48

1.8K 276 12
                                    

Waktu terus berputar, cahaya matahari sudah di gantikan dengan cahaya rembulan, namun belum ada tanda-tanda remaja yang terbaring di atas kasur itu membuka matanya. Dia masih terlelap dalam mimpi indahnya.

Erlan duduk di kursi samping ranjang anaknya, dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi anaknya. Baru tadi siang dia bercanda dengan anaknya dan dia hanya pergi sebentar. Dan sekarang anaknya sudah terbaring lemah di rumah sakit dengan banyaknya peralatan medis menempel pada tubuh anaknya.

Sebelumnya dokter sudah menjelaskan tentang kondisi anaknya yang menderita anaknya. Demensia ensefalopati traumatik kronik, adalah jenis demensia yang disebabkan oleh cedera kepala berulang. Benturan di kepala ini merusak otak seiring berjalannya waktu, memengaruhi cara berpikir, suasana hati, dan perilaku penderita. Kondisi ini mengganggu kehidupan sehari-hari. Bahkan bisa menyebabkan penderitanya koma.

Erlan menggenggam tangan Arga, mencium tangan anaknya cukup lama. Ia berharap ini hanya mimpi buruknya, ia ingin segera bangun mengakhiri mimpi buruk ini yang menakutkan ini.

Erlan mengusap pipi anaknya dengan lembut, dia mengingat obrolan anaknya dengan sahabatnya waktu itu.

Saat itu di kafe milik Adam, di mana Arga dan Agung duduk berdua sambil mengobrol, awalnya mereka hanya mengobrol tentang pelajaran sekolah. Sampai pada akhirnya, Agung menanyakan tentang hal pribadi pada Arga.

"Gimana Ar, lo bahagia sekarang? Tinggal sama Mama lo." ucap Agung sambil menikmati kopinya.

"Bahagia, mungkin iya. Tapi gue juga enggak tahu juga sih. Masih bingung." jawab Arga.

"Bingungnya?"

Arga meletakkan handphonenya di atas meja, lalu menatap sahabatnya dengan wajah serius. "Gue masih mikir mereka mau ngerawat gue karena ada tujuannya. Dan kalau tujuan mereka udah sampai, gue pasti bakal di buang." ucap Arga dengan suara pelan.

"Kenapa lo ngomong gitu? Gue lihat Papa tiri lo sayang banget sama lo. Nyokap lo juga sama."

"Kalau Mama sayang sama gue, dia enggak akan kasih gue sama Ayah gue dulu. Lo tahu Gung, nyokap gue gak punya anak sama suaminya yang sekarang. Gue mikirnya Mama mau ngerawat gue karena ada tujuannya."

"Gue gak ngerti maksud lo Ar, nyokap lo mungkin aja mau memperbaiki kesalahannya. Mulai semuanya dari awal lagi. Dan gak ada hubungannya dia yang enggak punya anak."

Arga menghela napasnya. "Dengan mau ngerawat gue dia berharap bisa hamil lagi, kata orang kan kalau enggak punya anak ngerawat anak orang lain dan bisa hamil. Mama gue mungkin mau coba cari itu."

"Tapi setahu gue itu harusnya ngerawat bayi Ar."

"Ya gue juga gak tahu, mungkin coba-coba aja dulu mana tau berhasil. Tapi gue lagi mikir, gimana nanti kalau Mama beneran hamil terus punya anak sendiri. Gue gak tau mau ke mana lagi kalau mereka udah enggak butuh gue. Karena Ayah gue pasti juga gak butuh gue, Abang gue udah sembuh. Dan gue juga enggak tau, semengenaskan apa akhir hidup gue nanti."

"Secara kan sekarang gue udah banyak lupa, bisa jadi kan suatu hari nanti lupa cara nyebrang jalan, terus ketabrak mobil, mati. Kira-kira siapa yang bakal ada di pemakaman gue Gung, Ayah atau Mama? Atau enggak ada satupun yang ada di sana."

"Gue, gue yang bakalan selalu ada buat lo. Kalau lo lupa gue yang bakalan ingetin lo, dan lo gak bakalan nyebrang sendiri. Gue ada di sana bantuin lo."

Erlan tersadar dari lamunannya ketika merasa ada yang menepuk pundaknya. "Ayo kita makan." ajak Abyan pada adiknya.

"Nanti, aku belum lapar. Tunggu anak aku bangun, aku makan nanti sama Arga." balas Erlan tanpa melihat kearah Abyan.

Abyan meletakkan bingkisan makanan di atas meja. "Nia, ini makan malam buat kalian berdua. Ajak Erlan makan, yang lain nunggu di luar. Kalau butuh bantuan panggil aja." ucap Abyan pada Rania. Sedangkan Rania hanya menganggukkan kepalanya.

"Aku tahu ini bukan hal yang mudah, kita juga sama, semuanya khawatir sama Arga, tapi kalau kalian begini siapa nanti yang jagain Arga. Ayo bangun, kita makan dulu." ucap Abyan menoleh pada adik dan adik iparnya yang masih duduk diam di tempatnya masing-masing.

"Kamu bisa bilang gitu karena bukan anak kamu yang di sini. Coba kalau anak kamu yang di sini, mana sempat mikirin makan." ucap Erlan.

Abyan mendekati Erlan, menepuk pundak Erlan. "Kamu itu punya masalah sama lambung kamu, kalau kumat siapa yang jagain Arga nanti." Abyan melepaskan genggaman tangan Erlan pada tangan Arga.

"Aku enggak perduli mau sakit atau apapun itu. Yang penting anak aku harus bangun."

"Arga pasti bangun lagi, dia cuma tidur sebentar-"

"Bohong, dari tadi anak aku enggak bangun. Bilang sama Arga, aku enggak manfaatin dia, sedikitpun enggak pernah. Bilang sama dia, aku anggap dia anak aku sendiri, gak ada niat apa-apa." ucap Erlan menatap Abyan dengan berurai air mata.

"Gimana buat dia percaya sama aku. Aku bersumpah, gak pernah punya niat buat manfaatin dia. Dia sama sekali enggak percaya sama aku. Aku harus gimana biar dia percaya."

Erlan menundukkan kepalanya, mengingat ucapan Arga yang mengatakan. Siapa yang akan ada di pemakamannya nanti, Ayah-nya atau Mama-nya. "Dia enggak ingat ada aku."

Abyan menarik tangan adiknya masuk kedalam pelukannya. "Arga begitu karena penyakitnya. Dia percaya kamu sayang sama dia. Arga begitu karena dia sakit, dia pasti bangun lagi."

Ceklek

Pintu kamar rawat Arga di buka dari luar, Mery masuk dalam kamar rawat Arga, mendekati ranjang cucunya. "Biar Mama yang gantian jagain Arga, kalian makan dulu. Papa di luar," ucapnya pada anak-anaknya.

"Aku mau di sini, Nia kamu makan dulu. Biar Arga sama aku." ucap Erlan menoleh pada istrinya yang duduk di sofa.

"Kalian berdua, sana keluar. Makan, habis itu bersih-bersih baru balik lagi ke sini. Abyan, bawa mereka berdua keluar." timah Mery pada anak sulungnya.

"Mama mau pisahin aku sama anak aku?!"

"Iya, kamu berisik. Kalian enggak bisa ngurus anak, udah tau anak sakit malah ribut di sini. Keluar sana."

"Abyan bawa mereka keluar." tegas Mery. Anak dan menantunya itu tadi bertengkar dan mereka saling menyalahkan satu sama lain. Mereka mengungkit masa lalu dan Erlan menyalahkan istri atas apa yang terjadi pada anaknya sekarang, itulah yang membuat mereka duduk berjauhan dan saling diam.

Abyan menarik tangan adiknya keluar dari kamar rawat Arga, sedangkan Rania tetap duduk di sofa. Mery mendekati menantunya setelah Erlan keluar dari kamar rawat Arga.

"Erlan benar Ma, aku yang salah. Andai dulu Arga sama aku. Mungkin ini enggak akan terjadi." ucap Rania menundukkan kepalanya.

"Semua orang punya masa lalu, dan semua orang juga punya salah. Kesalahan kecil ataupun besar, tapi enggak semua orang mau ngakui kesalahannya. Mencoba memperbaiki, walaupun tahu. Itu udah rusak." ucap Mery mengusap pipi menantunya.

"Sekarang makan dulu, jangan sampai kamu juga sakit. Nanti Arga bangun lihat kamu sakit kan dia jadi sedih. Mama siapin makanannya." ucap Mery membuka bingkisan makanan yang ada di atas meja, lalu memberikan pada menantunya.

Setelah itu dia, kembali mendekati ranjang Arga. Duduk di kursi samping ranjang. "Karena ini udah malam Nenek enggak akan minta kamu bangun sekarang, tapi besok pagi harus bangun. Tadi Papa kamu udah marahin Mama kamu, dia berani marah-marah sama Mama kamu di depan Nenek, besok kamu bangun gantian marahin Papa." ucap Mery mengusap rambut Arga dengan lembut.






ARGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang