END

5.2K 391 40
                                    

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, ini sudah hampir satu minggu lamanya Arga tak bangun dari mimpi indahnya.

Dokter sudah meminta pihak keluarga untuk melepaskan alat bantu penopang hidupnya, dokter juga meminta pihak keluarga untuk mengikhlaskan Arga.

Namun pihak keluarga menolak, mereka percaya. Jika Arga akan kembali bangun suatu saat nanti, mereka tetap mempertahankan alat-alat medis yang membantu menopang hidup Arga.

Erlan sudah seperti orang tak bersemangat untuk hidup, pria itu tampak begitu menyediakan.

"Setop, cukup sampai di situ. Papa udah tahu sampai akhirnya bagaimana, udah bisa di pastikan pemeran utamanya meninggal kan? Terus Papa-nya jadi gila. Gitu kan akhirnya." Erlan menatap anaknya yang sedang membacakan buku novel karangannya.

"Ya kan sesuai tema ceritanya. Perjalanan kehidupan, ya akhirnya mati lah. Papa ini gimana sih, lain halnya kalau ceritanya tentang kisah cinta. Ya akhirnya punya anak." balas Arga menatap Erlan dengan malas.

"Ya tapi kan enggak adil dong."

"Di mamanya enggak adil sih? Ini udah adil. Ini tugas sekolah aku, Papa ini jangan banyak protes. Enggak selesai-selesai nanti tugasnya." kesal Arga melempar buku tugasnya ke atas meja.

"Ya enggak adil lah, kamu tuh Papa yang bikin, dari orok sama Papa. Masa iya, di cerita kamu lebih lama sama Bara. Terus ketemu Papa sebentar, udah selesai mana meninggal lagi." protes Erlan tak terima dengan hasil cerita yang anaknya buat.

"Pa, ini cuma tugas sekolah. Bukan kisah nyata. Cuma cerita." ucap Arga menekankan kata terakhirnya.

"Tetap aja Papa enggak terima, soalnya pake nama kamu sendiri, terus nama Papa sama Mama juga sama, nama keluarga kita juga sama persis. Papa enggak terima, apa-apaan anak Papa sendiri di dalam cerita malah lebih lama sama orang lain, udah gitu enak banget lagi dia. Anaknya udah sehat lupa dia sama anak yang udah nolong anaknya. Kalau dia bisa hidup nyata. Papa hajar dia sampai mampus."

"Terserahlah, suka-suka Papa. Yang penting tugas aku udah selesai." pungkas Arga lalu merapikan buku-buku tugasnya agar besok dia tidak lupa untuk membawanya ke sekolah.

"Mau ke mana kamu? Papa belum selesai ngomong." ucap Erlan ketika anaknya pergi begitu saja dari hadapannya. "Arga."

"Keluar sebentar." balas Arga lalu segera meminta sopir untuk mengantarkannya pergi ke rumah sahabatnya.

"Pak, tolong anterin aku ke rumah Agung," ucapnya pada sopir pribadinya.

"Udah pamit sama Papa belum? Nanti di cariin kaya kemarin-kemarin."

"Udah pak, udah pamit." balas Arga lalu masuk ke dalam mobil.

"Arga, ini tugas kamu betulin dulu. Papa enggak terima ya, kamu lebih lama sama si Bara, Bara itu." ucap Erlan berdiri di ambang pintu keluar.

"Jalan Pak, enggak usah ngurusin Papa. Mama aja enggak pernah secerewet Papa, heran sama Papa, ada aja yang di protes. Ini enggak boleh, itu enggak boleh. Semuanya enggak boleh. Di rumah Kakek, Nenek doang aki bisa bebas." dumel Arga.

"Wajar atuh, anak tunggal. Ya pasti di sayang lebih. Beda kalau punya saudara, kasih sayangnya di bagi-bagi sama saudaranya yang lain."

"Iya sih, tapi sekarang kan aku udah gede. Masa iya semuanya masih di larang."

"Udah gede juga masih suka di suapi kalau makan, belum kalau Papa-nya enggak pulang-pulang dari kantor, udah deh. Sepanjang hari, ngoceh-ngoceh." guman pria itu sambil fokus menyetir. Ia sudah lama bekerja dengan Erlan, tentu sedikit banyaknya ia tau bagaimana sifat anak majikannya itu.

"Pak, nanti pulang dulu ya. Aku pulang sama teman." ucap Arga ketika mobilnya sudah sampai di rumah sahabatnya.

"Jangan minta yang aneh-aneh, nih lihat. Papa kamu aja udah minta foto kamu pas main sama teman-teman, nanti katanya Papa yang jemput. Sekalian mau makan malam di luar sana Nenek, Kakek." ucap pria itu menunjukkan ponselnya pada Arga.

"Suruh Papa jemput jam empat deh pak, aku cuma mau main sebentar." ujar Arga lalu turun dari mobil.

.........................

Sekitar jam empat sore, Erlan sudah berada di depan rumah Agung. Dia mengirim pesan pada anaknya, memberi tahunya jika dia sudah ada di luar.

Setelah mengirim pesan, tak berselang lama anaknya keluar dari rumah sahabatnya. "Gue pulang dulu, nanti soal tugas kelompoknya gue kirim lewat email." ucap Arga pada Agung yang mengantarkannya sampai pintu gerbang.

"Oke, masih lama ini. Di kumpulin minggu depan, masih banyak waktu." balas Agung.

"Tapi gue gak mau ngurusin tuh tugas lama-lama, gue maunya lebih banyak main."

"Ya udah besok pulang sekolah kita kerjain. Tuh Papa lo udah nungguin, gue tunggu nanti tugasnya." ucap Agung menepuk pundak Arga.

"Gue pulang dulu." pamit Arga lalu segera menghampiri Erlan. "Papa." panggil Arga pada Papa-nya.

"Iya, kenapa nak?" jawab Erlan mengusap rambut anaknya dengan lembut.

"Katanya mau makan di luar?"

Erlan menganggukkan kepalanya. "Iya, tapi kita jemput Mama dulu baru ke restoran buat makan malam. Kenapa kamu udah lapar? Mau makan dulu?" ujar Erlan lalu mengajak anaknya masuk ke dalam mobil, setelah itu mobil mereka pergi dari sana.

"Emang Mama di mana?" tanya Arga.

"Di kafe, habis arisan sama teman-temannya."

"Oh, bilang Mama dong. Aku mau kue, kalau ada."

"Beneran di mana ya, jangan cuma minta doang terus enggak di makan. Nanti di bilang kurus lagi sama Nenek."

"Enggak boleh? Gitu ya, cuma minta kue aja enggak boleh. Udah kaya anak tiri aku. Ternyata Papa ku enggak sebaik Papa tiri di cerita ku." ucap Arga memalingkan wajahnya.

"Iya kan ini Papa kandung bukan Papa tiri. Beda lah, mau kue apa. Nih bilang sendiri sama Mama, mau beli kue yang mana." Erlan memberikan ponselnya pada anaknya yang duduk di sebelahnya.

"Enggak jadi, udah enggak pengen lagi."

"Ngambek, marah, nanti tidur jangan nempel-nempel Papa ya." ucap Erlan menarik tubuh anaknya masuk ke dalam pelukannya.

"Aku tidur sama Mama malam ini, lepas aku enggak mau sama Papa. Kita musuhan." Arga mendorong tubuh Erlan agar melepaskan pelukannya.

Erlan menahan tubuh anaknya agar tak terbentur pintu mobil. "Papa lepas."

"Kalau Papa lepas kepala kamu kepentok pintu mobil nanti. Udah diam sini sama Papa, nih lihat nih. Mama tanya mau kue apa, kamu mau yang mana?" Erlan menunjukkan gambar beberapa kue yang di kirim istrinya.

"Mau beli yang mana aja, beli berberapa ya. Nanti bagi sama yang lain."

"Nizam enggak usah di kasih, dia nyebelin. Makannya di cerita yang aku tulis aku bikin dia masih kecil, biar pacar dia yang aku jadiin susternya. Bisa aku rebut nanti, dia sakit hati, frustasi terus depresi."

Arga tertawa membayangkan wajah kesal Nizam jika dia mendengar ucapannya barusan. Pasti dia akan mengatakan, lihat aja kamu. Habis ini habis kamu.

Dan seperti biasa, dirinya akan mengadukan Nizam  pada Papa-nya. Sudah pasti Nizam mendapatkan teguran dari Papa-nya yang slalu membelanya.

"Paling kecil, suka marah-marah. Tukang ngambek, kalau di bilangin enggak pernah mau dengerin. Kaya siapa sih." gemas Erlan mencium kedua pipi anaknya berkali-kali.

Arga melepaskan pelukan Erlan dengan paksa. "Pa, kalau cerita yang aku tulis jadi nyata gimana?"

"Ya seperti di cerita yang kamu tulis. Papa biasa gila beneran."

Arga mengangguk kecil. "Boleh di coba kali ya, kapan-kapan deh. Ngerjain Papa." gumamnya.



Oke semuanya, cerita ini udah selesai. Ya walaupun agak aneh akhirnya ceritanya. Tapi ya udahlah dari pada enggak selesai.

Terima kasih semuanya, setelah cerita ini selesai. Aku mau libur panjang dulu, sampai jumpa lagi di lain waktu. Bay bay bay.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang