Mythology

1.1K 85 6
                                    

Ada salah satu keputusan yang paling ia benci dan ia sesali seumur hidupnya. Yakni mengubah identitasnya. Namun mau semenyesal apapun, mau semarah apapun, itu tidak akan merubah takdir.

Kim Doyoung yang dulu, sudah benar-benar mati. Entah itu secara watak, maupun jiwanya. Karena faktanya, kini ia hanyalah sebuah raga yang berdiri tanpa butuh bantuan dengan adanya sebuah jantung ataupun organ lainnya.

Mata yang sedaritadi terjaga itu tak henti-hentinya menatap hamparan langit malam yang terlihat indah saat ini. Bibirnya juga sesekali menyesap sebuah benda panjang yang mengeluarkan asap.

Ia duduk di kursi balkon kamarnya seorang diri. Bahkan bisa dihitung, sudah dua hari ia tidak beranjak keluar dari dalam kamarnya. Padahal tidak ada hal spesial yang ia lakukan.
Selain sebuah kebiasaan baru yang kini mulai sering ia lakukan. Berada di balkon saat malam hari, hingga hampir fajar.

Namun malam ini tak seperti malam biasanya. Kini sudah tengah malam, dan suara ketukan pintu terdengar. Helaan napas kesal keluar dari belah bibirnya. Ya, walaupun dirinya tidak benar-benar bernapas.

Dengan malas ia melangkahkan kakinya untuk membuka pintu kamarnya. Menatap tanpa minat seseorang yang kini berdiri di depannya.

"Yang lain mau keluar buat cari makan. Ikut? "

Doyoung menanggapinya dengan gelengan. Lalu tangannya hendak kembali menutup pintu kamarnya itu jika saja seseorang di depannya tidak menahannya.

"Apalagi? "

"Gue maksa lo ikut"

"Perkataan lo sebelumnya, itu berupa penawaran. Gue berhak buat nolak ataupun nerima"

Namun sepertinya orang itu tidak peduli. Kini malah menarik tangan Doyoung untuk saling bertaut lalu membawanya berlari kencang. Doyoung yang tidak siap dengan aksi tiba-tiba itu, kini pasti sudah jatuh terjembap jika saja pinggangnya tidak direngkuh kuat saat keduanya berhenti.

"Kurang ajar! "

"Bahasa kamu, Kim Doyoung"

Kini Doyoung semakin dibuat kesal kala mendapat teguran dari Hyunsuk. Juga raut wajah Junkyu yang kini tersenyum bangga. Nyatanya ditempat ini, tidak hanya dua atau tiga orang. Namun dua belas orang. Termasuk Doyoung tentunya.

"Udah berapa lama kamu hibernasi di kamar? "

Doyoung menoleh. Menatap Jihoon yang baru saja melontarkan pertanyaan atau mungkin sebuah sindiran? Doyoung juga malas menanggapinya.

"Gitu aja ngambek"

"Tck! Gausah colek-colek! "
Kesal Doyoung karena ulah Junkyu yang kini sedang mencolek-colek tangannya.

"Daripada ribut terus, better we find the blood now"

"Gue nggak mau"

Semua netra itu tertuju pada Doyoung yang baru saja mengatupkan bibirnya.

"Lo mau mati? "

Decakan malas ia gunakan untuk membalas perkataan yang Asahi lontarkan. Tumben sekali.

"Nggak bakal buat mati"

"Nggak ada. Lo tetep ikut"

Junghwan berujar. Bahkan posisi berdirinya yang mulanya lumayan jauh dengan Doyoung, kini mendekat. Menggandeng tangan yang lebih kecil dari miliknya itu.

"Gue nggak mau! Apasih? "

"Stop buat terus-terusan nolak ya, Doyoung. Lo mau mati dengan cara halus apa gimana? "

Doyoung mendelik menatap sinis pada Jeongwoo. Selain ia kesal karena dipaksa, ia jua kesal karena Jeongwoo memanggilnya se-enaknya. Ayolah, Doyoung lebih tua. Ya, walau proporsi tubuhnya lebih kecil daripada Jeongwoo.

"Nggak usah berantem. Kamu juga, Doyoung. Nggak ada penolakan. Tetep ikut atau kakak bakal hancurin kamar kamu biar kamu nggak di kamar terus? "Ancam Jaehyuk.

"Ah nggak asik! "

Doyoung menyentak tangan Junghwan. Berjalan lebih dulu meninggalkan kesebelas orang lainnya yang hanya menatapnya maklum.

Lalu setelahnya, mereka berjalan bersama. Berusaha mencari hewan untuk mereka ambil darahnya. Ya, mereka tak sekejam itu untuk mencari manusia waras lalu dengan lancang meminum darah mereka.
Mereka hanya akan mengambil darah manusia yang berbuat keji. Setidaknya itu yang mereka lakukan ketika masih bisa mengontrol nafsu.

Setelah hampir semalaman mereka berburu dan mendapatkan darah yang cukup banyak yang kini mereka letakkan di kantong darah, mereka bergegas kembali ke rumah mewah yang menjadi tempat tinggal. Tentunya sebelum fajar bener-benar terbit. Karena, ayolah. Mereka vampir. Makhluk mythologi yang hanya dipercayai keberadaannya oleh beberapa orang saja.

Bahkan faktanya, mereka sendiri masih sulit untuk mempercayai takdir yang menimpa mereka. Apalagi jika ada manusia biasa yang mengetahui? Pasti sudah lari terbirit karena takut, atau mungkin malah berusaha membunuh mereka.

"Ayo balik. Udah mau pagi"
Mendapat interupsi dari Hyunsuk, semua mengangguk patuh. Kecuali Doyoung tentunya. Tapi, tenang. Ia tetap ikut kembali. Lagipula ia menjadi sedikit tidak nyaman ketika berada di luar.

Setelah menggunakan kemampuan yang mereka miliki setelah menjadi vampir, yakni berlari kencang, akhirnya mereka sampai di kediaman. Tak membutuhkan banyak waktu. Mungkin hanya lima detik?

"Suk, biar gue sama Doyoung yang bawa darahnya ke tempat penyimpanan"

Hyunsuk mengangguk. Memberikan satu plastik yang berisi kantung darah kepada Doyoung. Yang mau tidak mau harus diterima.

"Ayo"

Doyoung hanya mengangguk sekilas lalu mengikuti langkah Jihoon yang membawa mereka ke ruangan yang khusus untuk digunakan menyimpan stok makanan mereka.

"Ditata yang rapi"
Tegur Jihoon kala mendapati Doyoung yang menaruhnya asal.

"Kaya nggak pernah nata ginian aja. Sini"

Jihoon mengambil alih pekerjaan Doyoung. Tentu Doyoung hanya diam dan tidak ada niatan untuk menolak.

"Kamu masih marah? "

Keheningan yang sebelumnya tercipta, kini sirna. Kala Jihoon kembali membuka percakapan.

"Soal apa? "

"Soal takdir yang udah bawa kita ke titik ini"

Doyoung diam. Bukan tidak mau menjawab. Tapi ia bingung harus menjawabnya bagaimana.

"Doyoung? "
Jihoon berdiri, menghadap kearah Doyoung.

"Nggak tau"

"Kenapa nggak tau? Sedangkan sikap kamu seakan-akan menunjukkan kalau kamu benci dengan semua ini? "

"Kasih tau kakak gimana perasaanmu itu"

Kakak, ya? Rasanya Doyoung sudah lama tidak mendengar juga mengucapkan kata itu. Salahkan emosinya yang seakan siap meledak ketika berada didekat mereka. Kalau boleh jujur, ia merindukan ini.
Dipikir-pikir setelah kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak diharapkan olehnya, ia menjadi jarang berkomunikasi dengan kesebelas orang penghuni rumah ini.

"Nggak usah bahas ini, bisa? "

"Kenapa? Berati bener dong, kamu masih belum bisa nerima ini semua"

"Atas dasar apa lo ngomong gitu? "

"Sikap kamu yang ngejelasin semua"

Doyoung kembali diam. Mungkin Jihoon benar. Tapi biarkan dulu untuk Doyoung menyangkal semua hal itu. Walau sebenarnya, ia saat itu juga ingin berteriak dengan lantang bahwa ia sangat membenci takdir yang menimpanya.



























Rasa ingin menjadikan ini book📈

Tapi sadar cerita lain masih aku anggurin. 😀👎

DoyoungieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang