Siang ini Arga pergi ke kantor bersama dengan Erlan, untuk Arga ikut ke kantor sudah menjadi hal biasa. Karena biasanya dia juga ikut Bara ke kantor, bahkan ikut dalam rapat penting juga.
Namun hari ini sedikit berbeda, di mana biasanya Arga akan mengikuti Bara layaknya asisten pribadinya. Sekarang di kantor Erlan, dia di perlakukan layaknya Tuan muda, anak dari pemilik perusahaan.
"Sebentar lagi Papa mau masuk ke ruang meeting, mau ikut apa tunggu di sini aja? Kalau tunggu di sini Papa minta karyawan buat temenin kamu di sini." ucap Erlan, saat ini mereka berada di ruang kerja Erlan.
"Ngapain karyawan temenin aku di sini? Aku berani sendiri di sini." balas Arga yang yang sedang bermain game di ponselnya.
"Ya biar kamu ada yang temenin, Papa kan lama meeting nya. Nanti kamu bosan, enggak ada yang ngajak ngobrol."
Arga mengalihkan perhatiannya pada Erlan yang duduk di kursi kerjanya. "Bilang aja takut aku kabur, enggak usah banyak alasan."
"Ya kamu juga, kalau mau pergi-pergi enggak mau bilang. Papa kan jadi mikir yang bukan-bukan, lagian tuh ya. Kalau sampai Kakek kamu tau, kita bisa di hukum." jelas Erlan, dia bukan sedang menakut-nakuti anaknya. Tapi jika Zidan sampai tua dirinya tidak bisa mengurus anak dengan baik, maka dirinya hanya siap menerima ceramah panjang kali lebar dari keluarganya.
"Di hukum udah biasa, ngapain takut. Aku sama sekali enggak tauk tuh." ucap Arga dengan santai, lagi pula dirinya sudah terbiasa mendapatkan hukuman dari Bara. Jadi tidak masalah jika mendapatkan hukuman lagi.
"Tapi Papa enggak pernah di hukum, jadi kita bisa kan kerja sama?"
"Enggak, aku enggak mau kerja sama. Apa lagi sama Papa, tapi Papa bagus juga enggak pernah di hukum. Itung-itung nanti kita cobain hukuman dari Kakek kaya gimana. Kalau oke, boleh lah kita ulangi berkali-kali. Lumayan kan, buat olahraga Kakek." balas Arga tersenyum manis pada Erlan.
Erlan menghela napasnya, dia tidak tahu lagi bagaimana harus membuat anaknya mengerti akan kekhawatirannya. Ini bukan tentang hukuman dari Zidan, tapi kekhawatirannya pada anak itu.
Ia takut saat di luar sana terjadi sesuatu hal yang tidak di inginkan, apa lagi dengan kondisi anak itu yang dengan mudahnya lupa hal-hal kecil yang mungkin saja bisa membuatnya dalam bahaya. Jika dirinya tidak tahu kemana anaknya itu akan pergi, bagaimana ia nanti akan mencarinya saat dia tidak bisa menemukan jalan untuk pulang ke rumah.
"Oh, Papa tau. Ikut Papa." Erlan mengandeng tangan Arga keluar dari ruang kerjanya.
Erlan membawa Arga masuk ke sebuah ruangan yang ukurannya lebih besar dari pada ruang kerja Erlan. "Nah, kamu tunggu aja di sini. Sama Kakak-nya Papa, sebentar kayanya orangnya belum datang." ucap Erlan meminta Arga untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan tersebut.
"Aku bukan anak kecil, enggak perlu di titip-titipin ke orang." ucap Arga menepis tangan Erlan yang sejak tadi tak mau melepaskan tangannya.
"Erlan, kamu di sini? Ada apa?" suara seorang pria mengalihkan perhatian Arga dan Erlan.
"Mas, aku ada meeting hari ini, aku mau titip anak aku di sini sebentar. Mas kan hari ini enggak ikut meeting." ucap Erlan pada Adyan, Kakak pertamanya.
"Kamu di sini dulu ya sama Daddy, nanti Papa jemput lagi-"
"Daddy siapa? Mama nikah lagi?" sela Arga menahan tangan Erlan.
"Maksudnya Kakak-nya Papa, kamu manggilnya Daddy. Papa pergi dulu, jangan pergi-pergi sendiri, tunggu Papa jemput baru nanti kita pergi ke mana pun yang kamu mau." ucap Erlan mengusap rambut Arga dengan lembut lalu pergi dari ruangannya Kakak-nya.
Setelah Erlan pergi, ruangan itu menjadi hening. Arga sibuk dengan handphonenya sedangkan Adyan sibuk dengan laptopnya di meja kerjanya.
"Anjing." umpat Arga ketika dia kalah bermain game.
Adyan yang mendengar umpatn dari Arga pun bangkit dari duduknya, mendekati Arga yang masih asyik dengan handphonenya.
"Ngomong apa kamu barusan?" tanya Adyan dengan suara dingin,dia mengambil handphone Arga.
Arga mendongakkan kepalanya menatap Adyan. "Enggak sengaja, lagian kan anjing enggak kasar-kasar amat. Kan emang ada hewan namanya anjing." ucap Arga kembali merebut handphonenya dari tangan Adyan.
"Apa Erlan enggak ngasih tau kamu? Kalau di keluarga kita, ada peraturan di mana anak-anak enggak boleh ngomong keras." Adyan terus menatap Arga dengan tatapan dingin, dia tidak suka mendengar umpatn anak itu.
Arga berdecak kesal, dia bangkit dari duduknya. "Aku cuma numpang di rumah Mama sebentar, enggak penting juga aku tau aturan di rumah Om." ucap Arga berjalan mendekati pintu keluar, baru saja dia ingin membuka pintu itu. Salah satu tangannya lebih dulu di cekal Adyan.
"Kamu enggak dengar tadi Papa kamu bilang apa? Tunggu di sini, sampai Papa kamu datang menjemput mu. Duduk diam di sana." ucap Adyan lalu mengunci pintu ruang kerjanya, dia menyimpan handphone Arga lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
Arga tak menuruti perintah Adyan, dia tetap berdiri di depan pintu. Sedangkan Adyan hanya diam, sesekali memperhatikan anak adiknya yang sepertinya lebih keras kepala dari pada Erlan.
.................
Sudah satu jam lamanya Rania menunggu Bara, tapi pria itu tak kunjung datang ke kafe di mana dia sendiri yang membuat janji untuk bertemu di kafe tersebut.
"Di mana dia? Apa dia berubah pikiran. Harusnya ngasih kabar kalau enggak jadi datang. Buang-buang waktu aja." gumam Rania.
"Maaf, kami terlambat." suara seorang wanita dari arah belakang, Rania menoleh ke belakang, di sana ada Bara dan istrinya.
"Aku pikir kalian enggak jadi datang." ucap Rania tersenyum tipis pada mereka berdua.
"Silahkan duduk, kita langsung bicara intinya saja." ucap Rania mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat berukuran besar.
"Ini ada hasil pemeriksaan kesehatan Arga-"
"Kita datang bukan untuk membahas hal itu." sela Alya menatap Rania dengan tatapan tak suka.
"Memang bukan Nyonya, saya hanya ingin tau. Apakah Arga pernah mengalami kecelakaan atau terjatuh dan membuat kepalanya terbentur? Itu yang saya ingin tanyakan pada kalian berdua." ucap Rania menatap Alya yang berdiri di hadapannya.
"Kembalikan Arga pada kami, kamu sama sekali tidak berhak atas Arga. Sejak kecil aku yang merawat dan membesarkannya." ucap Alya.
Rania tersenyum tipis pada Alya. "Jika dalam sidang hak asuh jatuh pada Anda, saya tidak akan membiarkan Arga kembali lagi pada Anda Nyonya. Terima kasih karena telah merawat dan membesarkan anak saya, tapi bukan Anda juga memanfaatkannya Nyonya?"
Alya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. "Kau-"
"Laporan terhadap suami Anda, tidak akan pernah saya cabut. Hukum tetap berjalan, dan ini." Rania mengeluarkan ponsel dan juga sebuah kartu, meletakkannya di atas meja.
"Saya menemukan barang-barang ini di dalam kantong celana anak saya, saya rasa ini adalah milik Anda. Jadi saya kembalikan, dan Anda katakan saja berapa jumlah untuk yang sudah di gunakan anak saya dari kartu ini. Saya akan menggantinya." ucap Rania meninggal kartu namanya di atas meja lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana.
"Kau akan menyesal Rania." ucap Bara yang sejak tadi hanya diam. Akhirnya pria itu mengeluarkan suaranya.
Rania menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang. "Anda yang akan menyesal. Saya pastikan itu." ucap Rania bergegas pergi dari sana.
"Sialan! Aku udah bilang. Harusnya kamu enggak ikut ke sini!" marah Bara pada Alya.
"Kau mengacaukan semuanya sialan!" umpat Bara lalu pergi meninggalkan istrinya sendiri.
Dia sudah merencanakan banyak hal udah mendapatkan Arga kembali, tapi sayangnya dua wanita di rumahnya ikut campur dan mengacaukan rencananya. Sekarang ia tidak ada pilihan lain, selain mengikuti sidang yang akan di gelar hari dua hari mendatang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGA
Teen FictionArga adalah remaja yang lahir dari hasil perselingkuhan sang Ayah yang di lakukannya dengan sengaja, sejak bayi tinggal bersama dengan Ayah-nya yang hanya memanfaatkan dirinya untuk obat sang kakak yang yang menderita penyakit anemia aplastik. hidup...