AQQ 50

304 15 1
                                    

Jangan lupaaa 🌟🌟🌟🌟

Happy reading...

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*********


Rintihan dan tangisan begitu menggema disepanjang jalan hingga rumah sakit, begitu pilu rasanya melihat darah mengalir dikaki Sabira.

Hampir setengah jam doker menangani Sabira didalam ruang IGD belum juga kunjung memunculkan batang hidungnya.

Secara bergantian Ulwa dan Shanum menghubungi Bilal, belum ada respon dari Bilal. Ponsel Sabira tidak menyala makanya mereka menghubungi dengan ponsel mereka masing-masing.

"Terus hubungi Bilal, Shanum. Dia berhak tau kondisi Sabira," titah Ulwa.

"Mbak, ini semua gara-gara aku. Aku yang udah buat mbak Sabira masuk rumah sakit, aku membahayakan nyawa keponakanku mbak!"

Ulwa memeluk Shanum, dia memberikan kekuatan agar Shanum bisa lebih tenang.

"Ini bukan sepenuhnya salah kamu, ini salahnya Reno. Dia yang udah buat Sabira begini, kita doakan saja. Semoga Sabira dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja," ucap Ulwa.

Shanum melepas pelukan Ulwa. "Kalo mas Bilal marah sama aku gimana mbak? Aku takut," ucap Shanum.

"Kita jelaskan duduk permasalahannya nanti sama Bilal, dia pasti mengerti. Sekarang kita coba lagi hubungi Bilal ya," ujar Ulwa.

Kembali menghubungi Bilal lagi dan lagi, tidak akan menyerah hanya satu atau dua kali. Dan keberuntungan berada pada Ulwa, panggilannya berdering dan mendapatkan penerimaan dari Bilal.

"Permisi mbak, keluarga pasien atas nama Sabira dimana ya?" tanya suster.

"Kerumah sakit Gendis sekarang!"

Tut...tut...

Ulwa langsung menutup panggilannya setelah suster keluar untuk menanyakan keluarga Sabira, tentu saja dia akan menjadi keluarganya saat ini sementara sampai Bilal datang.

"Kita keluarganya mbak, ada apa ya mbak? Gimana kondisi Sabira? Bayinya baik-baik saja kan?" tanya Ulwa berbondong.

"Kakak saya baik-baik aja kan sus?"

****

Setelah menemui dokter, Ulwa dan Shanum kembali ke ruang IGD. Sabira belum mendapatkan kamar hingga Bilal datang karena pihak rumah sakit ingin suaminya yang mengurus pemindahannya keruang rawat inap.

Dengan napas terengah akhirnya Bilal sampai di depan ruang IGD, Shanum dan Ulwa langsung beranjak dari duduknya ketika melihat Bilal berdiri dihadapan mereka.

"Dimana Sabira?"

"Dia baik-baik saja kan?"

"Anak kami bagaimana?"

"Mereka baik-baik saja kan?"

Begitu banyak pertanyaan mengenai Sabira dan bayi didalam kandungannya, Bilal tidak perduli dengan pertanyaan yang lainnya. Yang ingin ia tahu saat ini, kedua permatanya dalam keadaan baik-baik saja.

"Sabira di dalam, baru aja dokter ngasih obat penenang."

Shanum bergerak mendekati Bilal, disatukannya kedua tangannya dihadapan Bilal. Air matanya sudah mengalir deras, penyesalan begitu dalam dalam dirinya.

"Maaf.... maaf..." lirihnya.

"Karena keegoisanku, aku hampir saja membahayakan nyawa kakak dan juga keponakanku. Aku minta maaf," lanjutnya.

Bilal menurunkan tangan Shanum. "Jangan menyesali segala sesuatu yang sudah terjadi, yang terpenting saat ini kamu sudah menyadari letak kesalahanmu. Dan jangan lagi kamu ulangi itu," tutur Bilal.

"Aku janji, aku gak akan lagi bertemu dengan Reno. Dan aku akan fokus pendidikanku disini," ucap Shanum.

"Alhamdulillah," ucap syukur Bilal.

Ulwa merasa senang dengan kejadian ini, Shanum yang dulu kembali dalam dekapan mereka. Sabira juga pasti akan meresa bahagia dengan kembalinya Shanum, mereka akan menghabiskan banyak waktu bersama seperti dulu.

"Saya masuk ke dalam dulu ya, tadi saya sudah selesaikan administrasi di depan. Sebentar lagi pasti Sabira masuk ke ruang rawat," jelas Bilal.

"Kalo gitu kita pamit pulang aja ya, kamu gak papa kan disini? Besok pagi kita datang lagi," pamit Ulwa.

"Iya gak papa, biar saya jaga Sabira malam ini. Kalian pulang saja dan temani Shanum dirumah saja ya, Ulwa."

****

Sabira sudah dipindahkan keruang rawat saat ini, Bilal sudah menemui dokter untuk memastikan lagi kondisinya.

Ternyata benturan pada perut Sabira tidak terlalu kencang, sehingga hanya menimbulkan kontraksi dini saja. Sehingga janin didalamnya masih dalam keadaan baik, hanya perlu hati-hati.

Jika hal ini terulang lagi maka dokter dapat memastikan janin dalam kandungan Sabira akan berakhir tidak baik, tapi karen syok Sabira tidak sadarkan diri hingga saat ini.

Bilal tidak hentinya menggenggam tangan bahkan sesekali mencium punggung tangan Sabira, rasanya dunia seperti hendak hancur ketika mendengar kabar tidak baik dari istrinya itu.

Sepanjang jalan Bilal hanya meminta dan memohon untuk dipertemukan dengan Sabira, dia hanya ingin selalu bersama dengan Sabira bagaimanapun kondisinya.

Dan Allah mengabulkan doanya, meski Sabira belum sadar tapi dia lega sudah ada disampingnya sampai Sabira membuka matanya.

"Habibah, kesayanganku. Maaf ya, aku belum bisa menjagamu sepenuhnya. Seharusnya aku ada disaat kamu kesakitan, bangun sayang."

"Aku rindu senyuman kamu, omelan kamu, majanya kamu."

"Aku rindu semuanya, kalo kamu bangun nanti kita jalan-jalan ya."

Malam sudah semakin larut, namun padangannya enggan lepas dari bidadarinya itu. Lebih baik dia mengambil wudhu lalu salat tahajud dan dilanjutkan mengaji, dengan begitu matanya pasti tidak akan mengantuk.

Terdengar lantunan ayat suci al-qur'an ketika suster masuk untuk mengecek cairan inpusan milik Sabira, suster itu begitu terkesima mendengar suara Bilal hingga tidak terasa meneteskan air matanya.

Bilal yang sadar langsung menghentikan mengajinya sejenak.

"Sodakallah huladzim...."

"Suster kenapa?" tanya Bilal.

Suster itu tersadar langsung menghapus air matanya.

"Saya terharu dengernya mas, coba suami saya kaya gitu juga. Nungguin istrinya sambil ngaji, suami saya malah main game. Beruntung sekali sih istrinya dapetin mas," tutur Suster.

Bilal tertawa kecil. "Saya yang beruntung sus, mendapatkan istri seperti perempuan dihadapan suster sekarang. Selain cantik paras dia juga cantik hatinya, makanya dia bisa menerima saya."

*****

SEKIAN DULU YAAAAA. BYEE

ARWA'UL QULUB QOLBUK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang