37

3K 298 12
                                    

Arga menatap langit-langit ruang kerja Erlan, entah apa yang membuat pria itu menangis. Apa yang di tangisnya, terdengar sangat menyedihkan di telinganya.

"Sudahlah, jangan menatap ku dengan tatapan kasihan seperti itu. Ini belum seberapa, cuma sakit biasa. Mungkin kedepannya akan lebih mengenaskan." ucap Arga tersenyum tipis pada Erlan.

Arga menghela napasnya. Ia tidak tahu bagaimana cara membuat Ayah tirinya itu berhenti menangis, lagi pula kenapa dia menangis tersedu-sedu hanya karena melihat dirinya yang sakit kepala. Hanya sakit sedikit bukan yang sakit parah.

Arga reflek menghindar dengan kedua tangannya menutup wajahnya ketika Erlan ingin menyentuhnya. Erlan mengurungkan niatnya yang ingin menyentuh Arga.

Arga bangun dari tidurnya, dia menggeser tubuhnya agar sedikit juga dari Erlan. "Kan aku udah bilang, aku enggak usah ikut ke kantor. Enggak percaya sih,"

"Maaf, harusnya Papa dengerin kamu. Kita di rumah aja tadi." ucap Erlan lalu menghapus air matanya dengan kasar.

Tadi semuanya baik-baik saja, bahkan Arga juga sempat marah-marah karena tidak di perbolehkan keluar oleh Abyan. Namun saat Erlan ingin mengajaknya makan siang, tiba-tiba saja anak itu merasakan sakit pada kepalanya. Arga yang terus menyakiti dirinya sendiri dengan me memukul kepalanya berkali-kali membuat Erlan sangat panik tapi anak itu selalu menghindar saat Erlan berusaha mendekatinya.

"Kok kita, aku aja maksudnya yang di rumah. Kalau Papa terserah mau pergi ke mana aja, terserah. Bukan urusan aku juga." balas Arga berusaha tetap bersikap biasa saja, padahal dirinya sedang merasa takut setengah mati.

Apa lagi ia sedang berada di kantor Erlan, keluarga Erlan juga ada di kantor yang sama. Entah apa yang akan terjadi pada dirinya setelah tadi membuat kekacauan di kantin.

"Sebenarnya mereka mau apa sih dari gue? Apa keluarga mereka ada yang sakit? Kenapa enggak terus terang aja, mau apa dari gue gitu. Kan gue jadi enggak usah pusing-pusing mikirin maunya mereka tuh apa." batin Arga sesekali dia melihat kearah pintu, takut-takut semua keluarga Erlan datang untuk menghajar dirinya.

Baru saja dia merasa sedikit lega, tiba-tiba saja pintu ruang kerja Erlan di buka dari luar. "Erlan, dokter udah datang. Gimana anak kamu?" suara Zidan membuat Arga semakin panik.

"Dokter? Buat apa jir, gue mau di apain." batin Arga.

"Kamu udah kabarin Nia?" tanya Zain pada Erlan.

"Nia lagi dalam perjalanan ke sini." bukan Erlan yang menjawab, tapi Abyan yang menjawabnya.

"Dokter tolong periksa cucu ku-"

"Enggak perlu Kek, aku udah baik kok. Anak Kakek aja yang di periksa, dari tadi enggak tau nangisin apa. Padahal aku enggak ngapa-ngapain, tapi anak Kakek nangis sampai segitunya." sela Arga tersenyum tipis pada Zidan.

Zidan membalas senyuman lembut pada Arga. "Papa mu memang cengeng, dulu saat Mama mu sakit. Tengah malam Papa mu menelpon ku, meminta ku untuk datang menolongnya. Padahal Mama hanya demam." ucap Zidan berjalan mendekati Arga.

Arga memejamkan matanya ketika Zidan semaikan dekat. "Pasaran lah gue, mau di apain aja." batin Arga.

Zidan berbalik menghampiri anaknya. "Tenangkan anak mu dulu, setelah dia merasa lebih baik. Beri tau, biar dokter bisa priksa Arga." ucap Zidan menepuk pundak Erlan, lalu meminta dokter dan Abyan untuk keluar dari ruang kerja Erlan, karena ia tidak ingin membuat cucunya itu semakin kacau. Apa lagi tadi ia melihat wajah ketakutan Arga, entah apa ada dalam pikiran anak itu sampai melihat dirinya datang dia begitu ketakutan.

Perlahan Erlan mendekati Arga, memeluk tubuh anak itu dengan lembut. Kali ini Arga tidak menolaknya, Erlan merasa sedikit lebih tenang. "Tenanglah, di sini enggak akan ada yang nyakitin kamu. Papa janji itu." ucap Erlan dengan lembut mengusap rambut Arga.

"Mereka khawatir sama kamu, sama kaya Papa yang khawatir sama kamu. Jangan takut, Papa jajin sama kamu. Enggak akan ada lagi orang yang nyakitin kamu."

"Papa minta maaf, harusnya tadi Papa dengerin kamu. Kita di rumah aja tadi, capek ya? Kita punya ya." ucap Erlan melonggarkan pelukannya, dengan lembut menyisir rambut Arga dengan jarinya.

"Masih sakit? Di periksa dokter dulu sebentar ya? Habis itu kita pulang."

Arga melepaskan pelukan Erlan, dia mendongakkan kepalanya menatap wajah Erlan, anak itu tak mengatakan sepatah katapun. Setelah puas menatap wajah Erlan, dia kembali menundukkan kepalanya.

"Papa enggak akan minta kamu buat percaya sama Papa, tapi kasih Papa kesempatan buat tunjukkin apa yang Papa bilang sama kamu." Erlan tahu, tak mudah bagi Arga untuk percaya pada dirinya dan juga keluarga besarnya. Tapi ia akan berusaha memberikan yang terbaik untuknya.

.......................

"Gavin, dari mana kamu jam segini baru pulang?" tanya Bara yang melihat anaknya yang baru saja pulang ke rumah sejak dari tadi pagi anak itu pergi.

"Habis lihat-lihat kampus." jawab Gavin berjalan menghampiri Bara, lalu duduk di sebelahnya.

"Gimana Yah, Ayah ketemu sama Arga?" tanya Gavin.

"Ayah mu itu udah gila Gavin. Bisa-bisanya dia ninggalin Ibu kamu sendirian di kafe tadi. Sedangkan Ayah kamu punya sendirian." sahut Nanda yang baru saja masuk ke ruang keluarga. Dia marah dengan menantunya itu yang dengan seenaknya meninggalkan Alya di kafe, sedangkan dia enak-enak santai di rumah.

"Ayah berantem lagi sama Ibu?"

"Ayah mu enggak suka kalau Ibu kamu ikut ketemu sama selingkuhannya itu. Makanya dia marah, ninggalin Ibu kamu di kafe." ucap Nanda.

"Gavin, setelah ini kamu jangan berharap lagi untuk bisa bertemu dengan adik mu itu. Karena kedua wanita di rumah ini, sudah mengacaukan semuanya. Awalnya Ayah ingin bertemu dengan Ibu kandung Arga di rumahnya tapi mereka berdua meminta Ibu kandung Arga untuk bertemu di kafe. Dan sudah di pastikan kita enggak akan pernah bertemu lagi dengan Arga." ucap Bara sekilas melihat ke arah Nanda.

Rencananya dari awal adalah ingin bertemu dengan Rania di rumahnya, dengan begitu ia akan tahu di mana Arga tinggal, dan tentunya jika suatu saat dirinya membutuhkan Arga. Maka tidak perlu susah-susah mencarinya, tinggal datang ke rumah Rania dan bawa anak itu pergi.

Tapi semua rancangannya itu berantakan karena ulah Alya yang diam-diam mengunakan handphonenya dan mengirim pesan pada Rania untuk bertemu di kafe.

"Jangan percaya dengan ucapan Ayah mu Gavin, itu hanya akal-akalan karena enggak bisa lagi bertemu dengan selingkuhannya." ucap Nanda lalu pergi dari sana.

Gavin tersenyum tipis, bangkit dari duduknya. "Mau sampai kapan kalian ribut-ribut kaya gini terus? Udah pada berumur tapi satupun enggak ada yang sadar. Baguslah Arga enggak ada di sini, aku juga udah malas di sini." ucap Gavin lalu pergi meninggalkan ruang keluarga.

Susah bicara dengan keluarganya yang sama-sama egois dan mementingkan diri mereka sendiri, lebih baik diam dan pergi dari pada mendengarkan pertengkaran mereka yang tak ada habisnya.

Sementara itu di rumah Erlan, Arga sedang bersantai-santai di rumah keluarga. Anak itu tiduran di atas sofa di temani Erlan yang duduk di sofa single.

Sejak tadi pulang dari kantor, Erlan selalu berada di dekat Arga. Meskipun anak itu mengusirnya berkali-kali, Erlan tidak perduli. Dia hanya khawatir jika nanti anaknya itu kembali sakit seperti di kantor tadi siang.

Arga meletakkan handphonenya di atas meja, dia membalikkan tubuhnya membelakangi Erlan. "Udah jam lima sore, jangan tidur." ucap Erlan bangkit dari duduknya mendekati anaknya.

Arga berdecak kesal ketika Erlan menggangunya. "Kenapa sih?! Tidur enggak boleh, pergi keluar enggak boleh. Maunya gimana?!" sungut Arga menatap kesal pada Erlan.

"Tanggung tidur jam segini, bentar lagi juga makan malam. Nanti malah kepalanya pusing, kalau mau keluar boleh. Ayo kalau mau jalan-jalan keluar, Papa anterin. Kita keliling-keliling komplek aja mau?"

Arga memutar bola matanya malas pada Erlan, dia membalikkan tubuhnya membelakangi Erlan, memeluk bantal sofa.

Erlan mengusap rambut Arga dengan lembut, tak berselang lama Arga benar-benar tertidur.

Erlan mematikan lampu ruang keluarga, dia hanya menyisakan satu lampu yang menyala. Dia pergi ke kamarnya untuk mengambil selimut dan berberapa bantal. Erlan meletakkan beberapa bantal di bawah sofa, takut nanti anaknya jatuh.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang