21

9K 839 50
                                    

"Selamat pagi bu," sapa Gavin yang baru saja keluar dari kamar mandi. Alya tersenyum lembut pada Gavin yang berjalan menghampirinya.

"Pagi, sayang." balas Alya setelah Gavin duduk di kursi samping ranjangnya.

"Ibu cari Oma?" tanya Gavin memperhatikan Alya yang sepertinya sedang mencari sesuatu.

"Ayah mu?" tanya Alya karena sejak dirinya sadar, ia belum melihat suaminya.

"Ayah ada di rumah temenin adek. Ada Oma di sini jadi adek gak boleh ke sini," ucap Gavin mengusap tangan Alya yang terbebas dari infus.

"Oma lagi pergi ke kantin sebentar. Ibu mau minum bira aku bantu" tawar Gavin.

Alya mengangguk kecil. Gavin membantu Alya untuk minum. "Arga gimana? Enggak nakal kan di rumah?" tanya Alya. Ia hanya khawatir jika anak itu berbuat ulah. Siapa yang akan menghentikan Bara jika dia menghajar Arga sedangkan dirinya dan Gavin ada di rumah sakit.

"Arga gak nakal, selama Ibu di rawat dia nurut sama Ayah. Ayah juga kasih izin Arga pergi main pas libur sekolah." jelas Gavin. Menceritakan apa saja yang terjadi di rumah selama ibunya di rawat di rumah sakit.

"Benarkah, bagus kalau begitu jadi Arga gak perlu kabur-kaburan buat main. Ibu harapan Ayah kamu selamanya begitu Arga." ucpa Alya. Ia berharap apa yang di katakan Gavin itu bukanlah kebohongan hanya karena dirinya yang sakit, ia berharap apa yang baru saja Gavin ucapkan itu benar.

"Aku juga berharap begitu Bu, kasian Arga kalau harus kabur-kaburan setiap kali mau main. Aku jadi ngerasa bersalah sama Arga karena aku dia jadi gak bebas lagi" ucpa Gavin. Ia merasa payah menjadi seorang kakak untuk Arga, harusnya dia bisa seperti kakak-kakak yang lain. Bisa mengajak adiknya pergi bermain bersama, melindungi adiknya tapi apa yang dirinya lakukan. Dirinya sering kali merepotkan adiknya bahkan karena dirinya hidup adiknya tidak bisa bebas seperti anak seusianya.

"Ibu juga berharap begitu, semoga saja selamanya Ayah sayang sama Arga." ucap Alya tersenyum lembut pada Gavin.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Serius banget." penasaran Nanda yang baru saja masuk ke dalam ruang rawat Alya.

"Oma, mana sarapan aku?" Gavin menghampiri Nanda lalu meminta bingkisan yang di bawa Nanda.

"Tadi lagi ngobrol apa sama Ibu?" tanya Nanda penasaran apa yang sedang mereka bahasa tadi.

"Ngobrol soal sekolah sebentar lagi aku kan lulus." jawab Gavin.

"Habis sarapan aku mau pulang sebentar"
sambung Gavin duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

"Nanti pulang suruh Ayah kamu datang ke sini. Jangan banyak alasan apa lagi alasannya anak itu." ucap Nanda duduk dekat Gavin.

"Gak akan ada alasan kalau Oma izinin Arga ke sini. Pasti Ayah udah ke sini dari kemarin-kemarin" balas Gavin sambil menikmati sarapannya.

"Terus aja bela Ayah kamu itu. Kalau ayahmu memang perduli dengan ibu mu dia gak akan kaya gini. Ayah mu lebih mementingkan pekerjaannya dari pada istrinya." ucap Nanda lalu menghampiri ranjang pasien Alya.

"Di mata Oma gak ada yang bener, cuma dia sendiri doang yang paling bener. Yang lain salah semua" batin Gavin sekilas melirik pada Nanda.

...........

Sementara  itu Bara terus membujuk anaknya agar mau di periksa oleh dokter. Sudah setengah jam dia berusaha membujuk Arga. Tetapi anak itu tidak mau di periksa oleh dokter. Arga terus mengatakan hal yang sama, jika dia baik-baik saja tidak perlu di periksa.

"Cuma sebentar, setelah di periksa dan semuanya baik kamu bisa pulang." ucap Bara.

"Aku gak mu di priksa. Aku baik-baik aja Yah." ujar Arga mengeratkan pelukannya pada lengan Bara. "Ayo pulang aja" ajaknya.

"Begini saja. Saya ingin bertanya sedikit dengan mu, apakah kamu pernah jatuh atau terbentur sesuatu?" tanya dokter yang berdiri di dekat ranjang Arga.

Arga nampak berpikir sejenak. Mencoba mengingat-ingat apakah dirinya pernah jatuh sebelumnya, namun ia kesulitan untuk mengingat apa yang pernah terjadi pada dirinya sebelumnya, yang ia tau sekarang dirinya dalam bahaya. Dan orang yang berdiri dengan mengenakan baju putihnya itu adalah orang yang akan membahayakan dirinya.

"Arga kamu dengar apa yang dokter tanyakan barusan?" tanya Bara melepas genggaman tangan Arga.

"Apa. Tanya apa?" balas Arga kembali meraih tangan Bara. "Kenapa ayah?"

"Apa kau pernah jatuh sebelumnya?" tanya dokter lagi.

"Gak. Aku gak pernah jatuh " jawab Arga dengan cepat.

"Kalau tidak jatuh berati memar di punggung mu itu karena terbentur, benar?" tanya dokter lagi.

"Mungkin, aku gak ingat." balas Arga semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Bara ketika dokter mendekati dirinya.

"Jangan takut, saya hanya ingin memeriksa punggung mu. Sedikit saja tidak akan sakit" ujar dokter dengan lembut.

"Tidak akan sampai lima menit." sambungnya lagi lalu menaikkan baju Arga agar bisa melihat memar yang ada di punggung anak itu.

"Katakan, dari angka 1 sampai 10 rasa sakitnya ada di angka berapa"

"Satu sampai sepuluh, sebanyak ini." Arga menunjukkan  kelima jarinya pada dokter.

Dokter tersenyum lembut pada Arga, mengusap rambut anak itu dengan lembut. "Dokter ingin bicara dengan Ayah mu sebentar. Boleh?" tanya dokter.

Arga mengangguk kecil lalu melepas pelukannya pada lengan Bara "Habis ini pulang kan?" tanya Arga menatap Bara.

"Tunggu di sini sebentar," ucap Bara lalu keluar bersama dengan dokter.

Arga turun dari ranjang lalu berjalan menuju pintu keluar. Dia mabuk pintu itu melihat Bara pergi. "Ayah mau ke mana?" monolog Arga lalu berjalan keluar mengikuti langkah kemana tadi Bara pergi dengan dokter itu.

Arga terus berjalan sampai keluar dari rumah sakit itu dan sekarang dia sudah berada di pinggir jalan. Arga menyebarkan jalan bersama dengan orang-orang yang juga ingin menyebrang.

"Tadi pergi ke mana ya?" bingungnya melihat ke kanan-kirinya.

Karena bingung dan tidak tau harus pergi ke mana, Arga memutuskan untuk jalan ke arah kanan. Dia terus berjalan hingga bangunan rumah sakit tadi tidak terlihat lagi.

Matahari semakin terik. Arga duduk di bangku taman untuk beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanannya. Setelah cukup lama dia duduk di bangku taman dia kembali berjalan tanpa alas kaki.

Kini anak itu berdiri di pinggir jalan, tanpa melihat kanan-kiri nya. Dia berjalan menyebrang jalan di tengah ramainya kendaraan berlalu-lalang.

Tin tin tin

Suara klakson pengendara membuat anak itu berhenti di tengah jalan, dari arah berlawanan sebuah motor melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Tin tin tin

BRAK!

Suara benturan yang begitu keras mengundang  perhatian orang-orang di sekitarnya untuk melihat apa yang terjadi di sana.





ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang