BAB EMPAT PULUH ENAM

5.6K 637 61
                                    

“Coba lo cek kalender, apa benar hari ini bukan tanggalnya kiamat?”

Vale berkata frustrasi setelah Madea pergi dari villanya untuk menjemput sang ibu. Kanaya menatap prihatin sambil membalurkan mintak kayu putih di tengkuk dan kening Vale.

Kale yang duduk di seberang tampak sibuk mengetik, dia cuma menggeser air lemon kemasan setelah membuka tutupnya, memudahkan Vale untuk minum. Lantas kembali sibuk dengan data yang dia kumpulkan.

Dengan mata masih tertuju pada laptop, Kale bertanya. “Apa lo masih mual? Nggak mau ke dokter aja?”

“Gue stres aja kayaknya,” elak Vale sambil menggeleng kecil. “Apalagi pas tahu Madea sama ibu mertua gue kompak datang ke Jogja buat jemput gue pulang. Si brengsek itu nggak bisa banget biarin gue hidup tenang.”

Untungnya Vale masih bisa mengomel sehingga Kanaya tidak lagi merasa terlalu khawatir.

“Tapi lo pucat banget sih jujur,” ujar Kanaya sambil menengadahkan kepala melihat lampu gantung di langit-langit. “Menurut gue lo harusnya nurut untuk ikut pulang dan istirahat. Lo aja dari Labuan Bajo langsung ke sini buat nyiapin gugatan dan bahan laporan ke kepolisian, gimana nggak tepar?”

Vale mendesah kasar. Dia menenggak minuman lemon itu dalam tegukan besar, kemudian berkata. “I want to finish it as soon as possible, sebelum kalian terpaksa membawa gue ke rumah sakit jiwa karena hilang akal.”

Perempuan itu kemudian turut menatap langit-langit. Wajahnya yang pucat tertimpa cahaya keemasan. “Nyari duit susah banget ya ternyata?” ujar Vale—seorang putri Presiden Republik Indonesia yang sedang menjabat, yang juga tengah mengenakan pakaian santai bermerk Loro Piana. Kanaya dan Kale kompak mendelik penuh penghakiman.

“Kalau tahu demi peternakan sapi dan uang yang nggak seberapa itu gue harus gila duluan, mending dari awal gue lanjut jual informasi ekslusif istana aja. More profitable, less headache—a little bit risky but that's okay.

So sad,” ujar Kale dengan wajah datar. “Anyway, seperti yang sudah gue kirim ke grup, Armani benar-benar meninggal. Awalnya gue kesusahan meminta informasi itu karena dari pihak dinas terkesan enggan memberitahu. But thanks to Serayu, she's the MVP for today's adventure.”

Kanaya melirik kehadiran Serayu yang sempat menoleh saat namanya disebut. Perempuan itu tengah menyiapkan bagasi untuk kepulangan Vale ke Jakarta.

“Untuk hasil interviewnya gue kirim lewat email jadi bisa diperiksa di perjalanan kalau nggak mual,” ujar Kanaya.

Kale mengambil jeda untuk meneguk es kopi nya, kemudian menambahkan. “Urusan di sini akan gue tangani sama Kanaya, lo urus persiapan pameran dan gugatan bareng Damian. Dia bilang sudah ada di bandara sekarang dan akan mengajukan gugatan ke pengadilan besok pagi. Dan, oh—gue baru inget,” Kale tampak mengerutkan kening. “Gue ambil gambar lukisan Lilly dan kirim ke kurator yang sempat periksa Haveen Cato Ketujuh juga, sekilas memang ada kemiripan dari gurat kuasnya tapi buat lengkapnya dia bakal kasih analisis paling lambat besok. Terus soal Rengganis, dia kan berniat ngajak gue ke studionya tapi tiba-tiba dibatalkan. Apa lo tahu sesuatu soal itu?”

Dengan menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya, Vale menjawab tak acuh. “Uhm,” gumamnya lirih. “He must be contemplating. Worry not, soon or later he will get in contact with you.”

And how is that?” tanya Kale curiga. Dia benar-benar tidak menyukai situasi ketika Vale mulai bertingkah seperti itu, karena artinya sesuatu pasti terjadi.

Dan benar saja. Karena Vale akhirnya menandaskan dengan berkata. “I told him what we found out, and ask him to be on our side, or else he will be crushed.”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang