41

3K 324 10
                                    

Pagi ini Abyan datang berkunjung ke rumah Erlan karena anak bungsunya yang merindukan Erlan. Kata anaknya sudah lama tak bermain dengan Erlan, jadi anak itu merindukan Om-nya itu.

"Mama Nia, mana Papa Erlan?" tanya Danish anak bungsu Abyan.

"Ada di atas, sebentar lagi turun." jawab Rania sambil menyiapkan sarapan pagi.

"Gimana hari pertama sekolah Arga?" tanya Abyan.

"Arga milih sekolah di mana temanya sekolah di sana, jadi hari pertama dia sekolah berjalan lancar. Cuma ya, gitu dia masih suka marah-marah sama Papa-nya." jawab Rania.

"Nanti lama-lama juga enggak marah-marah. Biarin aja, namanya juga proses pendekatan. Gimana Erlan?"

"Dia-" Rania menghentikan ucapannya ketika mendengar suara anaknya.

"Kan aku udah bilang cukup hari pertama aja di anterin ke sekolah. Aku enggak mau setiap hari di anterin ke sekolah. Apa kata teman-teman aku nanti, udah gede masih di anterin Papa-nya ke sekolah, main juga di ikutin. Aku ini anak cowok, kapan dapat pacarnya kalau Papa terus ikut kemanapun aku pergi." cerocos Arga sambil berjalan menuju ke ruang makan.

Mereka yang berada di ruang makan mengalihkan perhatiannya pada Arga dan Erlan. "Selama pagi semuanya." sapa Arga lalu duduk di kursinya.

"Pagi, kenapa kamu pagi-pagi udah ngoceh-ngoceh." tanya Abyan menatap keponakan yang duduk di seberangnya.

"Tuh Papa, aku udah bilang enggak usah nganterin ke sekolah masih aja mau nganterin." jawab Arga melirik pada Erlan.

"Aku aja di anterin Daddy mau-mau aja." sahut Danish.

Arga mengalihkan perhatiannya pada Danish. "Siapa?" Arga menatap pada Rania.

"Dia Danish, anaknya Daddy." jawab Erlan.

"Danish kenalin ini Arga anak Papa." Erlan memperkenalkan anaknyap pada keponakannya.

Danish bangkit dari duduknya, mendekati Arga. "Danish, selama kenal Arga. Daddy bilang kita seumuran. Kita bisa jadi teman." ucap Danish mengeluarkan tenaga pada Arga.

"Arga." balas Arga menjabat tangan Danish.

"Ayo kita sarapan dulu, lanjut nanti lagi ngobrolnya. Nanti kalian berdua terlambat ke sekolah," ujar Rania menyajikan sarapan untuk keluarganya, mereka semua mulai sarapan dengan diam.

"Sayang, hari ini bekal makan siangnya harus habis ya. Mama udah kurangin porsinya." ucap Rania, setelah selesai sarapan.

Arga menganggukkan kepalanya, hari ini aku pulang telat. Aku mau coba ekskul di sekolah, kata guru boleh cobain semuanya satu-satu. Nanti baru daftar mana yang suka." ujar Arga menoleh pada Rania.

"Mau coba ekskul apa emangnya?" tanya Erlan.

"Belum tau, mau lihat-lihat dulu nanti." jawab Arga.

"Kamu lihat-lihat dulu, jangan langsung coba. Kasih tau Papa dulu kamu mau coba yang mana." ucap Erlan, ia harus tau ekskul apa yang ingin di ambil anaknya, jika ekskul itu membahayakan anak itu. Maka ia akan melarangnya, karena ada beberapa kegiatan yang harus Arga hindari.

"Masa semuanya harus tau, enggak penting banget. Lihat tuh, Daddy-nya Danish juga enggak kepo kaya Papa. Semuanya harus tau." ucap Arga sambil mencabikkan bibirnya.

"Ya beda Danish anak Daddy, kamu anak Papa. Jadi Papa harus tau semuanya, kamu boleh ambil ekskul tapi enggak boleh ambil ekskul taekwondo, karate, basket, renang, futsal. Selain yang itu boleh semua. Tapi cukup ambil satu aja, enggak boleh lebih dari satu." ucap Erlan yang sebelumnya sudah mencari tau apa semua kegiatan di sekolah anaknya.

Arga memutar bola matanya malas pada Erlan, dia beralih menatap Danish. "Danish, di sekolah kamu ambil ekskul apa?" tanya Arga.

"Aku enggak ada ambil ekskul di sekolah, tapi ada ambil les di luar. Les matematika sama IPA." jawab Danish.

Arga menatap Danish tak percaya dengan ucapan anak itu. "Yang bohong pantatnya makin lebar. Bohong kan kamu? Enggak mungkin kalau enggak ambil ekskul di sekolah."

"Ya ada satu, tapi itu dulu sekarang udah enggak. Mommy enggak bolehin." balas Danish.

"Kenapa?" penasaran Arga.

"Kapan-kapan aku ceritain, sekarang mau berangkat sekolah dulu. Mama Nia, Papa Erlan. Aku berangkat sekolah dulu, terima kasih buat sarapannya Mama Nia." pamit Danish pada kedua orang tua Arga.

"Sampai jumpa hari minggu Ar, kita kumpul di rumah Nenek. Aku duluan." ucap Danish menepuk pundak Arga lalu keluar bersama dengan Abyan.

"Dulu Danish ikut ekskul basket, pas lagi main dia jatuh dan kaki dia cindera. Jadi sejak itu dia enggak boleh main basket lagi sama Mommy-nya." jelas Erlan merangkul pundak anaknya.

"Ayo kita berangkat," ajaknya.

"Mampir ke tempat Abang dulu baru ke sekolah." Arga melepaskan rangkulan tangan Erlan lalu mengambil tas sekolahnya yang ada di atas sofa ruang keluarga.

"Apartemen Abang jauh, beda arah. Nanti aja kalau mau main. Kamu terlambat nanti ke sekolah." ujar Erlan, ada-ada saja permintaan anaknya ini. Jarak rumah ke apartemen Gavin sekitar empat puluh lima menit, begitu juga ke sekolah Arga. Dan sekarang sudah jam enam lewat lima belas menit, Arga masuk sekolah jam setengah delapan. Tapi jam tujuh dia harus sudah sampai di sekolah.

"Terus gimana sama PR nya! Bisa di hukum nanti." Arga berjalan keluar dengan menghentakkan-hentakan kakinya, ia lupa untuk mengerjakan pr semalam. Dia baru ingat tadi pagi saat melihat buku tugasnya.

Erlan segera keluar menyusul anaknya."Papa bantuin ayo, kita kerjain di mobil."

"Mama yang bawa mobilnya, kamu di belakang sama Papa. Ngerjain pr-nya." imbuh Rania.

"Kalau enggak selesai gimana?" Arga menatap Rania dengan mata berkaca-kaca. Ya kali baru dua hari sekolah di hukum gara-gara lupa ngerjain PR.

"Selesai, pasti selesai. Ayo kita jalan sekarang." Erlan membukakan pintu mobilnya untuk Arga.

Arga masuk ke dalam mobil, duduk di kursi belakang bersama dengan Erlan. Sedangkan Rania yang mengemudikan mobilnya.

Arga mengeluarkan buku tugasnya, menunjukannya pada Erlan. "Kenapa sih?! Pr nya harus banyak-banyak gini."

"Papa bantuin, sampai sekolah pasti udah selesai. Tenang oke, ini soal gampang. Dulu Papa juga udah pelajari soal ini. Jangan panik, tenang." dengan lembut Erlan mengusap punggung anaknya, meyakinkan Arga jika semuanya anak baik-baik. Tidak perlu khawatir, ini hanya hal sepele.

"Kita kerjain sekarang, Papa kasih tau caranya kamu cari jawabannya." Erlan mulai mengajar Arga bagaimana menyelesaikan soal matematikanya.

Setelah menjelaskan caranya, Erlan meminta Arga untuk mencari jawabn dari soal matematika. "Yang ini di kali dulu, baru kerjain yang ini. Nah nanti hasil adalah jawaban dari soal itu."

Arga mulai mencari jawaban dari soal matematika, setelah mendapatkan jawabannya Arga segera menulis jawabannya di buku tugasnya.

"Nah kalau soal yang nomor dua, yang di kerjakan pembagiannya dulu. Karena ada di dalam kurung, jadi harus di kerjain dulu. Nanti kalau udah ada jawabannya baru di kali yang ini." jelas Erlan.

Arga mencoba mencari jawaban soal nomor dua, namun dia merasa sedikit kesulitan alhasil dia kembali kesal. Merobek buku coretannya, membuangnya ke tempat sampah.

"Sini Papa yang tulis, kamu perhatiin ya, biar nanti di sekolah enggak bingung lagi." dengan penuh kesabaran Erlan mengajari anaknya. Ia selalu mengingat ucapan dokter, bahwa tidak mudah untuk menghadapi Arga, dalam setiap proses membutuhkan kesabaran agar mendapatkan hasil yang baik.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang