27

3.8K 333 7
                                    

"Yah, yang di bilang Tante tadi itu serius bohong? Terus yang Ayah bilang Ibu kandung aku udah meninggal itu juga bohong kan Yah? Aku ingat, aku pernah ketemu kok, tapi aku lupa tempatnya." ucap Arga masih tak percaya dengan apa yang di katakan Bara.

Dia yakin Ayah-nya itu bohong tentang Ibu kandungnya, jelas-jelas dia masih ingat jika Oma-nya pernah mengatakan jika dirinya itu anak dari wanita murahan yang menghancurkan kedudukan Bara.

Arga mencoba mengingat-ingat kembali apa saja yang sudah di lupakan. Dia memukul kepalanya berulang kali agar ingatannya kembali.

"Arga apa yang kamu lakukan?!" ucap Bara menahan kedua tangan anaknya.

"Ada apa ini? Arga kamu kenapa?" tanya Alya yang mendengar keributan dari dalam, dia pergi keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar. Ternyata suami dan anak bungsunya yang sedang ribut di teras rumah.

"Arga, kamu kenapa nak?" khawatir Alya mendekati anaknya.

"Sebenarnya aku ini anak siapa sih? Ibu kandung aku tuh yang mana? Masih hidup apa udah meninggal?" kesal Arga menepis tangan Bara, mengusap rambutnya sendiri dengan kasar.

Bisa-bisanya dirinya melupakan hal penting seperti ini, sekarang ia bingung. Siapa yang harus di percaya.

"Ibu kandung kamu udah meninggal Arga-"

"Terus siapa Tante yang tadi Yah? Dia bilang Ibu kandung aku." sela Arga. Entah mengapa hatinya tidak percaya dengan ucapan Ayah-nya.

Alya meraih tangan anaknya dengan lembut. "Dengerin Ibu, kamu anak Ibu. Memang bukan Ibu yang lahirin kamu, tapi dari bayi kamu sama Ibu. Kamu di sini sama Ayah, sama Ibu, sama Abang." ujar Alya dengan lembut mengusap lengan Arga.

"Kita masuk dulu, kita ngobrol di dalam. Nanti Ibu ceritain semuanya. Sekarang kita masuk dulu, kita sarapan sama-sama." ajak Alya mengandeng tangan Arga masuk ke dalam rumah.

Arga melepaskan genggaman tangan Alya, lalu duduk di sofa ruang keluarga. "Aku udah makan tadi." ucapnya mengambil remote tv.

"Makan apa? Ibu baru aja selesai masak. Kamu sarapan di luar? Emang ada yang jualan?" tanya Alya mendudukkan dirinya di samping anaknya.

"Iya, makan di jalan tadi." jawab Arga menggeser tubuhnya menjauh dari Alya.

Alya menoleh pada Bara yang baru saja masuk ke ruang keluarga. Bangkit dari duduknya, menghapri suaminya. "Siapa wanita yang di maksud Arga tadi?" tanya Alya dengan suara pelan.

"Bukan urusan mu, awas jangan menghalangi jalan." ucap Bara lalu pergi dari hadapan Alya.

"Arga, mau ikut Ayah ke kantor?" tawar Bara.

"Enggak Yah, biarin Arga di rumah. Ini hari libur, dia juga baru aja sakit. Harusnya kita bawa Arga ke rumah sakit. Bukannya malah di bawa ke kantor." bukan Arga yang menjawab, melainkan Gavin yang menjawab.

"Dia baik-baik aja."

"Dari mananya baik-baik aja Yah? Ayah sama Ibu belum cukup bohongi aku selam ini? Siapa yang udah donorin sumsum tulang belakang buat aku? Ayah atau Arga?" ucap Gavin berjalan mendekati kedua orang tuanya.

"Sebenarnya masalah kalian tuh apa sih? Yang salah sebenarnya di sini siapa? Ayah, Ibu, Arga atau aku?"

Bara tersenyum tipis pada anak sulungnya, menepuk pundak Gavin lalu menujuk ke arah Alya. "Dia adalah biang masalah dari semuanya. Dia dan Ibu-nya sama aja. Jangan cari ribut pagi-pagi. Ajak adikmu sarapan." ucap Bara lalu pergi ke kamarnya.

"Hidup kita gak ada pernah bisa baik-baik aja, selama kalian berdua gak menyadari kesalahannya sendiri. Mau sampai kapan saling nyalahin? Gak capek apa kaya gini terus? Lihat Arga, aku bilang dia sakit pun kalian masih tetap diam. Dan gak ada yang percaya, kalau emang gak suka, gak mau Arga di sini. Biarin dia pergi, dia berhak dapat keluarga yang lebih layak dari kita." ucap Gavin yang masih bisa di dengar dengan jelas oleh Ayah-nya.

Namun Bara tak mengatakan apapun, dia tetap melanjutkan langkah ke kamarnya. Sedangkan Alya hanya diam mematung di tempatnya.

Gavin mendekati adiknya yang duduk di sofa sambil menonton berita di televisi. "Ayo kita sarapan, habis itu kita ke rumah sakit." ajak Gavin menarik tangan adiknya untuk berdiri.

"Mau ngapain ke rumah sakit?"

"Ketemuan sama dokter." jawab Gavin mengusap rambut adiknya. "Tumben kamu pagi-pagi gini udah mandi, biasanya sore nanti sekalian mandi sore."

"Tadinya mau pergi sekolah, tapi Ayah bilang ini hari libur. Jadi gak jadi pergi sekolah, kita itu sekolah di mana ya? Kok di kamar aku gak ada seragam sekolah satupun?" tanya Arga sambil berjalan mengikuti Gavin ke ruang makan.

"Kita sekolah di rumah, kita gak ada seragam sekolah." jelas Gavin.

"Oh, sekolah di rumah. Tapi kemarin aku ketemu sama teman aku, habis pulang sekolah?"

"Bukan pulang sekolah tapi pergi main, yang sekolah umum teman kamu. Kamu sama Agung, teman kamu itu sering pergi main. Kalau libur panjang kamu juga nginap di rumah dia."

Arga menganggukkan kepalanya. "Berati hari ini aku boleh pergi main? Hari ini kan libur."

"Hari ini kita pergi ke rumah sakit dulu, nanti kalau udah dari rumah sakit boleh pergi main." ucap Gavin dengan sabar menjelaskan pada adiknya. Ia juga belum tau pasti apa yang terjadi pada adiknya, untuk mengetahui kondisi adiknya. Ia harus membawanya pergi ke rumah sakit sendiri.

Karena percuma menunggu orang tuanya yang membawanya, mereka saja tidak perduli apapun tentang adiknya.

Gavin mengambilkan sarapan untuk adiknya. "Tadi aku udah makan." ucap Arga ketika Gavin meletakkan nasi goreng di depannya.

"Kapan? Abang gak lihat kamu makan, makan di mana?"

"Tadi di luar."

"Makan lagi sedikit, kalau gak habis gak pa-pa." ucap Gavin.

Sementara itu, Rania baru saja sampai di rumah. Dia berjalan masuk ke dalam rumah.

"Dari mana kamu pagi-pagi gini udah keluyuran?" suara seorang pria menghentikan langkah Rania.

"Aku pergi bertemu dengan anak ku." jawab Rania menatap suaminya.

"Ayolah Rania, jangan bercanda. Anak yang mana yang kamu maksud? Kita gak punya anak Rania, jadi stop. Jangan menghayal yang bukan-bukan." ucap Erlan, suami Rania.

"Bukan aku yang mandul, tapi kamu-"

"Aku gak ada bilang kamu mandul Rania. Kenapa kalau kamu bahas soal anak, selalu hal ini yang kamu sebut-sebut."

"Yang bilang begitu kan keluarga kamu, Mama sama Papa kamu yang selalu bilang gitu sama aku. Mereka selalu nyalahin aku yang katanya gak bisa ngasih keturunan. Aku bakalan buktikan, aku itu gak mandul, aku punya anak." ucap Rania lalu pergi ke kamarnya.

Sudah lama dia menikah dengan Erlan, hampir sepuluh tahun. Tapi sampai sekarang belum juga di karuniai seorang anak, keluarga Erlan selalu menyalahkannya. Yang katanya tak bisa memberikan anaknya keturunan, mereka juga memintanya untuk pisah atau mencarikan istri kedua untuk suaminya.

ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang