29

3.2K 334 10
                                    

"Nia, ayolah kita lagi di luar. Jangan cari ribut lagi, ayo kita pulang." ajak Erlan pada istrinya yang tak mau masuk ke dalam mobil. Awalnya semuanya baik-baik saja, sampai pada akhirnya Rania kesal karena selalu di tanya tentang anak. Entah itu dengan keluarga atau dengan teman-temannya. Dan tadi mereka tak sengaja bertemu dengan sahabat Erlan di toko baju.

"Aku mau pulang sendiri." jawab Rania menepis tangan suaminya yang menahan tangannya.

Erlan mengusap rambutnya sendiri dengan kasar. "Nia, kita di lihatin orang. Kamu gak malu? Ayo masuk kita pulang, kalau mau marah nanti di rumah." Elran kembali meraih tangan istrinya, membawanya pergi ke parkiran mobilnya.

"Aku mau pulang ke rumah orang tua aku." ucap Rania menghentikan langkah Erlan.

Erlan membalikkan tubuhnya, menghadap istrinya. "Mereka cuma nanya, kamu udah langsung kesal. Keluar marah-marah. Sekarang minta pulang ke rumah orang tua kamu-"

"Iya mereka cuma nanya! Buat kamu mereka cuma nanya, karena apa?! Karena di mata merah cuma aku yang salah."  sela Rania dengan suara sedikit keras. Wanita itu tidak perduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dia sudah benar-benar kesal dengan semua orang yang selalu menyalahkannya. Orang-orang yang selalu memojokkannya, seolah dirinya yang selalu salah. Sedangkan suaminya menganggap ucapan mereka sebagai angin lalu, dan mintanya untuk tidak terlalu memikirkan ucapan mereka semua.

"Aku udah bilang dari awal sama kamu, jangan terlalu mikirin ucapan orang. Tujuan aku nikah sama kamu, karena ingin hidup bersama, menua bersama sampai maut yang memisahkan kita berdua. Harta dan anak itu bonos." ucap Erlan menarik tangan istrinya masuk ke dalam pelukannya.

Rania melepaskan pelukan suaminya, mendorong tubuh Erlan menjauh dari dirinya. "Ayo kita cari, aku udah capek." ucap Rania dengan berani dia menatap wajah suaminya.

"Kamu cari perempuan lain yang bisa kasih keturunan buat kamu. Biar kelurga kamu bahagia, Mama sama Papa kamu bisa tenang di masa tuanya. Gak perlu mikirin kamu yang belum punya anak."

"Kamu ngomong apa sih? Jangan ngelantur ke mana-mana. Ayo kita pulang, atau mau pergi belanja? Mau makan di mana? Tadi gak jadi makan kan? Ayo kita cari restoran lain, kayanya di dekat sini ada restoran baru. Ayo kita cobain." Erlan tersenyum lembut pada istrinya, meraih tangan Rania. Memeluk tubuh istrinya dengan erat.

"Aku yang salah, aku minta maaf." ucap Erlan mengusap punggung istrinya dengan lembut, sedangkan Rania hanya diam tanpa membalas pelukan suaminya.

"Jadi pergi ke pengadilan agama atau enggak Om, Tante?" suara seorang pemuda mengalihkan perhatian sepasang suami istri yang sedang pelukan.

Erlan melepaskan pelukannya pada Rania, dia menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang pemuda yang sedang duduk di bawah pohon sambil menikmati cemilannya.  "Arga." gumam Rania melihat pemuda itu.

Iya, pemuda itu adalah Arga, dia sejak tadi duduk di bawah pohon sambil menikmati keripik singkong yang di belinya di tadi. Dia menikmati keripik singkong sambil menonton sepasang suami istri yang sedang bertengkar.

"Heran deh, sama orang tua yang umumnya udah kaya Om sama Tante ini. Dulu pas belum nikah, kapan ya nikah, giliran udah nikah, malah pengen cerai. Kalau mau cerai ngapain dulu mau nikah?" ucap Arga bangkit dari duduknya mendekati mereka berdua yang hanya diam di tempatnya.

"Om, Tante. Mau keripik singkong? Rasanya lumayan sih, tapi agak keras dikit." tawar Arga menyodorkan keripik singkongnya pada Erlan dan Rania.

"Tante kayanya kita pernah ketemu, tapi di mana ya? Aku lupa. Tante masih ingat?" Arga memperhatikan wajah Rania yang sepertinya pernah melihat wanita itu tapi dia lupa, di mana pernah bertemu dengan wanita itu.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang