Haruto tidak suka Doyoung. Begitupun dengan Doyoung.
Sikap keduanya yang bertolak belakang membuat perbedaan terlihat jelas. Doyoung dengan sifat ramah dan riangnya, dan Haruto dengan sifat dinginnya.Dan sepertinya ini adalah kesialan bagi keduanya? Ya, mereka menganggapnya begitu. Ada tugas kelompok untuk mewawancarai beberapa orang. Dan setiap kelompoknya hanya memiliki dua anggota. Jika saja bukan gurunya yang memilih, Doyoung pastikan bahwa dirinya tidak satu kelompok dengan kulkas itu.
"Udahlah, Doy. Siapa tahu lo bisa deket sama Haruto. Bisa temenan juga, kan? Gwe yakin, nggak seburuk itu"
Doyoung terus menanamkan ucapan itu pada hatinya. Sunoo yang bilang. Ia tidak yakin, tapi, Doyoung akan mencobanya.
Dan semua dimulai sore ini. Dengan Haruto yang mengajaknya untuk bertemu di sebuah cafe.
"Mau berapa orang yang diwawancarai? "
Haruto mengangkat bahu acuh. "Terserah"
"Lima? "
"Satu"
"Nggak bisa, dong! Nanti kalau dikit nilai kita bakal turun! "
"Sogok gurunya"
Doyoung menggeleng. Tidak habis pikir dengan pola pikir orang di depannya. Haruto termasuk jejeran orang penting di sekolah. Selain karena pintar, orangtuanya adalah pendonasi terbesar di sekolah. Jadi mudah saja untuk mengubah sesuatu yang ingin Haruto rubah. Termasuk nilai.
"Jangan-jangan lo suka nyogok guru? "
"Masalah nilai nggak pernah. Gwe pinter"
Doyoung membalasnya dengan anggukan. Cukup canggung berbicara dengan seseorang yang memiliki kepribadian seperti Haruto.
Baru mendapat tiga orang untuk diwawancarai, tiba-tiba hujan deras mengguyur wilayah itu. Membuat keduanya yang sedang berjalan di pinggiran jalan raya meneduh di sebuah halte bus.
Bahkan sampai hampir malam, hujan tidak juga reda. Mau pulang pun, sudah pasti basah kuyup. Haruto membawa kendaraan, tapi itu motor. Dan ia juga tidak mempunyai mantol. Sedangkan Doyoung, tadi saja waktu berangkat untuk menemui Haruto ia memesan taxi. Dan sialnya sekarang hp keduanya kehabisan baterai.
Sedikit demi sedikit, orang-orang yang mulanya ikut berteduh di halte itu memilih untuk menerobos hujan. Karena mungkin hari yang semakin malam.
"To, udah jam tujuh... "Keluh Doyoung.
Haruto menoleh. Mendapati raut wajah Doyoung yang murung.
"Ya gimana? Mau nrobos hujan? "
Doyoung tampak berpikir. "Kalau masuk angin gimana? Tapi kalau nunggu hujan reda, kita nggak tahu kapan redanya"
Haruto menghela napas. Benar juga apa yang dikatakan Doyoung.
"Yaudah. Nunggu agak reda, bentar lagi aja"
"Kalau nggak reda-reda? "
"Trobos"
Doyoung mengangguk.
Keduanya terdiam. Haruto yang melihat jalanan, dan Doyoung yang melamun.Namun, lamunan Doyoung buyar, kala melihat cahaya putih dari langit. Ia merapatkan tubuhnya pada Haruto. Membuat Haruto bingung dengan tindakan tiba-tiba yang Doyoung lakukan.
"Kenapa? "
"Gwe---
Duarrrrr
To, gwe takut! Ayo pulang... "
Haruto tampak terkejut. Mengintip wajah Doyoung yang bersembunyi pada lengannya.
"Lo nangis? "
Tak mendapat balasan. Namun Haruto sudah tahu jawabannya. Merasakan baju yang ia kenakan basah.
Tangan besar itu mengusap surai Doyoung dengan lembut. Sebenarnya Haruto ragu untuk melakukannya. Namun ia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menenangkan orang yang menangis.
Cukup lama Doyoung bersembunyi pada lengan Haruto. Hingga merasa sudah aman, Doyoung melepaskan pelukannya pada lengan pemuda itu.
"Sory"ucap Doyoung lirih.
Haruto mengangguk. Menahan tawa yang ingin meledak. Doyoung jelas bingung melihat wajah Haruto.
"Apa yang lucu? "
"Wajah lo"
Doyoung merengut. Menabok lengan Haruto pelan.
"Doy"
"Hm? "
"Apa pendapat lo tentang gwe selama ini? "
"Lo dingin, kaya kulkas seribu pintu. Lo kelihatan arogant, juga lo nggak pernah mau peduli sama sekitar"
Haruto mengangguk.
"Tapi ternyata nggak seburuk itu. Lo nggak seburuk apa yang gwe lihat. Lo peduli juga, walau wajah lo lempeng. Coba lo senyum, atau ketawa, pasti tambah tuh gantengnya"
"Gwe ganteng? "
Doyoung mengangguk. "Lo nggak tahu? "
"Tahu"
"Kalau gitu, apa pendapat lo tentang gwe selama ini? "
Haruto tampak berpikir. Ia melirik Doyoung yang terlihat menunggu jawaban darinya.
"Nggak tahu"
"Ih! Ayoo, dong.... Kasih reviewnya! "
Haruto tertawa. Sesaat membuat Doyoung terpana. Bahkan sampai tidak berkedip. Jika saja Haruto tidak menjentikkan jarinya di depan wajah manis itu.
"Kenapa? Gwe ganteng ya? "
"Pd lo! "
"Yaudah. Nggak gwe kasih review"
Haruto kembali menatap lurus jalanan di depannya. Bersedekap dada, seolah sok jual mahal."Ah, nggak asik! Cepet dong, Haruto yang cakeppp"
Haruto mulai menoleh. "Oke"
"Dih? Dipuji aja baru mau"
"Diem. Gwe mau review. Pandangan gwe ke lo selama ini tuh, childish, sokap. Sok ramah juga sama orang-orang"
"Jahat banget lo"
Haruto kembali tertawa. "Tapi sama kaya yang lo bilang tadi. Lo juga nggak seburuk itu. Gwe aja yang terlalu cepet nilai lo, padahal nggak tahu sebenernya lo kaya gimana"
"Makannya! Deketan dong, biar lo tahu gwe kaya gimana"
Haruto mengangguk. Merapatkan tubuhnya pada tubuh yang lebih kecil. Merengkuh pinggang ramping itu. Doyoung melotot. Jelas ia kaget dengan apa yang dilakukan Haruto. Ia memukul tangan Haruto. Lagi.
"Lo ngapain?! "
"Katanya disuruh deketan biar gwe tahu lo kaya gimana"
Doyoung membuang muka. Jarak keduanya terlalu dekat. Bahkan ia bisa merasakan deru napas milik Haruto.
"Nggak gitu juga"
"Bercanda. Yaudah, pulang aja yuk? Hujannya tinggal dikit"
Doyoung mengangguk. Berdiri dari duduknya bersamaan dengan Haruto yang masih merengkuh pingganya.
"Lepas heh! "
"Nggak ah. Nanti lo ilang"
"Modus lo"
"Kok tahu? "
"Kampret"
"Lo ngatain gwe sekali lagi nggak gwe kasih tebengan"
"Gwe bisa pesen taxi"
"Hp lo mati"
"Oh, iya. Yaudah, sory. Anterin gwe pulang pokoknya"
"Crewet"