AQQ 59

283 9 2
                                    

Jangan lupaaa 🌟🌟🌟🌟🌟

Happy Reading ......

Happy Reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*********

Tidak perduli dengan teriakan Shanum, bahkan mengabaikan air mata umi serta kekhawatiran abi. Sabira melajukan mobilnya dengan rasa cemas melanda sekujur tubuhnya, padahal dirinya belum mahir mengendarai mobil.

Angin malam dia terjang jalanan yang terlihat sepi, tujuannya tidak lain adalah menuju rumahnya. Karena dia ingin memastikan Bilal dalam keadaan baik, tangannya terasa gemetar memegang setir mobil...

Ponselnya terus berdering, Shanum nama sang pemanggil. Dia tidak menghiraukan panggilan, dalam pikirannya hanya ingin cepat bertemu dengan Bilal.

"Mbak angkat dong," ucap Shanum berkali-kali menghubungi Sabira.

"Shanum, coba telpon lagi nak. Umi cemas," pinta umi.

"Sabira belum biasa bawa mobil, kita susul dia bagaimana?" tanya abi.

"Jangan dulu, bi. Kita tunggu kabar mbak aja ya," tahan Shanum.
Sabira menerima panggilan Shanum.

"Mbak, tolong berhenti. Jangan buat kita cemas," ucap Shanum.

"Gak bisa, dek. Mas Bilal dalam keadaan bahaya, dia dihajar sama Reno!"

"Kalo itu masalahnya kenapa mbak gak ngomong, kan bisa dianter sama abi. Sekarang mbak berhentiin mobilnya ya," tutur Shanum.

"Gak bisa dek!"

"Bisa mbak, mbak kepinggirin mobilnya. Terus sharelock posisi mbak," ucap Shanum.

"Mbak harus ketemu mas Bilal, dek. Mas Bilal butuh mbak sekarang!"

Umi mengambil ponsel Shanum, dia mendekatkan ponsel itu padanya dan suaminya agar dapat mendengarkan bersama.

"Nak, ini abi. Tolong hentikan mobilnya ya, biar abi antar kesana. Jangan sendirian," bujuk abi.

"Aku udah dijalan abi, kalian jangan khawatir. Aku bisa kok," ucap Sabira.

"Nak, umi cemas. Jangan gini sayang, tolong berhenti. Umi jemput kamu ya nak," ucap umi menangis.

Tiba-tiba terdengar nada cemas Sabira menginjak rem mobil.

"Nak, ada apa?" tanya abi.

"Sabira, ada apa nak?"

"Mbak, kok diem? Ada ap?"

"Remnya!"

"Aaaaaaaaaaaaaa!"

Brukkkk!

"Sabira!"

****

Tinut...tinut...

Sirine ambulance memenuhi pendengaran Sabira, hanya sedikit cahaya yang dapat ia tangkap sebelum akhirnyaa dia memejamkan matanya.

"Segera bawa pasien ke ruang icu, dan kabari keluarganya segera."

"Baik, dok."

"Dimana istri saya?" tanya Bilal.

"Pasien sedang ditangani doker, silahkan bapak urus administrasinya dulu."

Setengah jam setelah kejadian kecelakaan yang menimpa Sabira, Bilal mendapatkan kabar tersebut. Dengan cepat dia melakjukan mobilnya, hingga sampai di rumah sakit tempat Sabira dibawa.

Setelah menyelsaikan urusan administrasi, Bilal langsung menunggu kabar Sabira di depan ruang ICU. Sudah limas belas menit berlalu, namun belum ada juga tanda-tanda dokter maupun suster keluar dari sana.

"Sabira, tolong bertahan. Aku belum menjelaskan segalanya, tolong beri aku kesempatan sayang."

Ceklek....

Kenop pintu ruang ICU terbuka, seorang perawat datang menghampiri Bilal dengan wajah cemasnya.

"Permisi, pak. Apakah dengan keluarga nyonya Sabira?" tanyanya memastikan.

"Iya benar, saya suaminya. Ada apa ya? Istri saya baik-baik saja kan?" tanya balik Bilal.

"Pasien kehabisan darah, dan membutuhkan donor darah O resus negatif. Sedangkan stok darah yang dibutuhkan pasien di rumah sakit ini sedang kosong," ucap perawat.

"Tolong segera hubungi keluarga pasien, pak. Karena pasien dalam keadaan kristis," lanjutnya.

"Baik, sus. Saya akan segera hubungi keluarganya," sahut Bilal.

Setelah mendengar ucapan Bilal, perawat itu kembali masuk ke dalam ruang ICU. Sementara Bilal segera menghubungi keluarga Sabira, untuk memastikan mereka sampai dengan cepat.

"Suster!"

"Tolong bawakan alat pacu jantung sekarang juga!"

Teriakan dokter yang menangani Sabira membuat Bilal terpelonjat, baru saja dia menekan tombol panggilan pada Shanum malah mendengar teriakan mengkhawatirkan.

Tanpa dia sadari, panggilan itu telah terhubung. Sehingga Shanum mendengar teriakan dokter dari balik telpon sana.

****

Shanum menerima panggilan dari Bilal, posisi Shanum dan orang tuanya berada dalam perjalanan setelah mendapatkan kabar dari Bilal bahwa Sabira mengalami kecelakaan dijalan tol saat hendak menuju rumahnya.

Sepanjang jalan hanya doa dan harapan yang selalu mereka panjatnya, untuk keselamatan Sabira yang sedang berjuang keluar dari mautnya. Kecemasan mereka bertambah ketika dari balik telpon sana terdengar teriakan dokter.

"Suster!"

"Tolong cepat bawakan alat pacu jantung sekarang juga ke ruang ICU!"

"Alat pacu jantung? Untuk apa nak? Sabira gak papa kan?" tanya umi.

Panggilan itu sengaja Shanum kencangkan suaranya, agar abi dan umi bisa mendengar kabar dari Bilal. Nyatanya malah membuat keduanya semakin cemas, Shanum segera menutup panggilan itu dan berusaha menenangkan abi serta umi.

"Abi, umi. Kita berdoa untuk keselamatan mbak aja ya, jangan mencemaskan hal yang belum terjadi. Mbak butuh doa dari kita sekarang," ucap Shanum.

"Tapi alat pacu jantung tadi, untuk apa?" tanya umi yang sudah menangis.

"Mungkin untuk pasien lain, kan di ruang ICU bukan cuma mbak Sabira. Kita berdoa aja ya umi," titah Shanum.

Shanum berusaha tegar saat ini, meski rasanya ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Tapi dia tidak bisa memperlihatkan kesedihannya di depan abi dan umi, mereka pasti akan semakin sedih.

Pelukan membuat umi tenang, setidaknya untuk sesaat. Semoga doa mereka dapat mengantarkan Sabira dari jurang maut, tak ada harapan lain saat ini selain kesembuhan Sabira kesayangan mereka.

Drrrrrttttt.... Ponsel Shanum berdering, 'Bilalnya Sabira' tertera dilayarnya. Dengan cepat dia menekan panggilannya tapi tidak ia keraskan suaranya.

"Sabira sudah......"

*****

MAKIN SERUU GAK NIHH??

ARWA'UL QULUB QOLBUK (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang