AQQ 45

324 11 4
                                    

Jangan lupaa🌟🌟🌟🌟

Happy reading....

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

********


Saat ini Sabira, Bilal dan Shanum berada di warung soto yang menurut Bilal itu adalah warung yang sering dikunjungi Azan ketika sedang di Yogya. Fyp, Sabira berasal dari Blitar pedalaman dan Bilal dari Madiun sedangkan Reno dari Jakarta. Mereka semua merantau ke Yogya, begitu gaes.

Kembali pada ketiga tokoh lagi, mereka semua memesan menu yang sama. Awalnya Shanum menolak, tetapi setelah dibilang Sabira tidak akan masak sesampainya di rumah nanti mau tak mau dia ikut makan dari pada dia kelaparan.

 Awalnya Shanum menolak, tetapi setelah dibilang Sabira tidak akan masak sesampainya di rumah nanti mau tak mau dia ikut makan dari pada dia kelaparan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Penampakan sotonya enak sekali 😋)

"Gimana? Enak gak?" tanya Bilal.

"Biasa aja," jawab Shanum cepat.

Baru saja Sabira hendak menjawab malah keduluan Shanum, padahal sotonya terasa enak tapi  Shanum mengatakan 'biasa saja' padahal biasanya selera Sabira dan Shanum tidak jauh berbeda.

"Kalo menurut kamu gimana?" tanya Bilal pada Sabira.

Sabira mengangguk dan memberikan senyuman agar Bilal tidak kecewa karena jawaban Shanum.

"Enak kok, rasanya pas dilidah aku. Nanti kita bungkus ya buat sarapan besok," balas Sabira.

"Beneran mau bungkus?" tanya Bilal memastikan.

"Beneran lah, jadikan besok pagi gak repot masak lagi. Tinggal hangatkan aja," jawab Sabira.

"Mbak jadi istri itu jangan pemalas, masa sarapan buat suami aja dihangatkan. Kan gak enak mbak," celetuk Shanum.

"Gak papa kok, mau makanan dihangatkan mau tidak saya pasti makan. Karena itu bagian dari usaha seorang istri juga," sahut Bilal.

Tidak ada lagi jawaban dari Shanum, dia memilih diam dari pada berdebat dengan pasangan aneh menurutnya.

"Mas, minta dibungkus 3 porsi ya. Mienya dipisah," pinta Bilal pada mas penjual.

Setelah mendapatkan pesanan mereka langsung bergegas pulang karena malam sudah semakin larut, sesampainya di rumah yang mereka tuju, Sabira dikejutkan dengan rumah berukuran sedang nuansa sejuk sekelas perkotaan sangat jarang.

"Mbak, aku tinggal disini cuma sementara aja ya. Setelah aku diterima dikampus aku mau mau kost aja," ucap Shanum.

"Mbak gak setuju, kamu disini aja sama mbak sama Bilal. Dengan begitu mbak bisa awasi kamu," balas Sabira.

"Aku gak mau dicap sebagai sodara penganggu rumah tangga kakakku sendiri, setidaknya orang pasti akan berpikiran buruk soal aku. Jadi udahlah mbak gak usah kaya abi dan umi, aku udah dewasa. Aku mau mandiri," tutur Shanum.

"Tapi..."

"Udah gak papa kalo itu maunya Shanum, kamu kan masih bisa ke kostnya Shanum untuk cek keadaannya dia. Dan dikampus juga masih bisa ketemu kan," potong Bilal.

"Ayo masuk, terus istirahat."

****

Dikala Bilal sudah tertidur pulas, Sabira keluar dari kamarnya untuk mencek Shanum dikamarnya. Terdengar suara tawa Shanum seperti sedang bicara dengan seseorang, suara dari sebrang pun terdengar yang ternyata itu adalah Reno.

Rasanya ingin Sabira memberikan perlajaran pada Reno untuk menjauhi Shanum, tapi entah kenapa tawa Shanum membuat Sabira merasa jahat jika harus memisahkan Reno sari Shanum.

Situasi ini membuat siapapun akan merasa bingung memilih untuk membiarkan luka itu tertanam, atau harus membuang luka itu saat ini juga. Semakin dibiarkan maka bibit luka dalam diri Shanum suatu hari akan terbuka, Reno tetaplah Reno yang bajingan yang hanya bisa menyakiti dan mempermainan perasaan perempuan.

Sabira akan berusaha meyakinkan dirinya jika Shanum akan baik-baik saja selama Reno baik juga, dia akan memikirkan kedepannya nanti saja. Dia mengambil air minum ke dapur, tak lama Shanum juga keluar kamar untuk mengambil minum juga.

"Kok belum tidur, dek?" tanya Sabira.

Shanum menoleh. "Mbak juga ngapain belum tidur?" tanya balik Shanum.

"Mbak gak bisa tidur," jawab Sabira.

"Oiya, mbak tadi denger kamu ketawa-ketawa. Lagi telponan sama siapa? Udah kabarin abi dan umi juga?" tanya Sabira.

Tidak ingin membuat keributan dimalam hari, Shanum memilih mengambil segelas air putih lalu masuk lagi ke dalam kamarnya. Sabira hanya bisa mengelus dada, kesabaran ekstra memang dibutuhkannya selalu dalam menghadapi Shanum.

Sabira merebahkan kepalanya ditas meja makan dengan penopang tangannya sebagai bantal, kepalanya terasa pening jika terus memikirkan permasalahan antara dirinya dan Shanum yang tak kunjung membaik.

Terasa ada yang mengelus kepalanya, namun rasanya sulit untuk membuka mata bahkan melihatnya saja terasa berat.

"Hei, kok tidur disini?" tanyanya lembut.

"Pindah ke kamar yuk," ajaknya.

"Sayang, kamu kenapa? Kamu sakit ya? Kira kerumah sakit ya?" tanyanya mulai berbondong.

Sabira masih dalam posisinya, tidak ada pergerakan yang berarti membuat Bilal merasa khawatir.

"Habibah, kamu denger saya kan?" tanya Bilal.

"Sabira, tolong jawab saya! Sabira!"

****

Sabira merasa kepalanya semakin terasa berat, dia berusaha membuka matanya lalu dia mengedarkan pandangannya yang terlihat hanya cahaya lampu dilangit-langit ruangan berwarna putih.

Aroma khas yang tidak ia suka tercium sangat menyengat, semakin matanya terbuka dia sadar bahwa itu bukan kamar dirumah umi maupun dirumahnya dengan Bilal.

"Dimana aku?" tanyanya.

Tangannya terasa kaku, saat dia mengangkat tangannya sudah terpasang selang impusan ditangan kanannya.

"Kenapa aku di rumah sakit?" tanyanya lagi.

Saat hendak menegakkan duduknya, Bilal datang dengan membawa selebar kertas ditangannya.

"Mau kemana sayang? Jangan banyak gerak dulu," tanya Bilal.

"Kenapa aku dirumah sakit?" tanya Sabira.

"Shanum mana?" tanyanya lagi.

Bilal membantu Sabira duduk dengan tumpukan bantal dipunggungnya, ternyata sudah jam sepuluh siang Sabira baru siuman.

"Kamu tadi malam tidur, jadi aku bawa kesini. Shanum tadi jam delapan pulang terus dia mau ke kampus untuk daftar kuliah," jawab Bilal.

"Aku mau pulang, aku gak betah disini. Aku mau dirumah aja," rengek Sabira.

Bilal memberikan selebaran kertas itu pada Sabira dengan wajah cemas, detak jantung Sabira seketika berdagup kencang kala menerima surat itu.

"Aku sakit apa? Aku mau mati ya?" tanya Sabira.

Tidak ada jawaban lain selain wajah tertunduknya Bilal, selama ini Sabira tidak merasa atau memiliki riwayat sakit apapun selain asam lambung.

"Kamu kok diem aja, ini surat pernyataan aku mau mati, iya?"

*****

SEKIAN DULU...

PENASARAN GAK SURATNYA ISI APA?

ARWA'UL QULUB QOLBUK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang