"Aku tidak mau menikah denganmu hanya karena paksaan orang tuaku!"
"Saya mencintaimu."
"Bohong! Aku bukanlah wanita sempurna yang pantas kau cintai!"
"Saya tidak mencari kesempurnaan, saya tulus ingin menikahi kamu karena saya mencintaimu bukan ka...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
************
Keram diperut Sabira kali ini terasa menyakitkan, tidak berangsur membaik malah semakin membuatnya kesakitan.
"Aaaaaa! Sakit," teriak Sabira saat hendak dibawa ke ruang IDG.
"Sabar ya, sayang. Kamu yang kuat," pinta Bilal.
"Tolong yang lain tunggu disini," ucap suster.
Pintu ruang IGD tertutup saat Sabira dibawa masuk ke dalam, hati suami mana yang tak risau melihat kondisi istrinya kesakitan. Penyesalan tentu saja menghantuinya, seharusnya dia membawa Sabira cek kandungan kemarin tapi karena Keylin dia terpaksa mengancel jadwal cek kandungan Sabira.
Dia tidak akan memaafkan dirinya jika sampai terjadi sesuatu pada janin dan juga istrinya, apa lagi semenjak kehadiran Keylin membuat kacau semuanya.
Sudahh 15 menit berlalu sejak Sabira masuk ke dalam ruangan itu, sejak saat itu juga Bilal mondar mandir seperti setrikaan tiada hentinya dengan tangan terus berzikir meminta keselamatan untuk keduanya.
"Nak, yakin jika Allah akan menolong mereka. Mereka pasti kuat," ucap umi.
"Bilal gak bisa maafin diri ini, umi. Jika sampai terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan," balas Bilal.
"Hussst! Kamu ini ya, harusnya kamu doakan yang baik untuk anak dan istri kamu yang sedang berjuang di dalam!" bentak bunda.
"Bund, sabar. Ini rumah sakit," cegah ayah.
"Anak kamu tu mulutnya gak bisa dijaga!" adu bunda.
Bilal menyenderkan kepalanya ditembok bernuansa putih rumah sakit.
Bugh!
Dia meninju tembok tak bersalah itu, rasanya ingin dia menerobos masuk ke dalam dan memeluk istrinyaa sekarang.
"Bilal, jangan begitu, nak. Jangan lukai tanganmu," cegah umi yang melihat Bilal hendak meninju tembok lagi.
Ceklek...
Dokter keluar dengan wajah masam, seluruh keluarga langsung berdiri dari tempat duduknya dengan membawa pertanyaan masing-masing.
"Istri dan anak saya gak kenapa-kenapa kan dokter?"
"Gimana puti saya dok?"
"Anak saya gimana dok?"
"Menantu kami baik-baik saja kan?"
"Cucu kami juga sehat kan?"
"Kakak dan keponakan saya baik-baik saja kan dokter?"
Dokter itu mengambil napas lalu membuangnya kasar, sebelum dia memberitahukan kondisi Sabira serta janinnya.
"Pasien harus segera melakukan kuret."
Tes. Bulir bening itu jatuh tanpa izin, tembok pertahanan Bilal runtuh kertika dokter mengatakan 'kuret' yang artinya....
****
Kini Bilal berada di ruangan dokter untuk menandatangani surat persetujuan tindakan kuret yang akan dilakukan pada Sabira, dengan tangan gemetar Bilal menandatangani surat tersebut.
"Sebelumnya apa pasien sering mengalami keram?" tanya dokter tiba-tiba.
Bilal memberikan anggukan sebagai jawaban.
"Berapa kali dalam satu hari?" tanya dokter lagi.
"Hampir setiap malam, dokter. Bahkan Sabira jarang tidur, tapi ketika saya mengajaknya ke rumah sakit. Dia gak pernah mau," jawab Bilal.
"Seharusnya, bapak bisa bawa istri bapak lebih cepat. Agar kita bisa mencari solusinya, karena sudah dibiarkan terlalu lama. Resikonya bapak harus kehilangan anak," ucap dokter.
"Maaf, dok. Saya memang salah, saya tidak bisa menjaga anak dan istri saya."
Dokter tersebut terdiam, jarinya mengetuk-ngetuk meja kerjanya.. Diatas meja tertera nama dokter Olivia, dokter kandungan yang menangani Sabira sejak dinyatakan positif hamil.
"Setelah ini, ibu Sabira akan kesulitan untuk bisa hamil lagi. Karena rahimnya bermasalah, janin yang ada didalam kandungannya sekarang pun harus kita keluarkan karena salah satu masalahnya ini, pak. Janinnya tidak berkembang dengan baik," jelas dokter Olivia.
"Tapi tidak ada yang mustahil didunia ini jika Allah berkehendak, bapak dan ibu bisa ikhtiar melalui bayi tabung. Karena secara alami akan sulit, pak."
"Kalau begitu, saya permisi ke ruang oprasi dulu."
Dokter Olivia meninggalkan Bilal dengan rasa penyesalannya, dia tidak memikirkan tentang Sabira sulit hamil tapi dia memikirkan perasaan orang tua serta mertuanya yang sudah sangat berharap cucu mereka lahir tapi nyatanya mereka harus kehilangan diusia kehamilan Sabira yang masih dini.
Dengan langkah gamang Bilal memberanikan diri menemui keluarganya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya gagal menjadi ayah serta suami yang baik untuk anak serta istrinya.
Bilal menangkupkan kedua tangannya didepan keluarganya..
"Maaf...." lirihnya pilu.
"Aku gagal menjadi anak dan menantu yang baik untuk kalian semua, aku gagal menjaga permata serta mentari kalian."
"Aku minta maaf...."
****
Nasi sudah menjadi bubur, kejadian yang diamali cukup dijadikan pembelajaran meski sulit menerima setidaknya ikhlas jauh lebih baik.
Mentari pagi menyilaukan pandangan Sabira yang baru saja siuman, beberapa kali dia mengerjitkan matanya karena terhalang selang oksigen.
Dilihatnya suaminya yang tengah tertidur lelap disebalah ranjangnya, tak ingin membangunkannya dia hanya memperhatikan garis wajah yang terlihat lelah itu.
Terlihat gerakan terasa dari Bilal, dia membuka matanya dan melihat senyum indah yang dia rindukan semalam.
"Hai, sayang. Kamu sudah bangun?" sapa Bilal.
Sabira mengangguk sebagai jawaban.
"Ada yang sakit?" tanya Bilal.
Sabira menggeleng sebagai jawaban, lalu dia menunjuk selang oksigen yang terpasang agar dilepaskan.
"Sabar ya, sayang. Habis ini pasti kamu pulang," titah Bilal.
Sabira meminta Bilal mendekat pada dirinya, Bilal menurus saja duduk diranjang Sabira. Tak lama Sabira memeluk Bilal dengan posisi masih berbaring dan Bilal terduduk.
"Anak kita mana, mas?" tanyanya.
"Dia pasti mirip kamu, iya kan?"
"Kapan aku bisa nemuin dia? Aku kangen sama dia mas."