Kursi-kursi tamu yang dihias sedemikian rupa, karpet merah panjang yang dijulangkan dari depan pintu masuk venue hingga altar perjanjian, beberapa camilan dan makanan hangat siap disajikan, beberapa pernak-pernik indah nan cantik, serta beberapa lampu terang menambah keintiman suasana.
Ghea tak mampu menyembunyikan seulas senyum kala membayangkan dirinya akan berjalan mengenakan dress pernikahan putih sederhananya, namun tak meninggalkan kesan glamor.
Dengan ditatap oleh banyak pasang mata keluarga serta kerabat yang berbahagia, diiringi musik nan merdu menggugah rasa, serta upacara purna praja dharma astha brata yang tak pernah terlintas di kepala Ghea akan dirinya ikuti.
Namun lebih dari itu semua, Ghea tak mampu menepis ledakan rasa bahagia dalam diri, mengingati bahwa sosok laki-laki yang mau dan rela menghabiskan seluruh sisa perasaan bersamanya, adalah Yudhi yang amat sangat dirinya cintai sepenuh hati.
Benar apa kata orang, tak ada yang lebih membahagiakan daripada seseorang yang menyadari bahwa kehidupan dan dunianya akan baik-baik saja, ketika yakin bahwa ia akan menghabiskan sisa waktunya bersama orang yang tepat.
Tanpa perlu bertanya tanpa perlu diminta, Yudhi akan selalu menjadi orang yang tepat bagi Ghea begitu pula sebaliknya.
Ghea berdiri menatap dihadapan satu kaca besar kamar hotel yang menampilkan pantulan betapa cantik dirinya kini, menyadari bahwa ia akan berusaha keras untuk selalu menjadi orang yang tepat pula bagi Yudhi, sepanjang hidupnya.
"Cieeee senyam-senyum mulu," celetuk sebuah suara datang kembali menutup pintu, hingga mendapati bagaimana Serafina yang tak kalah nampak menawan mengenakan dress bridesmaid pastelnya.
"Senyam-senyum mah di luar, kalo di dalem tetep dagdigdug, jeng—"
"Ya elah kaya lo belum pernah dinikahin aja."
"Lo ngejek ya? Kan terakhir gue dinikahin juga karena diarak sama warga kampung!"
"Hahaha iya-iya, bercanda. Gak berani macem-macem gue sama perempuan paling bahagia hari ini."
"Dih kenapa sih," canda mereka berdua tertawa.
"Mbak Ghea, saya rapihin dulu rambutnya gapapa?" interupsi Lydia, seorang MUA yang dirinya kenali selalu menjadi orang favoritnya.
"Iyah, boleh kok. Tapi bagus gak sih dress yang gue pake, Fin? Yeuhh kenapa malah nangis lo?" menoleh Ghea mendapati bagaimana sahabatnya itu menutupi mulut dengan telapak tangan dan mata berkaca.
"Emang gak boleh? Gue tuh kagum aja bisa ngelihat lo yang cantik banget gini, Ghe. Gak nyangka aja lo yang kolot, preman, dan urakan gak tahu diri bisa se-cantik sekarang."
"Lo pengen gue santet ya, Fin?"
"Hahah gue seneng banget lo bisa bahagia sekarang," tawa di atas tangis Fina yang langsung merengkuh dalam peluk, dengan Ghea membalas.
"Plis jangan nangis dulu, make-up gue luntur nanti, Fin. Huftttt," tarik nafas Ghea menguatkan diri sendiri. Kenapa sih hal serba pernikahan seperti ini selalu terasa sendu?
"Ghe, papa boleh masuk?" ketuk satu pintu dari depan, dengan mereka mulai mendapati Pak Andika terlihat begitu tampan mengenakan kemeja batiknya.
Tak ada salahnya untuk sehari saja, ayahnya itu meninggalkan seragam kebanggaannya. Toh masih tetap terlihat amat sangat tampan rupawan.
Tapi tidak, Ghea sedikit menyayangkan kehadiran ayahnya itu yang kemari malah diikuti rasa haru menelungsup begitu saja dalam diri.
Pokoknya, Ghea tidak boleh menangis sebelum dirinya berjalan berdampingan dengan Yudhi menuju panggung pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Hati, Aparatur Sipil Negara
RomanceGhea Soedartono -- harus menerima takdir dan fakta bahwa ia diarak oleh warga bersama Yudhi Irfan sebagai kepala divisi humas kantor walikota, sekaligus atasan tempatnya magang untuk dinikahkan secara paksa. Selagi dirinya berusaha untuk melupakan...