BAB DUA BELAS

7.8K 881 26
                                    

Istana Negara, Jakarta.

Kirab budaya arak-arakan pengantin memasuki kompleks Istana Negara. Sorak-sorai masyarakat yang hadir berpadu meriah dengan tarian yang mengikuti irama musik.

Napas Vale mulai berat, bibirnya terkulum ke dalam dan dahinya mengucurkan keringat. Riasan yang dibuat dengan menonjolkan fitur wajah Vale yang tegas dan sorot mata tajam tetap tidak bisa menyelamatkan wajahnya dari menjadi pucat. Jemima meraih tangan Vale dengan tetap menatap keluar jendela kereta untuk menebar senyum.

“Sebentar lagi akan sampai,” ucapnya kepada Vale.

Tapi, Jemima justru membuat Vale semakin tegang.

Dia tidak tahu di mana Kale dan Kanaya (lebih tepatnya tidak bisa mencari tahu juga). Tapi jika mengingat rencana mereka tempo hari, saat ini keduanya tengah mengejar Haveen Cato—di mana pun pelukis misterius berada.

“Itu ulah Tadjanendra!”

Vale masih mengingat seringai lebar Kale ketika berhasil menemukan pelaku di balik hilangnya Langit Terbakar. Metode yang dilakukan Kale cukup sederhana; dia melakukan pemeriksaan latar belakang tim layanan pengiriman khusus yang dia curigai—yang mana ternyata data pekerja mereka dipalsukan—dengan melakukan pencocokan foto dengan data dari situs pemerintah yang bocor di deep web, Kale berhasil mendapatkan identitas asli orang-orang itu. Saat sudah mendapatkannya, Kale mencari kesamaan latar belakang pendidikan hingga keluarga, dan menemukan bahwa mereka sama-sama penerima beasiswa dari perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan senjata.

Tadjanendra Group.

Sudah menjadi rahasia umum jika mereka memiliki agensi detektif swasta yang sudah turun-temurun menjadi langganan masyarakat kelas atas. Pekerjaan yang mereka lakukan cukup sederhana, memberikan apa yang diinginkan klien; mengumpulkan informasi atau melakukan pengendalian konflik.

Hanya Tuhan yang tahu bagaimana Kale bisa menghadapi orang-orang gila itu, terutama ketika taruhan gagalnya rencana ini adalah hidup mereka.

“Dari gerak-gerik dia di sosial media, Haveen sepertinya akan menantang istana,” suara Kale kembali terngiang di kepala gadis yang kini menggigit bibir dengan mata memejam. “I mean, that's the consequences when you're in law with Sastranegara.”

Dan ketika suara terakhir Kale berhenti terputar di kepala, riuh yang sebelumnya bersorak untuk memberikan selamat berubah menjadi kegaduhan.

Kirab budaya berhenti, kuda-kuda memekik karena kekang mereka ditarik tiba-tiba, dan Jemima yang menggenggam tangan Vale tak sadar mengeratkannya hingga kuku jari sang istri memutih.

Saat sadar, Jemima buru-buru melepas genggamannya dan memeriksa Vale. Tapi alih-alih kesakitan, dia justru menemukan Vale membeku dengan raut wajah ganjil. Tatapannya lurus, dan kilatan di matanya menghunus setajam pedang.

Mereka berhasil.

Dalam per sekian detik setelah kebekuan itu Vale akhirnya menoleh, menatap Jemima yang berusaha menggali informasi dari wajahnya dan mengulas seringai tipis. “Kita sudah sampai, ya?”

Tidak diragukan lagi itu adalah ulah Haveen Cato.

Tepat sebelum rombongan kirab memasuki istana, ribuan lembar uang berbagai pecahan berterbangan dari atas helicopter bersama dengan kelopak bunga yang sontak membuat ribuan masyarakat yang menonton berebut untuk mengambilnya. Sebuah karpet merah terhampar seolah menyambut kedatangan rombongan—menjadi benang merah yang menghubungkan dunia luar dengan istana. Dan puncak pertunjukan itu terjadi ketika orang-orang yang berebut uang berhasil menjebol barikade pengawalan.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang