AQQ 13

335 13 36
                                    

"Takdir memang selalu membuat kejutan, dan takdir akan selalu seperti itu.


Lagi males ngomong banyakk, langsung happy reading aja ya kesayangan achik smuaa..

*******

Perjalanan yang cukup berkesan kali ini bagi Ulwa dan Sabira, akhirnya mereka menginjakkan kaki kembali ditanah kelahirannya.

"Mbak Sabira," panggil Shanum berlari meghambur memeluk sang kakak yang sudah lama tidak ia jumpai.

"Umi, mbak Sabira sudah pulang!" teriak Shanum dari luar rumah.

Shanum juga tidak lupa memberikan ucapan selamat datang pada Ulwa, tak ingin waktunya terbuang lama setelah umi Najma datang Ulwa langsung pamit menuju rumahnya.

"Masyaallah anak-anakku, apa kabar kalian nak?" tanya umi Najma memeluk Sabira dan Ulwa bergantian.

"Alhamdulillah seperti yang umi lihat, kita berdua baik-baik saja. kita sangat rindu tempat ini umi," balas Sabira.

"Karena Ulwa sudah bertemu dengan umi, Ulwa izin undur diri. Keluarga di rumah pasti sudah menunggu," pamitnya.

"Salam untuk keluargamu ya," titah umi Najma.

Ulwa memberikan anggukan. "Siap umi, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," seru ketiganya.

Umi Najma kembali memeluk putrinya yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, Shanum juga ikut memeluk Sabira. Namun Sabira merasa ada yang kurang dari penyambutannya, tidak ada sosok yang dia rindukan selain umi dan adiknya.

"Dimana abi?" tanya Sabira sedikit mendongakkan wajahnya yang masih dalam pelukan umi dan Shanum.

Perlahan umi dan Shanum melepas pelukan mereka, wajah yang semula bahagaia atas kedatangan Sabira kini berubah menjadi raut wajah cemas.

"Umi, dek. Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian diam? Dimana Abi?" tanya Sabira hati-hati.

Tak ingin Sabira merasa cemas juga, umi mengalihkan topik dengan meminta Sabira membawa barangnya ke kamar.

"Shanum, kamu bantu mbak mu membawa barang-barangnya ya. Umi mau siapkan makanan untuk berbuka," titah umi Najma.

"Geh umi, ayo mbak kita ke kamar. Mbak pasti capek," ajak Shanum.

Sabira mengikuti Shanum, tetapi masih ada yang mengganjal dalam hatinya.

"Dek, mbak mau ke toilet dulu ya. Kamu taruh saja barang-barang mbak di depan kamar, nanti biar mbak yang membawa masuk."

"Geh mbak, sekalian saja nanti Anum bantu bereskan ya. Mbak pergi saja ke toilet, masih ingatkan tempatnya dimana?" goda Shanum.

Sabira tersenyum. "Masih, ya sudah mbak tinggal."

Tanpa menunggu jawaban Shanum lagi, ia bergegas pergi ke toilet yang letaknya di sebalah dapur.

****

Sabira mendengar jelas tangisan umi Najma dari dapur, ia mendekati uminya lalu uminya dengan cepat menyeka air matanya dan tersenyum getir pada putrinya itu.

Tapi umi Najma bukanlah pembohong ulung yang dapat menyembunyikan kesedihannya dari Sabira, ia ingin cerita tapi lidahnya terasa kelu jika dihadapkan dengan Sabira.

"Umi, Sabira berhak tau bukan? Apa yang sebenarnya sedang umi sembunyikan dari Bira?" tanya Sabira.

Hiks! Bukannya menjawab, isak tangis umi semakin mengeras tanpa sadar umi sudah menutup isak tangisnya dengan tangannya. Ia tak ingin selain Sabira ada yang mendengarnya, Sabira tidak tega rasanya melihat uminya itu menangis.

Sabira memeluk uminya, dia juga berkali-kali menyeka air mata uminya dengan hijabnya.

"Maaf... maaf, maafkan umi nak. Umi tidak berdaya," lirih umi Najma memegang tangan Sabira.

Sabira menautkan alisnya tak mengerti, Sabira takut terjadi sesuatu pada keluarganya selama ia tinggal merantau. Apa lagi usia kedua orang tuanya tak lagi muda, sekuat mungkin Sabira menahan rasa penasarannya sampai umi bercerita.

"A-abi, a-abimu..." ucap umi Najma terbata dan menggantung.

"Abi kenapa? Abi sedang mengajar? Iya umi?" tanya Sabira dengan jantung berdegup kencang.

Umi Najma menggeleng, air matanya kembali mengalir deras.

"Abimu, dia sakir keras."

Deg! Jangan ditanya bagaimana perasaan Sabira saat ini, rasanya jantungnya berhenti berdetak, pandangannya memburam karena sunami akan menerjang pelupuk indahnya.

"Ada penyumbatan di jantung abi, nak. Abimu tidak mau menjalani pengobatan seperti yang disarankan dokter, umi bingung harus membujuknya dengan cara apa lagi."

"Kapan mi?" tanya Sabira.

"Sudah sejak enam bulan yang lalu," jawab umi Najma.

"Kenapa umi gak kasih tau aku sejak awal? Kenapa umi sembunyikan ini dari Bira?"

Ide gila ini berasal dari abinya sendiri, setiap mereka menghubungi Sabira. Umi selalu ingin memberitahukan keaadan suaminya itu, tetapi suaminya memintanya menyembunyikan dari Sabira alasannya tentu demi kebaikan Sabira itu sendiri.

"Maafkan umi, nak. Umi tidak bermaksud menyembunyikan ini dari kamu, umi memang salah tapi umi tidak mungkin melawan abimu."

Sabira menggenggam erat tangan uminya. "Kita hadapi sama-sama ya, mi. Aku akan coba bicara sama abi, aku akan buat abi mau menuruti kata dokter."

****

Setelah selesai solat terawih di masjid, Sabira menemui abinya yang terbaring di kamarnya. Kedatangan Sabira tentu sangat dinanti abinya, dan ia dapat merasakan kehadiran Sabira.

"Assalamu'alaikum, abi."

Sabira mendekati abinya yang hendak bangun, Sabira membantu menyusunkan bantal untuknya agar lehernya tidak terasa kaku.

"Wa'alaikumsalam putriku, bagaimana kuliahmu nak?" tanya abi.

Pertanyaan itu yang selalu abinya tanyakan, bukan soal diri Sabira tetapi kuliahnya yang menjadi pertanyaan utama.

"Lancar abi, gimana kondisi abi?" tanya Sabira balik.

Abinya menegakkan tubuhnya seolah tidak terjadi apapun padanya, padahal kenyataannya Sabira sudah tau. Dia hanya ingin abinya mengatakan langsung, tapi tidak mungkin abinya mau mengatakan soal penyakitnya itu.

"Abi kenapa gak mau berobat sih? Abi mau lihat aku sedih? Atau abi mau lihat umi menangis setiap mengingat abi?" tanya Sabira berbondong tanpa basa-basi.

"Siapa bilang abi sakit? Abi sehat kok, abi hanya butuh istirahat."

"Bohong! Abi itu sakit, tolong nurut sama aku kali ini. Jangan buat aku takut kehilangan abi!" omel Sabira.

Abinya mengelus tangan mungil putrinya, dia berusaha meyakinkan sama seperti kepada umi dan Shanum.

"Abi baik-baik saja, nak. Abi tidak percaya pada dokter, kamu tahu itu kan? Yang abi inginkan saat ini, melihat kedua putri abi selalu rukun. Umur memang tidak ada yang tahu, mau berobat atau tidak suatu saat malaikat maut pasti akan menjemput abi."

Bulir bening itu berhasil lolos dari tembok pertahanan Sabira.

"Sabira cuma gak mau ngeliat abi sakit, Sabira mau abi kaya dulu."

*****

KEPANJANGAN GAK SIHH TIAP BAB NYA?

ARWA'UL QULUB QOLBUK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang