Jangan lupaa 🌟🌟🌟
Happy reading....
***********
Masih terngiang dalam ingatan Sabira ketika dia bertanya mengenai kartu ATM yang diberikan Bilal, sampai di Mini Market dia terus tersenyum membuat umi merasa bingung lalu menghentikan langkah mereka sebelum ada yang menelpon ambulan rumah sakit jiwa."Kamu kenapa sih mbak? Umi jd takut, dari tadi senyum-senyum sendiri!" tanya umi.
Sabira mengambil sesuatu dalam tasnya, dia memperlihatkan kartu ATM yang diberikan suaminya untuk pertama kalinya..
"Umi belanja pake ini aja ya," ucap Sabira.
"Gak ah, itu kan kartu kredit. Riba, umi pake cash aja!" tolak umi.
Ingatnya kembali pada beberapa menit yang lalu saat kartu ATM itu masih pada pemiliknya.
"Ini untuk apa?" tanya Sabira.
"Ini nafkah pertama untuk kamu, Habibah."
"Kenapa harus pake kartu kredit? Kan bisa cash," tanya Sabira lagi.
"Ini bukan kartu kredit, ini ATM untuk kamu."
(Anggap kaya gini lah yaa bentuknya)
Sabira masih termenung memperhatikan kartu atm itu, bukan karena tidak bisa memakainya. Tetapi kartu ATM tersebut bukan kartu biasa melainkan black card yang limited edition atau yang biasa dipakai orang khayaaaaaaa.
"Kamu tenang saja, kartu ini memang limited tetapi limitnya sudah saya sesuaikan untuk kebutuhan kita dalam satu bulan dan tidak ada riba seperti kartu Kredit."
Kembali pada umi yang menolak kartu ATM Bilal.
"Ini bukan kartu kredit umi, ini ATM. Gak ada ribanya, cuma bentuknya aja yang mirip kartu kredit."
"Nak, kartu ini hakmu. Bukan hak umi, jadi biarkan umi belanja dengan uang yang diberikan abi ya, kartu itu kamu yang pakai untuk kebutuhan kalian setelah kalian pindah rumah."
"Tapi kan sekarang Bira sama Bilal masih dirumah umi, jadi kita berhak belanjain umi. Anggaplah kita numpang," jelas Sabira.
"Gak ada istilah numpang! Kamu dan Bilal kan sekarang anak umi, ya wajar dong orang tua belanja untuk anak-anaknya."
"Tapi umi-"
"Udah ah ayo nanti kemalaman," ajak umi berlalu begitu saja.
"Umi Bira belum selesai bicara!"
"Gak ada lagi yang dibicarain, buruan bantuin umi bawa trolinya ya mbak!"
****
Pov Ulwa
Suasana pondok pesantren Al-Qolby masih sangat terasa sepi, mungkin karena masih dalam suasana lebaran jadi seluruh santri masih berlibur dirumahnya masing-masing.
Niat hati hendak mengajak Sabira jalan-jalan disekitar pondok, namun Ulwa tak menemukan keberadaan Sabira dirumahnya.
"Nasib-nasib, punya sahabat wes duwe bojo. Yo ngene dadine, kemana-mana masih sendiri."
"Duhh gusti kapan paringi kulo jodoh seng gemati ngunu loh!"
"Sek-sek, kui Shanum toh?"
"Iyo toh readers? Lah koplak malah nanya sama readers ki piye jan!"
Ulwa beberapa kali mengucek matanya memastikan penglihatannya itu tidak salah, Shanum berjalan seperti maling mindik-mindik. Ditangan kanannya dia membawa tas berukuran besar, tak lama ada sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang pondok pesantren.
Karena penasaran, Ulwa lebih mendekat ke arah gerbang namun masih dalam keadaan diam-diam takut mengagetkan Shanum. Saat mengintai tiba-tiba ada ulat bulu lewat dihadapannya, dengan gemetar Ulwa berusaha tenang meski dia sangat takut terhadap ulat.
Mobil yang berhenti tadi masih dalam diam, Shanum pun hanya diam dipinggir mobil itu menunggu sang pemilik mobil turun. Terdengar suara pintu mobil terbuka, terlihat langkah kaki yang tidak asing bagi Ulwa. Sedikit lagi orang itu terlihat, namun na'as ulat bulu itu malah jatuh tepat dikaki Ulwa.
"Aaaaaaaaa ulat!!!!!"
Teriakan Ulwa terdengar oleh Shanum dan pemilik mobil, Ulwa yang masih terlihat loncat-loncat menginjak si ulat tidak fokus lagi dengan intaiannya.
"Dasar ulat sialan, gak tau diri! Gak tau apa aku lagi ngintai....."
Tak ada lagi Shanum dan mobil didepan gerbang, padahal hanya beberapa detik saja mereka sudah menghilang dari pandangan Ulwa. Sepertinya Shanum melihat Ulwa jadi mereka buru-buru pergi, sebelum ketahuan.
"Sa-Shanum!" teriak Ulwa.
"Lohh kok cuepet men toh melakune! Mau kemana ya Shanum, kok koyo wong minggat toh?"
Ulwa masih tak mengerti dengan apa yang dilakukan Shanum, dia hanya bisa menggaruk tengkuknya karena kebingungan.
"Apa aku telpon Sabira aja ya? Siapa tau mereka mau bawa abi kontrol, makana Shanum bawa tas besar. Iya kali ya?"
Dia merogoh ponsel disaku roknya, dia mulai mencari kontak Sabira. Saat hendak menekan tombol panggilan, dia melihat sosok abi dan juga Bilal baru keluar dari masjid.
"Loh, kui abi! Terus Shanum mau kemana dong?"
"Abiiiiiiiiiiii!"
****
"Abi baik-baik aja?" tanya Ulwa.
Abi dan Bilal saling melirik secara bergantian saat mendengar pertanyaan dari Ulwa, bagaimana bisa Ulwa bertanya ketika dia saja melihat abi sudah tidak memakai kursi rodanya.
"Alhamdulillah, abi baik-baik saja. Kamu lihatkan abi sudah tidak pakai kursi roda," jawab abi mantap.
Ulwa kembali menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Shanumnya ada abi?" tanya Ulwa.
"Ada," jawab abi singkat."Terus yang tadi keluar bawa tas besar siapa?" tanya Ulwa padanya namun terdengar oleh abi dan Bilal.
"Shanum bawa tas besar?" tanya Bilal.
Ulwa menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dia meratapi kebodohannya malah bicara dihadapan abi secara terang-terangan.
"Maksud kamu apa, Ulwa? Shanum tadi ada dikamarnya, dia sedang mengaji," ujar abi.
"I-ini abi, Bilal. Saya gak sengaja liat Shanum keluar dari rumah bawa tas gede. Terus gak lama mobil datang, saya gak tau Shanum ikut dimobil itu apa nggak soalnya waktu saya ngintip ada ulat bulu jatoh dikaki saya. Jadi saya gak liat kejadian setelah itu," jelas Ulwa.
Abi masih tak percaya dengan ucapan Shanum, dia jelas melihat dan mendengar Shanum sedang mengaji dikamarnya.
"Bilal ayo kita pulang, kita cek apakah yang dikatakan Ulwa benar atau tidak."
"Ulwa ikut abi."
*****
SEKIAN TERIMAKAACIIIIHHHH..
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWA'UL QULUB QOLBUK (SELESAI)
Romance"Aku tidak mau menikah denganmu hanya karena paksaan orang tuaku!" "Saya mencintaimu." "Bohong! Aku bukanlah wanita sempurna yang pantas kau cintai!" "Saya tidak mencari kesempurnaan, saya tulus ingin menikahi kamu karena saya mencintaimu bukan ka...