45

209 58 10
                                    

Clarissa melihat lingkungan kelas yang familiar untuknya.

Dia kemudian memasuki Ruang kelas yang sudah ditetapkan menjadi takdirnya.

Tempat yang membosankan sekaligus tempat yang paling dibenci Clarissa.

Clarissa mengingat kembali pengalaman masa lalu dimana dia sering berpindah-pindah sekolah.

Clarissa ingat dia sama sekali tidak bahagia setiap kali ia berdiri tepat di depan ruangan kelas dan harus terus memperkenalkan dirinya kembali.

Tetapi dia harus melakukannya, walaupun tentu hal ini nantinya hanya akan berakhir dengan Clarissa yang semakin membenci raganya setiap waktu berlalu.

"Hai, teman-teman semua! Saya Clarissa Vianka! Pindahan dari Maghin City. Senang bertemu dengan semuanya!" ucap Clarissa dengan senyum ramahnya yang biasa.

Manik Clarissa menerawang ke segala penjuru kelas. Dia bisa melihat mata-mata anak laki-laki yang terlihat mendambakannya.

Bukan hal aneh.

Clarissa memang sangat cantik.

"Kamu anakku yang paling cantik. Tidak ada lelaki yang akan menolakmu, sayang! Masa depanmu pastilah akan dipenuhi kebahagiaan!" gema sebuah suara di masa lalu yang kembali terdengar di dalam kepala Clarissa.

Clarissa tidak menampiknya. Dia sangat mengetahui nilainya. Dia cantik. Struktur wajahnya yang membuat gadis manapun iri, matanya yang bulat dan cerah, serta rambutnya yang lurus dan lembut, serta kulitnya yang bersih terawat. Berapa kalipun anda melihatnya, anda akan melihat sosok yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga sangat pantas untuk didewikan oleh siapapun.

Bentuk tubuh Clarissa juga sangat ideal.

Tetapi masa depan yang bahagia??

Clarissa rasa hal tersebut adalah masalah lain yang berbeda dengan menjadi cantik.

Cantik tidak selalu membawa anda untuk mencapai kebahagiaan. Bisa jadi, itu adalah dilema atau bahkan sebuah ujian untuk anda jalani di hidup ini. Dan Clarissa merasakannya sendiri. Kutukan kecantikan.

Hal tersebut juga yang membuat Clarissa semakin membenci tatapan anak laki-laki kepadanya.

Dia juga membenci tatapan anak-anak perempuan sekelasnya yang melihatnya dengan mata yang berbinar, seolah mereka baru saja melihat alien yang aneh.

Clarissa tahu mereka semua tertarik pada kecantikannya, ingin berteman dengannya. Tetapi, bukan Clarissa namanya jika tidak mengetahui isi hati terburuk orang-orang. Dia benci menjadi korban dari kebaikan terselubung orang-orang.

Clarissa mendengus kesal di dalam benaknya, namun masih tetap berpura-pura sopan dan kemudian duduk di tempat ditetapkan untuknya.

Clarissa kemudian datang dan menyapa teman sebangku barunya,

"Hai!" gumam Clarissa, yang anehnya tidak ditanggapi oleh anak laki-laki di hadapannya. Di dalam hatinya, Clarissa terkejut. Karena selama ini tidak pernah ada anak laki-laki yang menolaknya.

Clarissa melirik nametag anak laki-laki tersebut.

Adrian Mangkudewa.

Clarissa tidak mengeluh dan memutuskan untuk duduk tenang di tempatnya, sampai ..

"Hai, aku Joseph.. Apa kita bisa berbagi id Hacebook?" gumam anak laki-laki di depannya. Clarissa hanya tersenyum, tetapi kemudian menolak begitu saja.

"Maaf, saya tidak bermain Hacebook," ucap Clarissa bohong.

Dia kemudian melihat bahwa tidak hanya Joseph yang tampak kecewa dengan responnya, tetapi beberapa anak laki-laki lainnya tampak menjatuhkan bahu mereka secara serempak.

"Apa-apaan ... ?" ungkap Clarissa di dalam benaknya. Dia baru saja menjadi target anak laki-laki iseng di kelasnya.

Namun, ketika dia melirik Adrian, remaja laki-laki itu sepertinya sedang terganggu oleh sesuatu. Clarissa ingin memastikan kalau kegugupan yang aneh itu bukan karena dirinya, dan Clarissa mendapati seorang perempuan yang menatap ke arah Adrian dengan aneh.

Sudut mulut Clarissa terangkat dan dia merasa lucu terhadap interaksi keduanya. Tanpa sadar dia terus mencuri-curi pandang untuk terus memperhatikan keduanya dan sebuah pemikiran akhirnya merasuk ke dalam pikiran Clarissa.

Tring ... Tring ...

Bel berbunyi dan Clarissa masih diam di tempatnya. Clarissa melirik Adrian yang masih mengabaikannya dan kemudian berbalik. Beberapa anak yang berpandang mata dengannya tampak mengajaknya untuk makan siang bersama namun Calrissa menolaknya.

"Pandangan mata itu. Saya membencinya," gumam Clarissa kepada temam sekelasnya yang mengajaknya makan, tetapi mereka tentu tidak dapat mendengarnya..

Clarissa kemudian memalingkan wajahnya dan kembali fokus kepada teman di sampingnya yang selalu acuh tak acuh padanya, Adrian.

"Kenapa dia mengabaikan saya? Dia belum juga mengajak saya berkenalan?? Ada apa? Apa saya yang harus mengajaknya berkenalan? Tidak. Tidak pernah seumur hidup-" pikir Clarissa yang terhenti saat melihat gadis yang dia ketahui bernama Alicia (melalui nametagnya) sedang semakin menguatkan wajah memelasnya ke arah teman sebangkunya itu.

Dia kemudian memanggil Adrian secara bisik- bisik ...

"Had-riaaaann .... Aeddd.. ri .. ann... ayooo... tolongg..." bisik Alicia dengan ekspresi sedihnya yang mendapat tertawaan dari teman yang duduk di sebelahnya.

Namun, Alicia sama sekali tidak memperdulikannya dan terus melakukan aksinya untuk menarik simpati Adrian.

Adapun Adrian, ekspresi laki-laki itu tampak sama sekali tidak terganggu dan terus mengabaikan lirihan Alicia yang sudah semakin menjadi-jadi. Gadis teraebut dipastikan akan menghampiri Adrian jika dia terus mengabaikannya seperti ini.

"90. Nilai kecantikan anak itu, 90. Seharusnya tidak sulit untuk membuat anak laki-laki tunduk padanya," lamun Clarissa yang tanpa dia sadari mulai mendapatkan atensi dari Adrian.

Adrian menoleh dan melihat protagonis yang anehnya sedang melirik entah kemana. Sebuah rasa kasihan terbangun di diri Adrian.

"Dia pasti kebingungan karena tidak punya teman," pikir Adrian sambil melihat teman-teman sekelasnya yang tidak satupun menghampiri meja Clarissa.

Adrian sama sekali tidak tahu tahu kalau sejak awal kelas dimulai Clarissa sudah menggelengkan kepalanya untuk menolak semua ajakan yang datang kepadanya dengan senyum yang merekah.

Adrian saat ini justru berpikir mungkin 'itu' karena dirinya. Citranya yang kelam di sekolah dulu. Seorang pembully. Semua siswa selalu berhati-hati ketika ingin berinteraksi dengannya. Bahkan efek itu mungkin saja mengenai teman sebangkunya. Adrian jadi sedikit merasa bersalah kepada Clarissa.

Tidak lama Clarissa tersadar dari lamunanya dan tersenyum ke arah Adrian.

"Hai, aku ... hm.. Vianka, Clarissa Vianka!" ucap Clarissa sambil mengarahkan tangannya kepada Adrian.

"Adrian," jawabnya yang membuat alis Clarissa terangkat.

Dia, Clarissa, bisa melihat ekspresi Alicia yang semakin lemas di ujung sana. Seolah kekecewaannya telah berlipat ganda karena Adrian terus mengacuhkannya dan kini bahkan mengabaikannya dengan tidak melirik ke arahnya sama sekali.

Alicia tidak bisa menerima jika dirinya gagal membujuk Adrian. Alicia takut membayangkan dirinya yang dimusuhi oleh Amber. Sungguh sebuah retorika pertemanan yang absurd.

Sudut senyum sedikit terpantri di wajahnya Clarissa tatkala melihat hal tersebut. Dia tampaknya telah membangun kesalahpahaman dari pemandangan yang tidak sepenuhnya dia mengerti. Tetapi, Clarissa mengerti satu hal.

"Sama seperti saya. Teman satu ini tampaknya juga menjadi bunga yang dikerubungi lebah,"

"Menarik,"

***


Penjahat Yang Membalas DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang