BAB EMPAT PULUH EMPAT

6.3K 728 143
                                    

Jemima terlihat seperti habis disambar petir.

Sejak menerima telepon Budiman, dia tak memindahkan tatapannya dari layar laptop dengan kening berkerut. Sesekali pria itu menghela napas, di earphone yang tak hentinya berbunyi, Jemima terus menyahuti ucapan seseorang dari balik sana.

"Benar-benar sudah dipastikan?" tanyanya dengan nada serius. "Oke, malam ini saya akan kembali ke Jakarta jadi besok agendakan rapat khusus untuk membahas hasil temuan itu. Pastikan informasi ini tidak bocor ke media, bisa?"

Vale bukannya peduli juga dengan apa yang suaminya tengah bicarakan selain jika itu menyangkut uangnya, namun raut wajah Jemima yang mengeras dan di saat yang sama menunjukkan raut gelisah itu membuatnya tidak bisa berhenti bertanya-tanya.

Masalah apa yang mungkin terjadi hingga membuat pria yang selalu berhasil berlagak sebagai penguasa dunia itu terlihat resah?

Meski begitu, Vale pada akhirnya memilih untuk membuka notifikasi pesan di grup jual beli musang. Di sana Kale membagikan sebuah link video conference. Dengan sigap Vale meraih earphone dan membuka laptop, tak lama kemudian wajah kedua temannya muncul di layar.

"Mulai dari gue, ya?" Kale membuka suara. "Gue sempat bertemu Rengganis saat membahas Liliana Shahbaz dengan Wikana, dan kebetulan anak perempuan itu ternyata keponakannya sehingga kami banyak berbincang soal bakat Lilly. Gue berusaha untuk menggali informasi dengan menanyakan inspirasi bakat melukis Lilly dan bagaimana darah seniman lahir di keluarga mereka. Dari situ, awalnya Rengganis terlihat enggan menjawab terutama ketika gue menyinggung soal Armani, meski begitu gue berhasil mendapatkan sedikit petunjuk."

Kale menjeda setelah berbicara cukup panjang, dia melihat ke samping dan mengambil sesuatu lantas melanjutkan. "Rengganis mengkonfirmasi secara nggak langsung kalau Armani memang sudah meninggal saat gue menyinggung soal keinginan gue untuk mengajak Armani bekerja sama dengan Galeri Sastranegara. Dia bilang, tawaran itu seharusnya diberikan dua tahun lalu. Tapi sebelum gue mendapatkan kesempatan bertanya lebih lanjut, dia lebih dulu beralih untuk membahas siswanya yang lain."

Vale menyimpan informasi itu dalam kepalanya untuk selanjutnya melahirkan tanya yang lain. "Jadi, Armani benar-benar meninggal dua tahun lalu tapi Rengganis nggak mau ngasih tahu secara jelas. Alih-alih mengatakan bahwa Armani sudah meninggal, dia justru memilih kalimat "tawaran kita terlambat" tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut?"

Di balik layar, Kale mengangguk. "Gue juga notis hal itu, makanya gue nggak bertanya lagi karena takut Rengganis menjadi defensif. I didn't mean any harm, it's just feel off. Apalagi, dari keluarga Shahbad, Armani itu yang paling dikenal di kalangan pegiat seni. He's well known kolektor and dealer. Kematian dia yang misterius tanpa adanya kabar selain foto karangan bunga yang kita lihat, adalah sesuatu yang mencurigakan. Mereka pasti punya alasan melakukannya dan dari deduksi itu, lo harus mendengar apa yang Kanaya temukan."

Layar laptop kemudian menunjukkan gambar berisi identitas siswa. Vale nyaris melotot hanya untuk membaca tulisan kecil itu satu persatu.

"Sebelum gue mendongeng, gue akan sungkem dulu via online karena insting lo yang setajam anjing Doberman," Kanaya menyatukan kedua tangannya sembari menunduk, membuat Vale menganga dengan muka kebingungan.

"Lo ngapain deh, anak aneh."

Terdengar mendengkus, Kanaya menggerutu kecil. "Kaku amat deh lo kayak kolor badak," Kanaya mencebik dan Kale di sampingnya menggeleng tak habis pikir. Vale hanya mengangkat bahu tak acuh.

"Jadi?" sambar Vale tak sabar. Kanaya ini banyak sekali pembukaannya seperti pejabat pemerintahan.

Namun meski masih dengan mencebik, Kanaya akhirnya menjelaskan. "Pelukis Rozentine, si Lilly yang sudah hampir nangis karena lo bully itu adalah putrinya Armani Shahbad. Lo bisa periksa di data siswa yang berhasil gue dapat dari Wikana. Untuk jelasin kaitannya dengan misteri kematian Armani, gue balikin ke Kale aja soalnya males mikirnya."

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang