Release

985 70 2
                                    

Matanya melihat padatnya jalanan dihari yang hampir malam ini. Dingin yang terasa menusuk kulit, ia abaikan begitu saja. Berlagak seolah dirinya baik-baik saja. Padahal ia sendiri tahu, bahwa tubuhnya susah untuk diajak kompromi dengan udara dingin.

Hembusan napas kasar yang entah sudah keberapa kalinya keluar dari belah bibirnya. Merasa kakinya mulai lelah untuk berdiri, ia menjauhkan tubuhnya dari pembatas, berjalan mendekat pada sebuah sofa tua yang berada di rooftof dari bangunan tinggi itu. Kampusnya.

Matanya mengedar keberbagai titik tempat. Hingga pandangannya berakhir tertuju pada langit yang mulai menggelap diatas sana. Senyum getir timbul menghiasi wajahnya.

Hingga tiba-tiba, suara berisik dari pintu besi yang terbuka membuat atensinya teralihkan. Ia menatap kebelakang. Seseorang tengah kembali menutup pintu yang sebelumnya ia buka.

Netra keduanya beradu tatap. Tidak lama, karena Doyoung memilih untuk kembali menatap kearah depan.

"Udah mau malam. Kenapa belum pulang? "

Suara lembut yang dulu senantiasa menjadi candu baginya, kini kembali mengalun indah pada indra pendengarannya. Ia, merindukannya.

"Belum dijemput? "

Suaranya semakin dekat. Bahkan kini, Doyoung dapat melihat orang itu yang berdiri di sampingnya.
Doyoung menggeleng. Menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh orang itu.

"Belum? "

"Nggak. Gue pulang sendiri"

"Kalau pulang sendiri, harusnya lebih awal. Nggak baik kalau terlalu larut"

Doyoung mengangguk. "Iya"

"Mau kakak antar? "

Doyoung menatap orang tersebut. Sorot mata teduh yang membuatnya lagi-lagi merasa rindu. Hatinya kembali terasa sesak.

"Nggak usah"

"Doyoung... "

"Kenapa? "Jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan. Keduanya sama-sama menatap netra lawan bicara.

"Gimana....kabar kamu? "

Doyoung mengangguk. "Seperti yang kak Jaehyuk lihat"

"Kamu, baik tanpa kakak, kan? "

Doyoung menegak ludah kasar.
"Iya. Dan semua itu butuh proses yang sulit"

Jaehyuk mengangguk. Ia kemudian dudduk disamping yang lebih muda.

"Kakak minta maaf"

"Lupain semuanya, kak"

"Semudah itu, Doyoung? Kakak belum bisa"

"Kakak pikir aku juga udah bebas dari kenangan manis kita dulu? Belum, kak. Belum sama sekali"

Keduanya terdiam dalam waktu yang cukup lama. Sibuk bergelut dengan pikiran maupun batin mereka masing-masing.

"Kakak rindu kamu"Jaehyuk kembali bersuara.

Perkataan yang lolos dari mulut Jaehyuk membuatnya kembali merasa sakit. Sekuat tenaga ia menahan gejolak air mata yang memberontak ingin keluar.

"Oh ya? "

"Ya. Kakak rindu semua tentang kamu. Tentang kita"

"Aku juga"Ujar Doyoung lirih.

"Apa kita nggak bisa ngulangin semua itu, Doyoung? "

Tangan Doyoung sibuk meremas ujung pakaian yang ia kenakan.

"Kak, jangan gila. Kita udah nggak ada apa-apa. Dari tiga bulan yang lalu, dan sampai kedepannya"

"Iya. Kamu bener. Jadi, kita harus saling bener-bener mengiklaskan? "

"Iya. Harus"suaranya mulai bergetar.

"Doyoung, terimakasih banyak buat semua. Kakak beruntung pernah memiliki kamu walau hanya dalam waktu satu tahun"

"Iya. Aku juga berterimakasih sama kak Jaehyuk buat semuanya. Aku juga beruntung bisa mengenal kak Jaehyuk, walau pada ujungnya perkenalan kita membuahkan rasa sakit dan harus saling melepaskan"

Doyoung menoleh kala merasakan tangannya di genggam. Keduanya kembali bersitatap.

"Doyoung, kakak harap kita bahagia dalam jalan kita masing-masing. Maaf ya, kita nggak bisa bersama sampai akhir, kaya apa yang kita angan-angankan dulu"

Gagal. Pertahanan Doyoung untuk menahan air matanya gagal. Nyatanya buliran bening itu kini sudah mulai berjatuhan.

"That's okay. Mungkin ini memang jalan terbaik buat kita, kak. Semoga bahagia selalu dengan tunangan, yang sebentar lagi menjadi pasangan hidup kakak"

"Makasih. Kakak harap, kamu juga menemukan pengganti terbaiknya"

"Iya. Semoga"

"Doyoung, boleh kakak peluk kamu? "

Tanpa menjawab, Doyoung mendekatkan dirinya pada Jaehyuk. Memeluk seseorang yang pernah ia beri tempat spesial di hati. Seseorang yang selalu ada untuknya. Seseorang yang menurutnya seringkali ia repotkan.

"Terimakasih, sudah pernah menjadi semesta kakak, Doyoung"

Jaehyuk membalas pelukan yang ia inginkan itu. Setidaknya, jika ini yang terakhir, biarkan ia melakukannya.

"Kak"

"Ya? "

"Bulan depan, hari bahagianya kakak, kan? "

Jaehyuk mengangguk ragu.

"Doyoung izin nggak datang, ya? Tapi Doyoung pasti kasih sesuatu buat kakak sama pasangan kakak"

"Kenapa? "

"Aku pamit"

Jaehyuk mengernyit. Ia memutuskan untuk melepas pelukan keduanya.

"Kamu mau kemana? "

"Aku mutusin buat pergi dari kota ini. Maaf, kak. Ini terlalu sakit. Aku mau pergi jauh dari sini, buat nenangin diri aku. Karena kalau aku disini, aku nggak yakin bisa merelakan kakak seutuhnya. Aku izin menghapus semua rasa aku buat kakak, karena emang seharusnya begitu, kan? "

Jaehyuk menatap sendu pada Doyoung. Ia kemudian mengangguk samar. Mengambil napas dalam, sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan.

"Kakak paham. Sekali lagi, maaf dan terimakasih sudah mau singgah di kisah hidup kakak, Doyoung"

Keduanya kembali merengkuh tubuh satu sama lain. Menumpahkan perasaan sesak yang mereka ekspresikan dengan tangisan.

Hari yang mulai malam ini, hembusan angin ini, padatnya suasana kota ini, langit diatas sana hari ini, menjadi saksi dua insan yang dulunya saling mencinta, kini harus saling merelakan.















DoyoungieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang