Entah sudah berapa kali Doyoung menangis hari ini. Yang jelas sepertinya ia enggan untuk menyudahi mengeluarkan air matanya. Dari tadi pagi, bahkan hingga kini saat hari mulai gelap, Doyoung sama sekali tidak keluar dari kamar miliknya.
Tidak akan ada yang menegurnya karena memang ia sedang berada dirumah sendirian.
Balkon sekarang menjadi tempat ternyaman untuknya mengeluarkan tangis. Bahkan ia beberapa kali berteriak sambil memukul-mukul tembok. Karena sekali lagi, ia hanya sendiri dirumah. Kalau saja ada ibu atau ayahnya, mana mungkin ia berani berteriak? Bukannya tidak berani, tapi lebih ke malas untuk di introgasi.
Asik menikmati waktu menangisnya, hingga tak sadar jika ada enam panggilan masuk ke ponselnya. Diraihnya benda pipih yang tadi ia anggurkan itu, lalu melihat siapa yang baru saja menelponnya.
'Haruto. ' Nama itu tercetak jelas dalam riwat panggilan yang tak terjawab. Doyoung lantas mengirimkan pesan pada si pelaku. Bertanya mengapa menelpon dirinya.
Tapi bukan jawaban dari pertanyaannya yang Haruto kirim, melainkan meminta Doyoung untuk membuka pintu rumahnya. Tentu saja Doyoung bingung. Tapi ia tetap menurut.
Bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya. Menyempatkan diri untuk membasuh wajah sebelum membuka pintu rumahnya.
Dan dapat ia lihat tepat di hadapannya, yang berjarak beberapa langkah, motor besar serta si pemilik berada di halaman rumahnya.
Menyadari akan kehadiran Doyoung, si pemilik motor yang mulanya bermain ponsel kini mengangkat pandangnya. Mata keduanya bertubrukan, sebelum si pemilik motor memutuskannya terlebih dahulu.
Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku dan turun dari motor, barulah dibukanya helm fullface yang sejak tadi masih ia kenakan.
Doyoung mengernyit bingung kala mengetahui siapa yang datang. Hingga langkah tamunya mendekat dan kini sudah berada di depan Doyoung, si pemilik rumah tidak mengatakan sepatah katapun.
"Gue nggak disuruh masuk? "
Suara berat yang masuk ke indra pendengarannya sontak membuatnya tersadar lalu mempersilahkannya masuk."Mau minum apa? "Tanya Doyoung setelah tamunya duduk di sofa ruang tamu.
"Nggak usah. "
"Yaudah, gue buatin terserah gue aja. "
"Dibilang nggak usah juga. Udah, lo duduk aja sini. "
Akhirnya Doyoung menurut. Duduk di samping Haruto, tamunya."Lo ada perlu apa? Bokap sama nyokap gue lagi keluar kota. "
Seingatnya Haruto ini memang kerap bertemu dengan kedua orangtuanya. Entah untuk apa. Yang jelas Haruto dekat dengan orangtuanya karena orangtua Haruto adalah teman dekat ayahnya. Tapi meskipun begitu, Doyoung tidak terlalu dekat dengan Haruto."Gue tau. Gue nggak nyari orangtua lo juga. "
"Terus? "
"Gue disuruh jagain lo. "
Mata Doyoung melotot mendengar penuturan Haruto. Tapi berbanding terbalik dengan Haruto yang reaksinya biasa saja.
"Ngapain? Disuruh siapa lo? "
"Bokap lo. Lagian orangtua gue juga udah nyuruh dari tempo hari, waktu mereka tau kalau lo dirumah sendiri. "
"Apaan? Nggak usah nggak usah. Gue bisa jaga diri sendiri. "
Haruto mengangkat bahunya acuh.
"Lo habis nangis? "Lagi dan lagi. Doyoung dibuat bingung dengan Haruto. "Nuduh lo. "
"Nggak nuduh. Kelihatan dari mata lo. Sembab. "
Oh? Doyoung belum melihat cermin dari pagi tadi. Jantungnya kemudian berdegup kencang. Takut-takut kalau wajahnya sekarang kondisinya tidak baik.