40

3.3K 325 7
                                    

Setelah tadi bertemu dengan Gavin, dan menghabiskan waktu bersama dengan Abang-nya itu sampai jam makan malam.

Setelah makan malam bersama, Gavin juga sudah pulang dari lima belas menit yang lalu. Tinggal Arga dan Erlan.

"Jangan sedih gitu dong, nanti kalau Abang punya waktu banyak kan bisa main lagi. Tadi kan Abang udah bilang, besok ada kelas pagi, terus udah di suruh pulang juga sama Ibu-nya. Kan main sama kamu juga udah lama kan." ucap Erlan sambil merangkul pundak Arga.

"Padahal udah lama enggak pernah ketemu, tapi kalau Ibu sama Ayah yang nyuruh Abang langsung nurut. Di suruh pulang langsung pulang." ucap Arga melepaskan rangkulan tangan Erlan lalu masuk ke dalam mobil lebih dulu.

Erlan masuk ke dalam mobil, duduk di samping anaknya. "Nanti kalau hari libur, ajak Abang nginep di rumah aja gimana? Biar bisa main lama." ucap Erlan mengusap rambut anaknya dengan lembut.

"Mana boleh sama Oma, pasti enggak boleh. Oma kan enggak suka kalau Abang nginep di rumah orang lain, apa lagi rumah Mama."

"Ya kan bilang bilang nginep di rumah temannya."

"Teman Abang siapa? Paling cuma saudara sepupunya. Abang kan jarang keluar dari rumah selama ini, seringnya pergi ke rumah sakit. Tapi sekarang dia udah bisa pergi-pergi, ke rumah sakitnya cuma cek up."

"Abang sakit?"

Arga menganggukkan kepalanya. "Hmmm, sakit makanya dulu kita sekolah di rumah. Tapi Abang pintar aku enggak. Padahal sama-sama homeschooling."

Erlan tersenyum lembut, menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. "Setiap orang membawa kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Kalau kamu terus membandingkan diri kamu sendiri dengan orang lain, kamu mungkin terlihat tidak berharga atau terlihat kejam pada dirimu sendiri. Karena akan selalu ada yang lebih baik dan jauh lebih buruk dari kamu di luar sana."

"Percaya pada dirimu sendiri, kamu itu berharga, tanpa harus menjadi seperti orang lain. Kamu berharga menjadi dirimu sendiri."

Arga hanya diam mendengarkan ucapan Erlan, orang yang selama bertahun-tahun tak pernah ada kabar, tak pernah muncul. Tiba-tiba saja datang dan merubah hidupnya, memberikan apa yang selama ini selalu di inginkan. "Berharga? Benarkah gitu? Enggak ada maksud lain yang tersembunyi dari kata berharga itu. Buat gue hidup seperti sebuah perdagangan. Berapa harga yang harus gue bayar nanti untuk menikmati hidup enak seperti sekarang ini." batin Arga.

Arga memejamkan matanya, kepalanya mulai berisik dengan banyak hal yang hinggap di sana.

Erlan menoleh ke sampingnya. "Jangan tidur dulu, kita udah mau sampai rumah." ucap Erlan menepuk-nepuk pipi Arga dengan lembut.

"Hmm." dehem Arga.

"Nah, kita udah sampai rumah. Ayo turun. Langsung mandi, habis itu tidur. Capek ya? Dari pulang sekolah, pergi main pulang udah malam." ucap Erlan menyisir rambut Arga dengan jarinya.

"Pa, diam tangannya." kesal Arga menepis tangan Erlan.

"Iya kita udah sampai, ayo turun. Mama udah nungguin dari tadi nanyain terus, kapan pulang."

Arga mengambil tas sekolahnya lalu turun dari mobil, dia menatap pintu rumah yang ada di hadapannya. "Kenapa ada yang ketinggalan di mobil?" tanya Erlan karena anaknya hanya diam berdiri di samping mobil.

Rania keluar dari rumah ketika mendengar suara mobil. "Anak Mama udah pulang? Dari mana aja sayang? Katanya habis main sama Abang ya?" Rania menghampiri anaknya lalu memberikannya pelunak hangat.

"Ayo masuk." ajak Rania menggandeng tangan Arga masuk ke dalam rumah, Erlan berjalan di belakang mereka.

Arga melepaskan gandengan tangan Mama-nya, lalu dia duduk di atas karpet ruang keluarga, mengeluarkan buku pelajarannya. "Kenapa sih baru pertama sekolah langsung dapat PR! Kenapa enggak tahun depan aja baru dapat PR." dumel Arga sambil membuka buku tugas sekolahnya.

Baru saja melihat tugas sekolahnya, Arga kembali menutup bukunya. "Mandi aja dulu deh, ini kerjain kapan-kapan aja." ucapnya lalu kembali menyimpan bukunya di dalam tas.

"Nanti Papa bantuin, sana kamu mandi dulu. Nanti habis Papa beres-beres ke kamar kamu." ucap Erlan.

"Enggak usah Pa, nanti aku kerjain sendiri. Ini gampang kok." ucap Arga lalu pergi ke kamarnya, tak lupa dia juga membawa tas sekolahnya.

..............................

Gavin baru saja sampai di apartemen, dia buru-buru naik ke lantai sepuluh karena Alya sudah menunggunya dari tadi.

"Bu, Ibu datang ke sini sendiri?" tanya Gavin berjalan menghampiri Alya yang berdiri di depan pintu apartemennya.

Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Alya malah kembali bertanya. "Kamu dari mana jam sini baru pulang?"

Gavin membuka pintu apartemen, mempersilahkan Ibu-nya untuk masuk ke dalam. "Masuk dulu Bu, kita ngobrol di dalam, udah malam enggak enak sama tetangga."

Gavin melepaskan sepatunya lalu meletakkan tasnya di atas kursi. "Kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Alya lagi.

"Habis ngerjain tugas sama teman-teman Bu, tadi pas pulang kena macet di jalan. Jadi sekalian aku makan malam di luar. Aku pikir Ibu ke sininya besok, Ibu enggak ngasih tau. Kalau datang hari ini." ucap Gavin sambil mencuci tangannya di wastafel.

"Oma bilang tadi kamu pulang ke rumah mau ambil motor Arga, mau buat apa? Kamu ketemu Arga?" tanya Alya menatap Gavin.

"Tadinya mau aku pakai, tapi kuncinya enggak ada. Jadi enggak jadi Bu. Aku enggak ketemu Arga Bu." balas Gavin tersenyum tipis pada Ibu-nya. Sejak Ibu-nya bertemu dengan Ibu kandung Arga, Alya melarangnya untuk menemui Arga. Karena Arga sudah tidak lagi menjadi bagian keluarga, Alya memintanya untuk menganggap Arga sudah tiada.

"Kamu enggak bohong kan Vin?" curiga Alya, ia merasa anaknya itu sedang berbohong. Apa lagi selama ini, Gavin sama sekali tidak tertarik untuk membawa motor. Tapi kenapa tiba-tiba saja ingin membawa motor.

Gavin mendudukkan dirinya di samping Ibu-nya, menyandarkan kepalanya di bahu Alya. "Buat apa aku bohong sama Ibu, oh ya Bu. Gimana Ayah?"

"Dia bilang akan bicara lagi dengan selingkuhannya itu, agar mau berdamai dengan mengembalikan anak wanita itu." ucap Alya mengusap rambut anaknya dengan lembut.

"Selama ini kita di bodhi oleh Ayah mu, dia bilang anak itu adalah anak sahabat Ibu. Ternyata dia anak wanita lain, dan mungkin saja. Selama ini, Ayah mu masih berhubungan dengan wanita itu." ucap Alya tersenyum tipis.

"Bukannya Ayah bilang Ibu kandung Arga udah nikah Bu?"

"Mana ada laki-laki yang menerima anak hasil perselingkuhan istrinya Gavin. Ini adalah rencana Ayah mu agar bisa berpisah dengan Ibu, lalu hidup bahagia dengan selingkuhannya."

Gavin memejamkan matanya, dia tersenyum tipis. "Ibu sama Ayah tuh sama aja, lagian Ibu-nya Arga juga enggak mungkin mau sama Ayah. Suami dia baik, sama Arga aja sayang. Enggak kaya Ayah, yang suka mukul, marah-marah." batin Gavin.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang