BAB ENAM BELAS

7.5K 710 35
                                    

Begitu denting alat makan akhirnya berhenti, Vale yang kesusahan menelan sebutir nasi itu berusaha sekuat tenaga untuk tidak memuntahkan makanannya.

Setiap kali berada di meja makan istana, perempuan itu tidak pernah bisa menyelamatkan diri dari bayangan hari ketika Kaisar kehilangan kesabarannya, dan pergi dari rumah tanpa menoleh ke belakang. Pada kondisi ini, Vale jadi merindukan wajah kesal Kale tiap kali dia datang padanya untuk meminta makan.

Jayasena mengelap mulutnya sebelum meneguk wedang jahe hangat, wajahnya yang dari luar tampak hangat dengan wujud seorang bapak penyayang itu ditangkap Jemima dengan ekspresi penuh perhitungan.

“Saya berharap masakan koki kami sesuai dengan selera Anda, Ibu Maharani dan keluarga. Sayang sekali Pak Bernardi tidak bisa bergabung.” Jayasena membuka percakapan dengan ramah. Nada suaranya membuat Jemima sadar di mana Maja mendapatkan caranya berbicara.

Maharani tersenyum hangat, tapi Madea mengerti lebih dari siapapun bahwa sang ibu tengah meningkatkan kewaspadaan. “Kami merasa terhormat bisa diundang ke istana,” balas Maharani. “Ayah mertua menitip salam pada Bapak dan permohonan maaf karena tidak bisa memenuhi undangan. Beliau sudah sepuh dan sedang tidak enak badan,” sesal Maharani.

Rahayu Ranju mengambil celah, “Sampaikan salam kami juga kepada beliau. Selain itu, benar-benar sebuah kehormatan untuk kami bisa memiliki Nak Jemima sebagai menantu. Pernikahan ini benar-benar berkah yang menyatukan keluarga kita,” ucapnya.

“Kami juga sangat bahagia memiliki Avalei,” Maharani berkata lembut. “Sejak ayah Jemima meninggal, keluarga kami sudah lama tidak merasakan kebahagiaan seperti ini.”

“Ah, ya benar,” Rahayu menyahut segan, dia tidak menyangka Maharani akan membawa topik kematian suaminya yang meninggal tiga tahun lalu. “Pak Benjamin pasti bahagia melihat putranya sudah berkeluarga.”

“Saya juga berpikir demikian,” Maharani mengambil cangkir teh, menyesapnya dengan keanggunan yang Vale lihat juga ada pada Madea. “Sayang sekali beliau pergi sebelum melihat cucu dari putra kesayangannya.”

Jemima melirik Vale dari ujung matanya ketika ibunya mulai menyinggung topik itu. Sementara sang istri tampak kesusahan menentukan kue basah mana yang harus ia kunyah, Jemima menyentuh lengan Vale. Perempuan itu menatap Jemima dari pantulan gelas kaca. Dari bibirnya yang mengatup rapat, Jemima dapat mendengar teriakan permintaan tolong Avalei yang merana. Dia mengerti.

“Meski begitu ibu, ayah tetap mengawasi kita, kan? Dia pasti akan dengan sabar menunggu kelahiran cucu pertamanya, bukan begitu?” sahut Jemima mengambil alih situasi. “Saya dan istri akan membuat keluarga kita semakin bahagia.”

Perlahan Maharani mengulas senyum lebih hangat, lantas mengangguk menyetujui sang putra.

“Kamu benar, Nak.” Maharani kemudian beralih menatap Jayasena. “Maaf, Pak Besan, saya pasti kelihatan ingin sekali menimang cucu. Maklum, di usia sekarang ini, apalagi setelah melihat suami saya pergi lebih dulu, saya jadi sering tidak sabaran,” sambung Maharani dengan nada yang lebih jenaka

Jayasena menanggapi dengan tawa ramah dan menimpali dengan sama jenakanya. “Memang kalau sudah seumuran kita, pasti yang diinginkan cucu yang akan menghiasi hari tua kita. Saya juga sudah mengidam-idamkan menggendong cucu sebelum mencapai usia di mana saya tidak sanggup berjalan tegak lagi.”

Dan pembicaraan itu berlanjut dengan tawa yang hanya keluar dari para tetua. Maja tahu bahwa Vale merasa tidak nyaman, sementara Madea sedari tadi hanya mengulas senyum hangat sembari menimpali dengan tawa kecil setiap kali diajak bicara.

Jemima lebih dari itu, sudah menghabiskan kue lumpurnya yang ketiga, menikmati kudapan sebanyak yang ia bisa sebelum pembahasan yang sesungguhnya dimulai.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang