Keesokan paginya, Jévgas mendapatkan kabar bahwa Michella hari ini tak masuk sekolah. Ia yang mendengar kabar tersebut langsung saja pikirannya tertuju pada kejadian kemarin. Pasti gara-gara kemaren, pikir Jévgas.
Selepas pulang sekolah, Jévgas langsung saja menancapkan gas nya menuju rumah Michella. Sebenarnya seharian ini ia hanya duduk diam di Madol seraya mendengarkan celotehan teman-temannya hingga waktu pulang tiba.
Masih dengan menggunakan seragam lengkapnya, Jévgas melakukan motornya di tengah-tengah keramaian kendaraan yang lain.
Tak jarang para pengendara menegurnya di karenakan ia mengendarai motor dengan sangat cepat dan ugal-ugalan.
Namun Jévgas seolah tuli, ia tetap mengendarai motornya tanpa memikirkan pengendara yang lain. Yang terpenting ia sampai di rumah Michella dengan cepat, karena ia benar-benar tak tenang memikirkan kondisi Michella akibat kejadian kemarin.
Tak terasa, Jévgas telah sampai di depan rumah yang bergaya eropa klasik.
Ia segera turun dari motornya dan meminta satpam untuk membukakan gerbang.
Satpam itu beberapa kali melemparkan Jévgas pertanyaan, dan dengan mudah Jévgas menjawabnya.
Barulah setelahnya, gerbang tinggi di hadapannya terbuka. Ia langsung saja di suguhkan dengan halaman rumah tersebut yang luas serta di tanami banyak bunga.
Jévgas menuntun motornya untuk masuk lebih dalam. Motornya sengaja ia tuntun agar tidak menimbulkan suara yang berisik serta mengganggu anggota keluarga Michella.
Standar motornya ia turunkan saat sudah berada tepat di depan pintu utama.
Ia memencet bel yang berada di sana.
Ting nong.
Jantungnya tiba-tiba saja berdegup kencang, tangannya pun menjadi dingin, ia gugup.
Ia sedang memikirkan kemungkinan terburuknya saat ia sampai di rumah ini, mungkin ia akan di usir? di maki-maki? atau di berikan pukulan gratis oleh Daddy Michella.
Pikirannya seketika buyar saat melihat pintu di hadapannya terbuka.
Ceklek.
Ia mengerutkan alisnya bingung saat tak mendapati seseorang yang terlihat pada membukakan pintu barusan.
Lalu ia menunduk merasa ada makhluk lain selain dirinya di sini. Dan benar saja, di hadapannya terdapat anak kecil berkelamin laki-laki yang sedang menatapnya.
"H-hai" sapa Jévgas canggung.
Anak kecil itu langsung mundur selangkah saat melihat siapa tamu yang datang.
"K-kaka, yang m-malem itu kan?" tanyanya gagap, kakinya bahkan gemetar saat mata tajam itu menatapnya.
Jévgas menaikkan alisnya saat merasa anak kecil di hadapannya ketakutan seperti sedang melihat setan.
"Iy--"
"Siapa yang dateng Chio?" tanya orang yang baru saja datang dari belakang tubuh anak di hadapannya dan tanpa sengaja memotong perkataan Jévgas.
Orang itu membelalakkan matanya melihat manusia di hadapannya.
"Chio, masuk" titah orang itu dengan sedikit tekanan.
Anak kecil bernama Chio itu mengangguk, dan segera pergi dari hadapan mereka berdua.
"Ngapain?" tanya sang tuan rumah tanpa basa-basi.
Hati Jévgas seketika tersentil saat melihat cetakan tangan yang berada di leher orang itu. Apakah ia mencekiknya kemarin sangat kencang?.
"Maaf" Jévgas mengatakannya dengan pandangan yang menatap lantai marmer rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JÉVGAS [On Going]
Teen FictionJévian Gasvaro, orang-orang biasa memanggilnya Jévgas. Laki-laki dengan sejuta pesonanya yang mampu memikat hati kaum hawa dalam waktu sekejap. Tapi sayang seribu sayang, di balik wajah tampan nan rupawan nya itu ternyata dia adalah seorang laki-lak...