34

3.5K 313 4
                                    

"Lihat sekarang, apa yang di lakuin anak itu. Dia emang licik sama kaya Ibu kandungnya, yang memang dari dulu ingin menghancurkan keluarga kamu Alya." ucap Nanda. Dia yakin Arga dan Ibu kandungnya memiliki rencana untuk menghancurkan rumah tangga anaknya, oleh karena itu dia Ibu-nya melaporkan Bara ke kantor polisi atas tuduhan kekerasan pada Arga.

"Sekarang kamu percaya kan sama orang tua kamu sendiri, dari dulu kan udah di bilangin. Buang anak itu, kamu enggak percaya, sekarang lihat Alya. Dia sedang menari di atas penderitaan mu."

"Oma, apa yang terjadi sama Ayah karena salah Ayah sendiri. Lagian apa yang di laporkan itu, sesuai kenyataan. Emang selam ini Ayah suka mukulin Arga." sahut Gavin. Dia sudah muka dengan tingkah Nanda yang seolah-olah menyalahkan Arga.

Padahal apa yang di lakukan Ibu kandung Arga itu sudah benar, memang Ayah-nya selama ini bersalah atas apa yang di lakukan pada Arga. Tapi Oma-nya malah semakin memperburuk keadaan, dengan memprovokasi Ibu-nya dan menyalahkan Arga.

"Coba kalau dari dulu salah satu dari kalian ngalah, enggak akan sampai terjadi seperti sekarang ini. Kalian yang mementingkan diri kalian sendiri, sekarang malah nyalahin Arga. Introspeksi diri itu penting Oma."

"Gavin kamu diam, kamu tuh enggak tau apa-apa. Emang dasar anak itu enggak tau di untung. Udah mending Ibu kamu mau rawat dia dari bayi, sekarang malah ingin menghancurkan keluarga Ibu kamu." ucap Nanda menatap tajam pada Gavin.

"Terserah Oma mau ngomong apa, tapi yang namanya salah tetap salah. Lagian Ibu mau rawat Arga juga karena ada tujuannya, Arga udah balas budi sama Ibu. Dengan dia jadi obat aku selama ini, aku rasa itu udah cukup. Ibu rawat Arga dari bayi, Arga menjadi penyelamat hidup aku jadi impas." balas Gavin lalu pergi dari sana. Percuma juga bicara dengan Oma-nya, wanita itu akan tetap pada pendiriannya yang keras kepala dan merasa dia yang paling benar.

"Ini tujuan dari wanita itu Alya, cepat atau lambat Bara pasti akan menemui wanita itu. Dan Bara pasti akan melakukan apapun yang wanita itu minta, agar wanita itu mencabut laporannya." ucap Nanda pada Alya yang sejak tadi hanya diam tak menanggapi ucapan Ibu-nya.

"Udahlah Ma, biar ini jadi urusan aku sama suami aku. Mama enggak usah ikut campur, yang ada masalahnya makin runyam." ucap Alya bangkit dari duduknya.

"Terserah kamu, asal jangan menyesal kalau apa yang Mama bilang itu benar. Wanita itu akan menjadi penghancur keluarga mu ini." ucap Nanda.

"Jangan terlalu berburuk sangka Ma, apa yang tadi di bilang Gavin itu ada benarnya." balas Alya lalu pergi dari sana. Sebenarnya dia tidak rela jika Arga tinggal bersama Ibu kandungnya, tapi dengan apa yang sudah di lakukan Bara. Bisa di pastikan Ibu kandung Arga akan dengan mudah mendapatkan hak asuh Arga sepenuhnya.

.................

Arga menghabiskan waktu sore hari dengan bersantai di halaman belakang rumah. Dia tidak sendirian, ada Erlan dan Rania yang menemaninya. Sedangkan Kakek dan Nenek-nya sudah pulang setelah mereka makan siang tadi.

"Ma, kenapa tadi Nenek sama Kakek buru-buru pulang? Katanya rumahnya dekat dari sini, kan bisa pulangnya santai-santai." tanya Arga pada Rania.

"Nenek sama Kakek mau pergi ke rumah cucunya yang lain juga. Biasanya kalau weekend mereka main ke rumah cucu-cucunya. Dan hari ini mereka pertama kali weekend main ke sini, biasanya kita yang pergi ke rumah mereka." jawab Rania tersenyum lembut pada anaknya.

"Emang cucu yang lain masih pada kecil-kecil?"

"Ada yang udah besar, ada yang masih kecil juga. Tapi Nenek sama Kakek memang begitu. Jadwal Weeknd mereka di habiskan keliling ke rumah cucu-cucunya, tapi ada waktunya juga di mana kita semua kumpul di rumah Nenek sama Kakek. Dan biasanya kita nginap di sana semalam." ucap Erlan. Dia menjelaskan kebiasaan yang di lakukan keluarga besarnya, karena memang sudah menjadi seperti tradisi di keluarganya. Dalam beberapa waktu sekali, semua keluarga akan berkumpul dan menginap di rumah Zidan, mereka semua akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dan anak-anak mereka akan bermain bersama.

"Terus kenapa mereka baru pertama kali weekend di sini? Mereka pilih kasih?" tanya Arga menoleh pada Erlan.

"Bukan pilih kasih, tapi cucu mereka baru datang ke sini. Jadi ya mereka baru sempet main ke sini." jawab Erlan.

"Oh, jadi kalau enggak ada cucu mereka enggak main gitu?"

Erlan menganggukkan kepalanya. "Tujuannya juga main sama cucu-cucunya, kalau enggak ada cucu ya mereka enggak datang ke rumah."

Arga bangkit dari duduknya, dia berjalan mendekati lapangan tenis yang ada di halaman rumah. "Minggu depan kalau Kakek ke sini suruh bawa bola, aku mau nantang Kakak main bola di sini." ucap Arga menoleh pada Erlan yang duduk di teras rumah.

"Nanti kamu bilang sendiri, kalau Papa yang bilang biasanya di cuekin." balas Erlan.

"Suruh Mama yang bilang." ucap Arga lalu berjalan-jalan mengelilingi halaman rumah.

Erlan menyandarkan tubuhnya di kursi. "Minggu depan mungkin kita yang datang ke rumah Mama sama Papa, dan kita pasti bakal bahas soal Arga." ucap Erlan menatap istrinya yang duduk di sampingnya.

"Aku khawatir kalau dari mereka semua ada salah satu yang enggak bisa terima Arga sebagai bagian dari keluarga kita. Apa kita enggak usah pergi ke sana? Enggak usah ikut kumpul-kumpul sama mereka semua, gimana menurut mu?" Erlan meminta pendapat dari istrinya.

"Kalau kita enggak pergi ke sana, mereka pasti bakalan datang ke rumah. Menurut ku kita pergi aja ke sana, mungkin enggak semua orang bakal terima kehadiran Arga. Tapi yang terpenting itu kita, yang bakal tinggal satu rumah sama Arga. Sedangkan mereka cuma ketemu sesekali, dan enggak setiap hari. Sebelum pergi kita yang harus ngasih pengertian sama Arga, biar dia enggak salah paham." balas Rania. Karena menurutnya menghindari pertemuan keluarga itu percuma, karena pada akhirnya mereka pasti akan bertemu juga.

"Entahlah, aku masih ragu untuk ikut berkumpul dengan keluarga." ucap Erlan lalu bangkit dari duduknya, bukan tanpa alasan Erlan memikirkan hal itu sebelum berkumpul dengan keluarga besarnya.

Tidak masalah jika keluarganya berpura-pura menerima Arga dan bersikap biasa saja, namun jika mereka menunjukkan rasa tidak sukanya. Bukankah akan menjadi sama saat Arga tinggal bersama dengan Bara dan dengan dirinya. Ia juga belum dekat dengan anak itu, bisa jadi pertemuan keluarga besar menjadi pemutus jembatan yang beberapa hari ini baru di bangunnya.

Arga tersenyum ketika melihat Erlan berjalan menghampirinya. "Lagi ngapain duduk di situ? Ayo masuk." ajak Erlan berdiri di dekat Arga.

"Cuma duduk doang, emang mau ngapain lagi?" jawab Arga bangkit dari duduknya, dengan buru-buru Arga berjalan masuk ke dalam rumah. Dia segera masuk ke dalam kamar mandi, mengunci pintu kamar mandi dari dalam.

"Bisa-bisanya pake acara nyangkut, gara-gara si anjing nih. Pake acara gonggong segala, jadi jatuh kan gue. Nih tangan juga, udah tau duri itu taham, pake acara buat pegangan segala. Kalau Erlan tau pasti heboh dia." dumel Arga sambil membasuh tangannya.

"Arga, kamu lagi ngapain di kamar mandi?" ucap Erlan sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Cuci tangan, kenapa? Sebentar gantian jangan masuk dulu." sahut Arga dari dalam kamar mandi, dia segera membersihkan kakinya lalu keluar dari kamar mandi.

"Kenapa sih? Emang kamar mandi cuma satu di sini? Udah tuh aku udah selesai, sana kalau mau ke kamar mandi." ucap Arga berjalan melewati Erlan.

"Udah sore, sana mandi." ucap Erlan berjalan mengikuti langkah Arga.

Arga yang yang ingin duduk di sofa pun mengurungkan niatnya, dia kembali melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya.

"Mana Arga?" tanya Rania pada Erlan.

"Mandi, biarin aja nanti aku yang cek dia ke kamarnya. Kamu kalau mau masak, masak aja." cegah Erlan ketika Rania ingin beranjak pergi ke kamar Arga.







ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang