"Aku tidak mau menikah denganmu hanya karena paksaan orang tuaku!"
"Saya mencintaimu."
"Bohong! Aku bukanlah wanita sempurna yang pantas kau cintai!"
"Saya tidak mencari kesempurnaan, saya tulus ingin menikahi kamu karena saya mencintaimu bukan ka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
**********
Keputusan Sabira untuk meminta berpisah semata untuk kebahagian Shanum, dia juga tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa bersalah karena sikap Shanum sekarang.
Tapi Sabira tidak sadar jika dirinya sudah mulai bisa menerima kehadiran Bilal, dia harus menerima konsekuensi yang sudah dia putuskan.
"Sabira, kita cari solusi lain ya. Tapi tidak dengan perpisahan," bujuk Bilal.
"Iya nak, jangan mengabaikan perasaan Bilal. Apa kamu tidak mencintai suamimu, nak?" tanya umi.
"Umi apaan sih, biarin aja kalo mereka mau pisah! Lagian mereka itu menikah karena terpaksa!" sanggah Shanum.
"Saya menikahi Sabira karena cinta," sahut Bilal.
"Hahaha... cinta kamu bilang? Bagaimana bisa kamu mencintai mbak Sabira sedangkan kalian belum pernah bertemu?" tanya Shanum.
"Kamu salah Shanum, kedatangan saya pada saat pertama kali menginjakkan kaki disini adalah untuk mencari Sabira. Alamat ini saya dapat dari koran yang mengabarkan kesuksesan Sabira dalam menghafal al-qur'an. Dari situ saya tahu bahwa doa saya terkabul dan takdir membawa saya kesini," jelas Bilal.
Memang benar, Sabira sempat masuk kehalaman berita dan kisahnya dimuat dikoran bahkan media sosialnya juga dibanjiri kekaguman.
Singkat cerita Bilal selalu berharap untuk dipertemukan dengan sosok gadis dalam mimpinya itu, dan pada saat dia tahu sosoknya nyata dia bergegas pergi datang ke pondok Al-Qolby untuk mencari tahu. Dan kebetulan Shanum orang pertama yang membawanya menemui abi Jafar, bahkan lewat Shanum Bilal mendapatkan informasi soal Sabira.
Tanpa Shanum sadari, dirinya membukakan jalan untuk Bilal bertemu dengan tulang rusuknya yang ia cari. Bilal juga tidak menyangka ternyata kedua orang tuanya adalah teman lama abi Jafar dan umi Najma, sungguh takdir keberuntungan bagi Bilal orang tuanya memilihkan calon untuknya adalah gadis yang sudah dipilihkan oleh Allah juga.
Perjodohan yang sudah dirancang pun memang untuk Sabira lebih dulu mengingat dia adalah anak pertama, namun Shanum terlalu percaya diri bahwa perjodohan ini untuknya dan Shanum juga terlalu percaya bahwa Bilal akan mencintainya. Tapi kenyataan berbanding terbalik, dirinya bukan pilihan untuk Bilal.
"Bilal, tolong terima keputusanku. Ini demi kebaikan kita semua," pinta Sabira.
"Tidak ada yang akan berpisah!"
Ucapan abi membuat Shanum terkejut, hampir dia mendapatkan apa yang ia inginkan tetapi abi mengacaukan segalanya.
"Shanum akan pergi ke Tarim besok, tidak ada yang bisa mengubah keputusan ini."
Jleb! Keputusan akhir dari drama pagi ini sudah diambil oleh abi, untuk kebaikan Shanum juga Sabira.
"Gak bisa gitu dong abi! Abi udah janji gak akan kirim aku ke Tarim!" bentak Shanum.
"Siapa yang bilang? Kelakuan kamu ini sudah seperti preman, dimana Shanum yang lembut?" tanya abi.
Shanum tersenyum getir. "Shanum itu sudah mati sejak abi menetapkan pernikahan Sabira!"
****
Semenjak kejadian tadi pagi tidak ada yang bersemangat untuk sarapan pagi, bahkan berbicara pun tidak ada yang membuka mulut.
Sabira menyiapkan sarapan untuk Bilal dikamarnya, Bilal sengaja minta sarapan dikamar saja karena tidak ingin ada keributan lagi.
"Habibah," panggil Bilal.
"Kamu belum makan loh, makan dulu ya. Aku suapin," ajak Bilal.
Sabira menggeleng, menolak ajakan Bilal untuk sarapan.
"Ya udah kalo gitu saya juga gak mau sarapan," lirih Bilal.
Bilal mengambil ipad-nya, lalu dia duduk dikursi dekat jendela. Mengecek pekerjaannya yang ada dikota.
Dari ujung kasur Sabira menatap lekat Bilal, dia merasa pagi ini sudah terlalu jahat pada Bilal bahkan dirinya hampir merelakan Bilal demi keegoisannya.
Saat fokus mengecek beberapa laporan pekerjannya, tiba-tiba ada satu potong roti melayang dihadapannya. Bukan melayang ya, lebih tepatnya potongan roti itu memaksa masuk ke dalam mulut Bilal.
Tapi tidak bisa, air mata itu tetap jatuh tepat dipunggung tangan Bilal.
"Aku minta maaf, kamu bukan barang yang bisa aku berikan pada orang lain. Aku jahat," gumam Sabira.
Bilal mengambil roti itu, didudukkannya Sabira dipangkuannya. Karena tidak ada kursi lagi selain kursi yang ia duduki.
"Aku mohon jangan menangis," pinta Bilal.
Tangis Sabira semakin pecah kala Bilal mengusap air matanya, Bilal memeluk Sabira dan Sabira menerima pelukan itu.
Mereka berdua menangis bersama, bayangkan ketika seorang laki-laki menangis karena perempuan itu artinya dia sangat mencintai perempuan itu.
"Aku jahat," racu Sabira.
Bilal melepas pelukan Sabira, dia mengusap air matanya.
"Kamu gak jahat sayang, kamu itu perempuan baik setelah bundaku."
"Apa yang kamu lakukan tadi pagi itu memang salah, aku paham dengan posisi kamu. Kamu hanya ingin adikmu bahagia, tetapi kamu juga harus memikirkan perasanmu sendiri. Dan mulai saat ini tolong jangan minta aku pergi darimu, karena aku gak akan sanggup hidup tanpa kamu."
****
"Aku janji, aku akan mempertahankan rumah tangga kita. Meski badai sekalipun yang menerjang, hanya maut yang bisa memisahkan kita. Aku akan selalu berusaha menjadi istri yang baik," tutur Sabira.
Bilal mencium punggung tangan Sabira, istrinya kembali seutuhnya dalam dekapannya bahkan lebih manis dari versi sebelumnya.
"Aku hanya mencintai dan menyayangi istriku Sabira Habibah Qolby," ucap Bilal.
"Cuma aku?" tanya Sabira.
Bilal mengangguk. "Hanya kamu," balasnya.
Senyum manis itu kembali menghiasi wajah mungil Sabira, rasanya versi Sabira saat ini lebih disukai oleh Bilal.
"Aku boleh gak tiduran disini," tunjuk Sabira pada dada bidang Bilal.
"Boleh sayang," balas Bilal melebarkan kedua tangannya agar Sabira masuk ke dalam pelukannya.
Sabira meletakkan kepalanya pada dada bidang Bilal, dia mulai memejamkan matanya ketika Bilal melantunkan solawat nabi yang begitu indah.
Tak lupa Sabira melingkarkan tangannya dileher Bilal, begitu penampakan yang indah untuk para kaum jomblo... hahahaa...
Layaknya seorang suami menjaga istrinya tertidur, Bilal begitu mengamati pahatan sempurna wajah Sabira degan hidung mancung, pipi sedikit cabi kemerahan, bibir mungil berwarna merah muda, alis tebal hampir menyatu.
Begitulah pemandangan Bilal setiap harinya, memandangi istrinya yang tidak pernah membosankan dimatanya.
"Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu menjadi rumah terakhirmu sayang. Aku tidak akan pernah menghakimi mu seperti dunia, karena kamu adalah kehidupanku saat ini. Kamu rumahku, tujuan hidupku, kamu nyawaku. Maka hiduplah lebih lama, agar aku juga bisa hidup lebih lama denganmu selalu denganmu."