46

3.5K 337 12
                                    

"Nizam tidur sama susternya?" tanya Arga pada Rania.

"Enggak, susternya cuma temenin sampai dia tidur. Kalau udah tidur ya di tinggal, Nizam tidur sendiri." jelas Rania.

"Oh, aku kira susternya tidur sama dia."

"Kenapa emangnya kalau susternya tidur sama dia?" tanya Erlan yang duduk bersandar di atas kasur.

"Ya enak aja pemandangan pagi hari pas bangun tidur lihat cewek cantik gitu." balas Arga.

"Oh, jadi mau nginap di sini tuh gara-gara susternya Nizam? Pantas dari tadi enggak marah-marah. Di suruh makan langsung nurut, ternyata karena susternya Nizam." ucap Erlan, ia pikir anaknya kenapa-kenapa. Sejak tadi ia berpikir apa yang terjadi dengan anaknya, dan sekarang terjawab sudah. Apa yang membuatnya mendadak berubah.

Arga bangkit dari duduknya, lalu naik ke atas ranjang. "Kasih aku suster yang kaya suster Nizam Pa, biar nanti kalau aku enggak sekolah Papa bisa ke kantor dengan tenang. Enggak sering-sering izin dari kantor. Nanti di pecat loh sama Kakek." ujarnya menatap Erlan dengan serius.

"Kamu mau?"

"Ya mau lah, siapa yang enggak mau sama cewek cantik. Papa mau cariin aku suster?"

Erlan menganggukkan kepalanya. "Besok kita ke rumah sakit, nanti Papa bayar suster dari rumah sakit biar bisa jagain kamu sekaligus bisa priksa kamu, pastiin makanan kamu bergizi. Oh, kalau mau yang profesional sekalian, yang udah jadi dokter aja gimana?"

Plak!

Arga memukul lengan Erlan. "Yang aku mau tuh bukan suster dari rumah sakit, yang kaya suster Nizam. Paham enggak sih?!"

"Paham, yang cantik kan, maksudnya? Kalau yang cantik enggak usah jauh-jauh, ngapain cari yang susah, tuh. Mama kamu jauh lebih cantik." balas Erlan mencium pipi istrinya tiduran di sampingnya.

Arga berdecak kesal, bersiap turun dari atas kasur. "Mau ke mana?" cegah Rania menahan tangan anaknya.

"Aku enggak bisa tidur kalau enggak di kasur aku sendiri, ayo kita pulang."

"Udah tengah malam, yang lain juga udah pada tidur. Tidur aja dulu, besok baru kita pulang." ujar Erlan menarik tangan Arga untuk kembali tidur di atas kasur.

"Aku belum ngantuk, Mama sama Papa aja yang tidur dulu. Aku mau keluar." Arga berusaha untuk bangun.

"Katanya mau punya suster yang kaya suster Nizam, harus belajar nurut dulu. Nanti kalau enggak nurut, susternya enggak ada yang betah." Erlan memeluk tubuh Arga dari samping, menahan kedua tangan anaknya agar tak memberontak.

"Aku mau tidur di kasur aku sendiri, enggak mau di sini. PAPA LEPAS!"

"Cuma malam ini doang besok pulang. Tadi kan kamu sendiri yang minta nginap di sni." ucap Rania.

"Ya itu kan tadi, sekarang enggak jadi. Pa, ayo pulang." Arga mendongakkan kepalanya menatap Erlan.

"Sssut, jangan berisik. Semua orang udah pada tidur, kalau Nenek sama Kakek dengar nanti kita di marahin." bisik Rania lalu mematikan lampu kamarnya.

Arga menghela napasnya. "Orang belum ngantuk, di paksa tidur juga percuma." gumamnya.

"Ayo kita nonton, Papa juga belum ngantuk." ajak Erlan, ia paham dengan apa yang anaknya rasakan. Dulu saat pertama kali tinggal di rumahnya juga sama, dia tidak bisa tidur karena di tempat baru. Jadi wajar saja Arga tidak bisa tidur di rumah Nenek-nya, karena ini pertama kalinya.

"Hmmm, di luar tapi enggak mau di sini." balas Arga, lalu mereka keluar dari kamar, menonton televisi di ruang keluarga.

.........................

Pagi ini Gavin di kejutkan dengan kehadiran Banu yang entah sejak kapan ada di apartemennya. "Ayah, Ayah kapan datang ke sini?" tanya Gavin menghampiri Bara sedang duduk di sofa sambil menum kopi.

"Semalam, kamu udah tidur kali. Makanya Ayah datang kamu gak dengar." jawab Bara.

"Ayah cari Ibu? Semalam katanya Ibu pulang ke rumah."

"Iya, Alya pulang ke rumah Ibu-nya. Gimana kabar kamu, baik kan?"

"Aku baik Yah, kaya yang Ayah lihat sekarang. Aku baik-baik aja. Oh, iya Yah. Kemarin-kemarin ada yang datang ke kampus aku, katanya dia orang kantor, Ayah yang suruh dia?" tanya Gavin, dia baru ingat jika berberapa hari yang lalu ada orang yang menemuinya di kampus dan meminta tanda tangannya.

"Iya, orang suruhan Ayah. Selama Ayah enggak bisa urus kantor, kamu yang ambil alih. Belajar sedikit-sedikit, nantinya juga kamu yang urus."

Gavin menganggukkan kepalanya. "Tapi aku belum paham tentang urusan bisnis Yah, apa lagi selama ini kan juga belum pernah ke kantor Ayah, atau ikut Ayah ke acara kantor." ucap Gavin, memang selama ini kan Arga yang selalu di ajak pergi ke kantor oleh Ayah-nya. Sedangkan dirinya hanya santai-santai di rumah.

"Nanti ada yang ajarin kamu, enggak harus langsung bisa. Pelan-pelan, nanti lama-lama juga paham. Enggak usah terlalu di pikirin, santai aja. Kalau kamu hari ini ada waktu, Ayah mau kenalin kamu sama orang kepercayaan Ayah." ucap Bara dengan lembut mengusap rambut anaknya.

"Nanti sore habis aku pulang kuliah gimana Yah?"

"Boleh, nanti Ayah jemput kamu di kampus. Sekarang ayo kita sarapan." ajak Bara lalu menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan juga untuk Gavin.

Jika mereka berdua yang mengawali pagi hari dengan sedikit perbicangan, lain halnya dengan Erlan. Pagi ini di saat semua orang sudah bangun dan ada juga yang sudah beraktivitas di luar. Dia masih tertidur lelap di sofa bersama dengan anaknya.

Erlan tidur dengan posisi duduk bersandar di sofa, sedangkan Arga, dia tidur di sofa dengan posisi kaki di pangkuan Papa-nya.

"Nia, semalam Arga sama Erlan enggak bisa tidur?" tanya Mery pada menantunya.

"Semalam Arga minta pulang, terus Papa-nya ajak dia nonton. Mungkin semalam sampai ketiduran di depan TV, aku juga ketiduran semalam Ma, jadi enggak ingetin mereka pindah ke kamar." jawab Rania.

"Arga enggak bisa tidur mungkin karena semalam dia makan cuma sedikit, anak-anak kalau lapar ya enggak bisa tidur. Kalau Arga makan cuma sedikit, kamu harus sering-sering kasih dia makan Nia." ujar Mery yang memperhatikan porsi makan Arga yang menurutnya terlalu sedikit untuk anak seusianya.

"Iya Ma." balas Rania.

"Jangan cuma iya-iya aja. Minggu depan nginap ke sini lagi badan anak kamu udah tambah berisi, orang tuanya punya banyak uang masa anaknya di bikin kurus kering gitu. Cari chef yang benar-benar bisa masak, tanya anaknya sukanya apa. Kasih semua yang dia suka." gemas Mery melihat badan Arga yang paling kurus di antara cucu-cucunya yang lain.

"Anak aku emang susah makan Ma, bukan enggak cocok sama makannya, Arga juga bilang kalau dia suka atau enggak. Kita juga lagi usaha biar dia mau makan banyak. Tapi ya enggak gampang, kita juga udah konsultasi juga sama dokter." sahut Erlan yang tak sengaja mendengar obrolan Mama-nya dan juga istrinya.

Mery menghela napasnya, ia paham Erlan tidak suka jika keluarganya ikut campur dalam rumah tangganya, tapi di sini ia hanya khawatir pada cucunya itu. "Mama cuma khawatir, bukan maksud apa-apa." jelas Mery.

"Aku juga jelasin ke Mama, biar nanti kalau Arga makan enggak habis lagi atau dia makan cuma sedikit. Papa enggak bilang, lihat tuh Nizam pintar, makanannya habis." balas Erlan, ia tidak suka jika anaknya di membanding-bandingkan dengan anak lain.

"Udahlah masih pagi, semalam kan masud Papa baik." lerai Mira.

"Maksud aku juga baik, cuma ngejelasin." balas Erlan.

"Erlan, udah cukup. Yang lain udah pada pulang, bangunin Arga. Kita sarapan sama-sama." ucap Mira ketika mendengar suara anak-anaknya yang baru saja pulang dari lari pagi.

"Habis sarapan kita pulang." ucap Erlan pada istrinya, lalu dia pergi ke ruang keluarga untuk membangunkan anaknya.

"Ngambek lah tuh dia." ucap Rena, anak bungsu Mery.

"Biarin aja nanti juga baik sendiri." sahut Rania.

"Enggak mungkin Mbak, ribut dulu sama Papa-nya. Dapat hadiah baru baikan." balas Rena, yang sudah hapal betul sifat Kakak-nya yang satu ini.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang