39

3K 334 10
                                    

"pantas lah enggak punya anak kecil di  rumah, orangnya aja beda. Bukan nyokap lo yang bohong Ar, tapi Nenek tua itu yang bohongin lo selam ini." gumam Agung ketika pertama kali melihat Erlan di lobby sekolah.

"Teman aku mau ikut mobil Papa." ucap Arga sambil memberikan tas bekalnya pada Erlan.

"Boleh, mana temanya?"

Arga menghapri Agung yang berdiri tak jauh dari tempatnya. "Gung, ayo kita pergi sekarang. Gue udah bilang katanya boleh." ajak Arga menarik tangan Agung.

"Kamu teman Arga? Siapa namanya?" tanya Erlan tersenyum ramah pada Agung.

"Agung Om." jawab Agung.

Erlan menganggukkan kepalanya. "Ayo kita pulang-"

"Ke kafe bukan pulang." sela Arga.

"Iya maksud Papa kita pergi ke kafe, ayo." ralat Erlan lalu keluar dari sekolah menuju parkiran mobil.

Erlan berjalan lebih dulu, sedangkan kedua anak itu mengikutinya dari belakang sambil mengobrol. "Abang gue nanti mau bawain motor gue, kalau gue enggak boleh bawa motor tuh pulang. Gue titip ke lo ya Gung. Besok lo bawa ke sekolah." ujar Arga.

"Gampang itu, bisa di atur. Ayo buruan bokap lo udah nungguin tuh." ucap Agung mempercepat langkahnya.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil Erlan, duduk di kursi penumpang sedangkan Erlan duduk di kursi samping sopir, hari ini Erlan membawa sopir dari kantor.

"Pak, kita pergi ke kafe. Nanti keluar dari sekolah ambil jalan yang ke kiri." ucap Erlan pada pria yang membawa mobilnya.

"Baik Pak." balas pria itu lalu melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah.

"Pa, nanti Papa anterin aku aja enggak usah di tungguin. Papa kan harus balik lagi ke kantor kan?" ucap Arga, dia ingin lebih lama beriman di dan ia juga ingin lebih lama mengobrol dengan Gavin.

"Papa udah izin sama Kakek enggak balik lagi ke kantor, jadi bisa tungguin kamu sampai kamu selesai main." balas Erlan menoleh ke belakang.

"Bekal makan siangnya habis kan tadi?"

"Enggak keburu tadi waktunya, jam istirahat cuma di kasih waktu tiga puluh menit. Belum balas chat dari Papa, jadi ya enggak habis bekalnya. Lagian Mama juga ngasih bekalnya banyak banget."

Erlan menganggukkan kepalanya. "Ada jajan di kantin enggak tadi?"

"Enggak."

"Jadi bekal enggak habis, enggak jajan juga. Terus makan apa tadi di sekolah-"

"Aku bilang enggak habis buka enggak makan." sela Arga, lalu turun dari mobil setelah mobilnya berhenti di parkiran kafe.

"Terima kasih Om." ucap Agung lalu turun dari mobil Erlan, dia segera menyusul Arga yang sudah masuk ke dalam kafe lebih dulu.

"Bang kopi satu, kaya biasa ya." ucap Arga pada Adam, dia berjalan menghampiri meja Gavin.

"Bang, motor aku mana?"

"Duduk dulu, langsung nanyain motor aja." ucap Gavin tersenyum lembut pada adiknya.

Arga duduk di kursi dekat Gavin. "Habisnya aku enggak lihat motor aku di depan tadi, takutnya Abang lupa." balas Arga.

"Ar, ini kopinya. Udah lama enggak main ke sini, sehat kan lo?" ucap Adam sambil meletakkan gelas kopi di atas meja.

"Sehat Bang, agak sibuk Bang. Makanya enggak pernah ke sini." jawab Arga.

"Gue ke atas dulu Ar, mau ganti baju nanti gue ke sini lagi." ucap Agung lalu segera pergi ke lantai dua kafe Abang-nya.

Baru saja Arga ingin menyeruput kopinya tiba-tiba saja ada tangan yang menahan gelas kopinya. Arga menoleh ke sampingnya.

"Ck, apa lagi?" decak kesal Arga ketika melihat siapa yang sudah lancang mengganggunya untuk menikmati kopi yang sudah lama tak dapat di nikmatinya.

"Kamu sebentar lagi tuh harus minum obat yang sebelum makan. Beli yang lain, enggak kopi." ucap Erlan menyingkirkan gelas kopi dari depan anaknya.

"Ada makanan apa di sini? Kamu kan tadi makan enggak habis. Beli makanan aja, kopinya buat Papa." ucap Erlan pergi ke kasir memesankan makanan untuk anaknya.

"Itu Papa kamu?" tanya Gavin dengan lembut mengusap rambut adiknya, jujur saja ia sangat merindukan adiknya. Ingin sekali membawanya pulang ke rumah dan kembali tinggal bersama.

"Hmm, suami Mama. Abang mana motornya?" Arga menatap Gavin dengan mata berbinar, sudah tak sabar ia pergi jalan-jalan dengan motor kesayangan itu.

"Arga, Abang kamu tawarin mau pesan apa? Biar sekalian Papa pesenin." ucap Erlan menoleh pada anaknya.

"Enggak usah repot-repot Om, aku udah pesan kok. Ini aja belum habis." ucap Gavin tersenyum tipis pada Erlan.

Erlan hanya memesan makanan untuk Arga, setelah memesan makanan Erlan duduk di meja yang sedikit jauh dari meja Arga, agar kedua anak itu bisa mengobrol dengan leluasa.

Erlan membuka ipad nya, memeriksa pekerjaan kantornya, sesekali Erlan memperhatikan Arga.

"Ar, Mama sama Papa kamu sayang kan sama kamu?" tanya Gavin menatap adiknya dengan serius. Walaupun kelihatannya Erlan benar-benar sayang pada Arga, Ia hanya ingin memastikannya saja, karena tidak ingin nasib adiknya sama seperti saat tinggal dengan dirinya.

"Selama ini sih oke Bang, tapi aku agak enggak suka sama Papa. Papa selalu aja ngikutin kemapuan aku pergi, sampai tidur aja di tungguin sampai benar-benar tidur. Pokonya Papa yang paling rempong deh Bang." ucap Arga dengan suara lirih, agar Erlan tak mendengar ucapannya.

"Tapi aku belum ketemu sama keluarga besar Papa, harusnya sih udah ketemu waktu minggu-minggu lalu. Cuma kan Papa agak rempong jadi ya cuma Nenek sama Kakek doang yang datang ke rumah. Yang lain belum pernah datang ke rumah, aku sih pernah ketemu sama Kakak-nya. Sekali pas iku ke kantor."

Gavin tersenyum bahagia mendengar cerita dari adiknya, akhirnya adiknya merasakan bagaimana di sayang orang kedua orang tuanya. Sekarang ia tidak perlu khawatir lagi, adiknya sudah berada di tempat yang tepat.

"Itu artinya Papa kamu benar-benar sayang sama kamu." ucap Gavin mengusap rambut Arga.

Arga mengeras kursinya agar lebih dekat dengan kursi Gavin."Hmm, Bang. Gimana  Ibu sama Ayah? Mereka baik kan?" bisiknya.

"Baik, mereka baik, cuma Oma setiap hari ada di rumah, jadi ya mereka agak sibuk di luar. Tau sendiri kan kamu Ayah gimana kalau sama Oma."

Arga menganggukkan kepalanya. "Syukur deh mereka baik, tapi Bang. Motor aku mana? Kasihlah kuncinya, nanti aku malah lupa."

Gavin menganggukkan kepalanya, merogoh saku celananya lalu mengeluarkan selebar kertas berukuran kecil pada adiknya. "Abang enggak tau di mana kunci motornya, jadi Abang bawa fotonya doang. Enggak pa-pa kan? Nanti kalau kuncinya udah ada, Abang bawain yang asli."

Arga menatap kecewa pada Gavin, dia bangkit dari duduknya lalu menghampiri meja Erlan. "Kenapa?" tanya Erlan ketik Arga tiba-tiba berdiri di dekatnya sambil menujuk ke arah Gavin.

"Abang tuh, bohong. Marahin Pa. Udah jajin mau bawain motor malah cuma di kasih fotonya doang."

"Motor apa?" bingung Erlan, dia beralih menatap Gavin yang masih duduk di kursinya.

"Punya ku, Abang bilang mau bawain tapi enggak jadi. Papa, bilang Abang suruh ambil."

"Nanti kita beli, mau motor apa? Nanti ya, kita beli. Udah jangan marah-marah. Nanti Papa beliin." ucap Erlan dengan lembut mengusap punggung anaknya.

Dari tempat duduknya Gavin tersenyum tipis melihat Erlan yang berusaha membujuk Arga. "Baik-baik Ar sama Papa kamu, bahagia selalu ya, enggak usah mikirin Ibu sama Ayah. Mereka egois Ar, kamu cukup fokus sama kebahagiaan Kamu aja, kamu bahagia Abang juga bahagia." batin Gavin.

Dia bahagia melihat adiknya mendapatkan kasih sayang yang tulus, tapi di sisi lain ia tidak rela adiknya bersama dengan orang lain. Ia ingin adiknya bahagia bersama dengan dirinya. Tapi ia tidak boleh egois seperti kedua orang tuanya. Adiknya berkah hidup bahagia.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang