BAB SATU

20K 1.1K 50
                                    

“Lo harus tahu kesulitan apa yang sudah gue lewati untuk bisa sampai di tempat ini, jadi tolong jangan menanyakan apa pun sebelum memberi gue makan.”

Satu-satunya waktu yang bisa Vale gunakan untuk menghindari pengawasan Paspampres adalah apel pagi. Nathan—Paspampres yang ditugaskan khusus untuk mengawalnya—sudah mewanti-wanti agar Vale tidak sering kabur karena nasibnya ditentukan oleh keamanan gadis itu. Oleh karenanya, demi keberlangsungan hidup Nathan Vale berjanji untuk tidak pernah kabur terlalu jauh dan terlalu lama, serta memastikan untuk kembali ke istana dengan selamat.

“Anak presiden tapi minta makan ke rakyat jelata,” Kale mencebik seraya meletakkan sepiring nasi pecel. “Lagian lo hari ini bukannya bakal bertemu calon suami?”

“Biarkan gue makan dulu, tolong?”

Kalingga Darma adalah teman kuliah Vale. Pemuda itu berasal dari keluarga biasa-biasa, tapi dia tidak pernah melihat Vale sebagai sesuatu yang istimewa—baginya, selain fakta bahwa gadis itu putri seorang presiden, tidak ada yang membuatnya melihat Vale lebih dari seorang gadis rebel yang terkekang ambisi orang tua. Ya meski agak repot karena keberadaan Vale sering mengait atensi karena dia selalu diikuti Paspampres ke mana-mana.

Untungnya setelah negosiasi alot dengan sang ayah, Vale diijinkan untuk keluar hanya ditemani oleh Nathan. Itu pun tidak mengubah tabiat Vale untuk menempatkan pengawalnya yang malang itu dalam posisi sulit ketika dia ingin pergi tanpa dikawal. Lagipula, bukannya dia benar-benar penting bagi keberlangsungan hidup negara, kan? Bagi Vale, penjagaan seperti ini justru agak berlebihan.

“Minum,” ucap Kale dengan mengangsurkan gelas berisi air hangat ke depan Vale. Gadis itu menatap skeptis, hendak protes sebelum si pemuda lebih dulu menambahkan. “Terakhir kali gue kasih lo air es, besoknya lo radang tenggorokan.”

“Ya tapi harus banget air hangat? Air biasa saja cukup, Kal?”

Kale menggeleng. “Lo selalu membuat masalah karena menyepelekan banyak hal, Val. I'm telling you for your own good, you're the president's daughter of this country.”

Mendengar itu Vale mencebik masam, dia lantas mengambil air hangat yang diberikan Kale dan meneguknya susah payah. “You don't have to remind me everytime, it's not like I choose to be born as the president's daughter.”

Selalu begini.

Kale sama sekali tidak menyalahkan Vale. Dia tahu benar Vale gadis yang baik, dia tidak pernah menggunakan kekuasaan ayahnya untuk kepentingan pribadi—Vale tidak akan mengulang matkul Hukum Perdagangan Internasional kalau dia menggunakan kuasa ayahnya. Hanya saja, dia tetap anak presiden. Jika sesuatu yang buruk terjadi, Kale ada di posisi yang sulit untuk membela diri.

"Jadi, apa rencana lo hari ini?” tanyanya pada Vale. Dia mengambil alih piring bekas makan gadis itu, meletakkannya di atas tempat cuci piring. “Lo nggak mungkin menempatkan Nathan pada posisi sulit hanya untuk makan sebungkus nasi pecel di rumah gue.”

Vale tampak ragu untuk menjawab. Dia beranjak untuk mengambil alih piring bekas makannya yang hendak dicuci oleh Kale, kemudian dengan bahu terangkat tak acuh dia menjawab sekenanya. “I don't know, mungkin gue memang cuma ingin numpang makan.”

“Lo nggak terdengar cuma sekadar ingin numpang makan.”

“...”

“...”

Embusan napas dari gadis berambut ikal itu akhirnya terdengar kasar. Piring yang barusan ia cuci menimbulkan bunyi denting ketika bersentuhan dengan piring lain. Vale membalik badan, wajahnya tampak sulit.

“Gue nggak ingin menikah,” lirih Vale. “Setidaknya gue nggak ingin menikah di usia sekarang, apalagi ketika bapak gue masih menjabat.”

Kale tidak tahu harus menjawab apa.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang