BAB ENAM PULUH ENAM

6.7K 793 74
                                    

“Saya merupakan kurator senior sekaligus mantan manager pemasaran dari Galeri Seni Heavenly yang terlibat dalam proses kurasi lukisan Haveen Cato Kedua hingga Keenam. Sebelumnya, saya akan menjelaskan bagaimana proses pelelangan Haveen Cato Ketujuh dan metode yang selama ini kami gunakan.” Rengganis memberikan kesaksian sesuai dengan arahan Rindang. Melalui proyektor, sebuah skema tengah ditampilkan. “Haveen Cato merupakan pelukis misterius yang dikenal karena aliran lukisannya yang semi realis dan keunikan metode presentasi yang menjadi identitas dan bagian dari nilai karyanya.”

“Galeri kami dipercaya sebagai mitra eksklusif Haveen Cato hingga dua tahun lalu sebelum Haveen Cato menghilang. Berbeda dengan proses kurasi dan lelang lukisan pada umumnya, Haveen Cato memiliki metode tersendiri di mana karya yang dia buat hanya ditunjukkan dalam bentuk naskah cerita dan karya lukis tersebut akan dipresentasikan setelah proses lelang dengan penampilan di depan publik sesuai dengan ciri khas beliau. Heavenly memiliki tim khusus untuk Haveen Cato yang dipimpin oleh saya serta Pak Syailendra Prawira.”

Rindang agak terkejut ketika nama itu disebut, dalam naskah yang dia buat nama Syailendra telah mereka hapus atas permintaan langsung Direktur Utama Heavenly Art Galery—Madea Suri. 

“Saudara saksi bisa menjelaskan lebih jelas bagaimana tim tersebut bekerja?” tanya Hakim Ketua. Rengganis mengangguk.

“Tim tersebut beranggotakan saya, Pak Syailendra, Pak Dewani Sigit, serta Pak Mahesa Birawa. Saya bertugas untuk memastikan kelancaran proses kurasi hingga lelang, Pak Syailendra adalah penghubung antara  kami dengan Haveen Cato, Pak Sigit bertugas sebagai dealer untuk calon pembeli, sementara Pak Mahesa memastikan keaslian karya sebelum pertunjukan dilakukan.”

Dari bangku pengunjung sidang, orang-orang membeku pada fakta baru yang disebutkan Rengganis. Kanaya yang duduk di barisan Hastama meneguk ludah susah payah, Rengganis benar-benar menjadi kuda Troya yang tak pernah Heavenly sangka.

Penjelasan Rengganis kemudian menyambungkan beberapa rumor yang selama ini beredar. Tentang menghilangnya Haveen Cato sejak 2 tahun lalu setelah lukisan ibu-anak yang menjadi hari terakhir dia mendengar tentang Haveen Cato sebelum dia akhirnya mundur dari posisinya untuk fokus mengajar di Sartika Art School. Kanaya tahu sebagian informasi itu hanya fabrikasi dengan memanfaatkan celah yang Syailendra ciptakan, tapi mendengar pria itu mengatakannya langsung tetap saja membuat Kanaya sadar betapa berbahaya Rengganis jika dia di pihak lawan. Ucapan pria itu terdengar amat meyakinkan, emosinya dan seluruh data yang dia tunjukkan demi menjahit kebohongan menjadi kebenaran adalah bakat yang begitu alami.

Saya akan melindungi nama Haveen Cato, agar gerakan ini bisa terus hidup.” Suara Rengganis di hari terakhir Kanaya berada di Yogja sebelum kembali ke Jakarta untuk spionase pembuktian Hastama terngiang di kepalanya. Kanaya menggenggam erat tangannya terutama saat menyadari rahang Rindang yang mengeras.

Ketika pada akhirnya tiba giliran penasihat hukum untuk bertanya, Rindang langsung menyalak tajam kendati dengan suara yang ramah.

“Sesuai dengan pengalaman saudara saksi sebagai kurator, apa Anda pernah melihat lukisan ketujuh?”

“Ya saya pernah melihatnya.”

“Apa yang Anda pikirkan setelah melihatnya?”

Unbelievable,” tutur Rengganis. “Setelah dua tahun menghilang tanpa ada pergerakan apa pun, saya hampir tidak percaya ketika Pak Syailendra berkata bahwa Haveen Cato telah melukis lagi. Namun ketika wujud asli lukisan itu muncul, saya benar-benar terkejut.”

“Baik, sebagai kepala tim dan kurator yang pernah memeriksa lukisan kedua hingga keenam, apakah Anda menemukan kejanggalan di lukisan ketujuh?”

Mata Rindang tak ubahnya pedang yang menghunus tajam, tapi Rengganis telah siap berkorban nyawa ketika dia akhirnya mengangguk hingga menimbulkan riuh dari pengunjung di ruang sidang yang membuat hakim harus mengangkat suara agar semua orang kembali tenang. Kanaya melirik tim hukum Hastama yang tampak menahan murka, beberapa yang berada di kursi pengunjung sibuk berbagi catatan termasuk pada Kanaya yang pura-pura ikut terkejut.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang