampai tak ada satu pun di antara mereka yang ingin membuka mulut, hanya sepi dan sunyi dengan Yudhi yang tertunduk menyilangkan tangan. Tak pernah terbersit di kepala Pak Irfan akan sebegini kaku interaksi mereka.
Yudhi kecil yang selalu dirinya lihati akan terus bertanya pada segala hal karena rasa penasaran, kini berubah menjadi Yudhi dewasa yang bahkan untuk sedetik menatapnya pun enggan. Apa yang salah?
"Ehem, kamu sewa rumah ini berapa rupiah per tahun?"
"Saya ndak bayarji, sebagai hadiah tunjangan dikasih pak gubernur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
Storie d'amoreGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...