creepy 3.0

brothers; 5 ➖ residents

"Suasananya jadi beda banget ya?" ucap Tae Rae pada Ricky, tetangganya.

Tae Rae sudah lama pergi merantau dari rumahnya untuk berkuliah sambil kerja. Terakhir pulang, sudah hampir dua tahun yang lalu.

"Gara-gara banyak yang tingkat ya?" tebak Ricky.

Berbeda dari dua tahun lalu, banyak dari tetangganya yang merenovasi rumah. Bukan hanya tingkat dua, bahkan sampai tingkat tiga.

"Bukan. Bukan itu."

"Terus?" tanya Ricky bingung.

Berbeda dengan Tae Rae, Ricky tidak merantau. Dia terus berada di rumahnya sampai sekarang. Diterima di kampus yang dekat membuatnya tak harus sampai merantau. Makanya, dia tidak terlalu melihat banyak perbedaan di lingkungan rumahnya.

"Suasananya, Rick. Kayak apa ya, sepi."

"Masa sepi? Banyak anak-anak gini."

Bahkan barusan ada tiga anak yang lari-larian di depan rumah Tae Rae yang kini berada di depan rumah Ricky.

"Eh tapi bisa jadi, sih. Soalnya sekarang banyak rumah kosong, Bang. Gara-gara pada pindah."

"Hah? Siapa aja?"

"Tetangga samping rumahnya Gyuvin," ucap Ricky memberitahu sambil membenarkan posisi tubuhnya yang tadinya menyandar ke pagar, jadi lebih tegak. "Oh, iya, lo tahu, 'kan, Pak RT meninggal 3 bulan lalu?"

Tae Rae mengangguk. Ia sempat diberitahu oleh sang ibu.

"Tahu meninggalnya gimana?"

"Jatoh di kamar mandi." Begitu kata Ibunya juga.

"Bukan cuma jatuh, Bang. Tapi kayaknya sempet pendarahan."

"Hah? Bocor kepalanya?"

"Bukan dari kepala. Tapi dari mulut. Mendiang, 'kan, udah sakit batuk dari lama. Tapi, nggak mau periksa karena takut dapet diagnosa parah. Pas ditemuin tuh kamar mandinya penuh sama genangan darah kentel. Di ruang tengah sampe ke kamar mandi ada jejak darah. Pas mau dibawa ke RS masih ada denyut nadinya, tapi lemah. Kalau aja nggak tinggal sendiri, mungkin masih bisa selamat."

"Lah? Istri sama anak-anaknya?"

"Cerai, Bang. Udah pisah rumah. Baru talak, sih. Resmi secara pengadilan belum. Anak-anaknya ikut istrinya. Makanya mendiang sendirian."

Tae Rae menelan salivanya. Merasa sedikit iba.

"Gue denger pisah gara-gara-"

"Stop, stop, stop. Malah jadi gosispin orang meninggal. Lagian, hubungannya sama suasana jadi sepi apa dah?"

"Ya, biasanya, 'kan, Pak RT suka nongkrong di depan rumahnya, Bang. Terus nyapa semua orang yang lewat."

Betul juga.

"Terus, emang lo nggak diceritain sama ibu lo, Bang?"

"Soal?"

"Mimpi ibu sama adek lo, Bang. Nyokap ngasih tahu ke gua, katanya ibu lo cerita kalau beberapa kali mimpiin rumahnya Pak RT. Gelap, sepi, nyeremin. Terus pintunya kebuka sendiri dan seolah ibu lo kayak disuruh masuk. Eh pas masuk nggak ada apa-apa dan makin gelap. Terus pas nyoba bangun. Nggak bisa. Apa tuh istilahnya.... eng... ketindihan!"

Tae Rae mengerutkan keningnya. Ia baru dengar soal ini. Ibunya tidak pernah menceritakan soal cerita satu itu.

"Terus adek lo juga. Katanya mimpiin hal yang sama. Tapi nggak sampe ketindihan. Cuma mimpi buruk aja," jelas Ricky. "Nah kalau soal Gyuvin, tetangga samping rumahnya, 'kan, udah pindah ya, eh dia denger suara berisik dari itu rumah. Tembok kamar dia sama tembok tetangganya itu samping-sampingan soalnya. Jadi suara kecil aja kedengeran."

"Denger suara berisik gimana?"

"Suara garukin tembok, Bang
Kayak digaruk pake kuku."

"Yakin suara dari rumah sebelah? Kalau dari dalem kamarnya sendiri gimana?"

"Anjing????! Lebih serem..."

Tae Rae tertawa.

"Terus ya, Bang. Bapaknya Yujin cerita kalau dia lihat genderuwo."

"Hah?"

Merasa Deja Vu, Tae Rae jadi teringat pengalaman adik laki-lakinya yang bilang pernah melihat sosok bayangan hitam tinggi di lantai dua rumah di samping rumah Ricky.

"Di mana? Rumah kosong samping rumah Gyuvin?" Tebak Tae Rae, Tae Rae mengira demikian karena mereka tengah membahas soal Gyuvin.

"Bukan."

"Terus?"

Ricky mengarahkan pandangannya ke arah rumah di depannya, rumah Tae Rae. Tepatnya ke arah rumah kosong di samping Tae Rae yang sudah bertahun-tahun kosong dan tak terurus tersebut.

Membuat Tae Rae menoleh ke belakang, mengikuti arah pandangan Ricky.

"Rumah kosong samping rumah lo, Bang."