23

9.7K 760 48
                                    

Di sebuah kafe, Bara sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita. Wanita itu adalah mantan sekretaris di kantornya dulu, wanita itu sudah lama tidak bekerja lagi dengan Bara.

"Di mana anak ku? Aku ingin bertemu dengannya." ucap Rania, tanpa basa-basi lebih dulu.

"Untuk apa kamu mau bertemu dengannya? Dia juga tidak ingin bertemu dengan mu," balas Bara dengan angkuhnya.

"Aku ibunya tentu aku merindukannya, dan Anda masih bertanya. Bertahun-tahun aku sudah menunggunya dan ini adalah waktunya aku bertemu dengan anak ku." ucap Rania.

"Ibunya? Kau tidak pernah merawatnya. Kau masih mengaku sebagai ibunya?" Bara tersenyum tipis, meremehkan wanita yang dulu menyerahkan bayinya yang baru lahir pada dirinya, dengan alasan ingin melanjutkan karirnya.

"Kau yang membawanya pergi dari ku. Bukan aku yang tak mau merawatnya kau yang memisahkannya dari ku-"

"Sepertinya kamu hilang ingatan, bertahun-tahun yang lalu kamu sendiri yang datang menyerahkan bayi itu pada ku. Jangan pernah bermimpi untuk menemuinya." tegas Bara.

"Aku ibunya, aku berhak menemui anak ku sendiri."

"Terserah apa yang ingin kau katakan yang pasti aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengan putra ku." ucap Bara lalu bangkit dari duduknya "Jangan pernah mendekati rumah ku atau kau akan menanggung akibatnya" ancamannya lalu pergi dari sana.

"Bajingan! aku pasti akan bertemu dengan anak ku." kesal Rania mengepalkan kedua tangannya dengan erat lalu pergi meninggalkanku tanpa itu. Ia akan mencari cara agar bisa bertemu dengan anaknya tanpa sepengetahuan Bara.

Sementara itu Gavin berada di rumah sakit sedang menunggu adiknya yang belum sadar. Dokter belum menjelaskan apapun padanya mengenai kondisi adiknya, dokter memintanya agar segera menghubungi kedua orang tuanya agar pihak rumah sakit bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Cukup lama Gavin hanya duduk di samping ranjang adiknya. Perlahan Arga membuka matanya membuat hati Gavin sedikit lega. "Ada yang sakit?" tanya Gavin mengusap rambut adiknya dengan lembut.

"Ini di mana?" tanya Arga melihat ke sekelilingnya.

"Kita di rumah sakit, sebentar abang panggil dokter dulu." ucap Gavin segera memanggil dokter untuk memeriksa adiknya. Setelah dokter memeriksa adiknya, dokter meminta Gavin untuk ikut ke ruangannya.

"Abang mau ke ruangan dokter sebentar, kamu tunggu di sini sebentar," ucap Gavin mencium kening adiknya.

"Aku sendirian?" lirih Arga menahan tangan Gavin.

"Ada pak sopir di sini, kamu gak sendirian." ucap Gavin menunjuk pria yang duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

"Abang boleh pergi kan? Cuma sebentar gak akan lama janji,"

Arga mengangguk kecil. "Jangan lama-lama" ucapnya melepas tangan Gavin.

"Ya, Abang cuma sebentar. Pak tolong jagain adek, aku mau ke luar sebentar." ucap Gavin pada sopir pribadinya.

"Baik Tuan"

Gavin segera pergi ke ruangan dokter, sampai di ruangan dokter Gavin duduk dengan hati tak karuan. Merasa takut dengan apa yang ingin doktor sampaikan, ia berharap adiknya baik-baik saja.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan adikku?" tanya Gavin dengan ragu-ragu. Ia ingin mendengar tentang kondisi adiknya tapi ia takut. Jika hal buruk yang akan ia dengar dari dokter.

"Untuk memar di punggungnya. Itu bukan karena jatuh tapi karena operasi pengambilan sumsum tulang belakang" ucap dokter.

"Maksud dokter?" tanya Gavin yang masih belum paham dengan apa yang di maksud dokter.

"Sepertinya adikmu baru saja mendonorkan tulang sumsum belakangnya, biasanya ini di lakukan jika saudara atau keluarganya memilki penyakit kangker atau masalah kelainan dengan darahnya." jelas dokter. Gavin terdiam, mengingat beberapa waktu lalu dirinya yang baru saja menjalin operasi ini.

"Itu artinya ayah bohong. Bukan ayah yang donorin sumsum tulang belakangnya tapi Arga," Ucap Gavin dalam hati.

"Setelah melakukan pengambilan sumsum tulang belakang, seharusnya adikmu istirahat yang cukup, tidak melakukan aktivitas yang melelahkan untuk sementara waktu sampai dia benar-benar pulih" sambung dokter lagi.

"Apa hal ini juga mempengaruhi ingatnya? Adikku sering kali melupakan hal-hal yang sering dia kerjakan dan akhir-akhir ini dia jadi lebih sering lupa." tanya Gavin berusaha tetap tenang agar dia tau apa saja yang kedua orangtuanya sembunyikan dari dirinya mengenai adiknya.

"Apa adikmu pernah mengalami cedera kepala?"

"Saya tidak tau pasti, tapi waktu itu ayah ku bilang adik ku jatuh dan dia sempat di rawat di rumah sakit selama berberpa hari. Tapi waktu itu dokter bilang tidak ada maslah yang serius dengan adikku," jelas Gavi.

Dulu Arga pernah di rawat di rumah sakit. Ia tidak tau pasti penyebabnya, yang ia tau adiknya baru saja di hukum ayahnya. Dan ayahnya bilang adiknya jatuh dan pingsan makanya ayahnya membawa adiknya pergi ke rumah sakit.

"Ada kemungkinan adikmu mengidap Demensia akibat cedera kepala yang di alaminya, tapi itu baru dugaan sementara jika adikmu pernah mengalami cedera kepala sebelumnya"

"Apa itu akan bertambah buruk dari waktu ke waktu?" tanya Gavin dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak seperti alzheimer yang memburuk dari waktu ke waktu. Demensia karena cedera kepala biasanya tidak bertambah buruk dari waktu ke waktu. Bahkan mungkin agak membaik seiring berjalannya waktu. Tapi perbaikan ini biasanya agak lambat dan bertahap dan memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Untuk memastikannya kita perlu pemeriksaan lebih lanjut" jelas dokter itu.

"Sebaiknya kamu segera menghubungi kedua orang tua mu agar kami bisa melakukan tindakan lebih lanjut pada adikmu"

"Baik dok, saya akan segera menghubungi ayah. Terima kasih, kalau begitu aku permisi." pamit Gavin, keluar dari ruangan dokter.

Gavin kemabli ke ruang rawat adiknya, dia melihat adiknya yang sedang duduk ambil menonton TV.

Gavin tersenyum lembut ketika adiknya menoleh ke arahnya."Punggungnya masih sakit?" tanya Gavin mengusap rambut adiknya.

"Sedikit, Abang kenapa lama? Katanya sebentar," protes Arga mendongakkan kepalanya menatap Gavin, dia merasa Gavin pergi begitu lama.

Gavin duduk di kursi samping ranjang adiknya. "Tadi dokternya priksa pasien lain dulu jadi Abang nunggu sebentar," alasan Gavin.

"Mau makan buah?" tawar Gavin.

Arga menggeleng kecil. "Aku mau pulang. Ayo kita pulang" ajaknya meraih tangan Gavin.

"Nanti kita pulang kalau kamu udah sembuh. Sekarang kita di sini dulu" ujar Gavin.

"Tapi Ayah gimana? Nanti marah" lirihnya

"Ayah gak akan marah. Nanti Abang yang bilang sama Ayah kamu gak usah takut." ucap Gavin memeluk adiknya dengan hati-hati. Arga membalas pelukan Gavin.

"Jangan bilang Ayah nanti Ayah tambah marah sama aku." bisiknya pada Gavin.

"Iya Abang gak akan bilang sama Ayah," balas Gavin mengusap belakang kepala adiknya.

"Abang, temenin aku tidur," pinta Arga menepuk sebelah tempat tidurnya.

"Kasurnya kecil gak muat nanti" tolak Gavin. Bukannya tidak mau tidur di sebelah adiknya hanya saja ia takut menyakiti adiknya nanti apa lagi punggung adiknya sedang sakit.

"Alasan bilang aja gak mau temenin aku tidur di sini, iya kan?!" ucap Arga melepas pelukannya pada Gavin.

"Abang temenin di sini, tapi gak tidur di kasur. Abang bakalan tungguin kamu sampai nanti kamu bangun lagi."

Gavin membantu adiknya untuk berbaring di atas kasur. Mengusap rambut adiknya dengan lembut.





Di bagian sini agak beda sama yang dulu pernah di publik, karena pas wattapd nya eror yang bagian 23-25 tulisannya sebagian ilang. Aku juga lupa alurnya cerita di sini kaya mana.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang