BAB EMPAT BELAS

7.5K 774 28
                                    

“Apa kamu dan Jemima sudah mulai merencanakan program kehamilan, Nak?”

Sebagai catatan, ini baru hari kedua Vale berstatus sebagai istri. Dan malam pertama mereka dihabiskan dengan tidur tanpa melakukan apapun karena kelelahan.

Maharani Sastranegara yang tampak elegan dengan gaun malam berbahan sutra warna emerald itu meletakkan senyum pada Vale yang mengerjap bingung—dari sorot matanya yang kelam terpancar keagungan yang angkuh. Di sisinya Madea Suri terlihat begitu indah dan elegan dengan gaun rancangan Danny Wang—memadukan warna yang senada dengan gaun sang ibu, penampilan perempuan itu tampak begitu menawan dengan set anting bulat dan kalung mungil bermata zamrud. 

Rambutnya yang cokelat keemasan digelung sederhana sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Lalu dia memiliki bentuk hidung yang kecil dan mancung. Dan seolah itu belum cukup Madea juga dianugerahi semburat kemerahan alami di pipi. Vale dapat melihat Madea begitu cerdas dari matanya yang cemerlang, sementara itu bulu matanya yang lentik berpadu sempurna dengan bibirnya yang ranum. Kini, ketika semua fitur itu disatukan dengan kulitnya yang begitu putih, dari dekat Madea lebih terlihat seperti firman kasih Tuhan dari pada manusia biasa. Ia menatap Vale dengan kasih sayang.

“Ibu, mereka baru menikah,” sergah Madea—Vale nyaris memeluk perempuan itu karena terharu. “Beri mereka waktu dan ibu akan segera menimang cucu.”

Maja benar-benar tidak waras melepaskan perempuan seperti Madea. Vale tidak mengerti jalan pikiran kakaknya.

“Ibu kan hanya bertanya, Madea,” ujar Maharani sambil tertawa, tapi kilatan matanya berubah dingin ketika kembali menoleh pada Vale. Dari sisi manapun, Maharani memiliki kontrol emosi yang mengagumkan.

Vale tertawa canggung. “Ah, iya itu,” ia meneguk saliva dengan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlihat panik. “Jemima ingin kami mencoba secara alami dulu—”

“Lebih baik diprogram dengan baik juga, Nak,” Maharani memotong dengan lembut. Suaranya terdengar tegas kendati wajahnya tampak ramah. “Usia Jemima sudah 30 tahun, dan dia orang yang selalu sibuk,” di sela kalimat itu dia kembali tertawa lirih, melirik sang putra yang berbincang dengan Jayasena dan para tamunya.

“Kita sebagai wanita harus bisa aktif dan berinisiatif.” Vale rasanya ingin segera melarikan diri tapi pada akhirnya dia hanya bisa terus tersenyum. Maharani melanjutkan, “Laki-laki itu seperti layang-layang, kita harus pintar-pintar untuk tahu kapan menariknya mendekat atau melepasnya sejenak. Selagi bisa melakukannya sesegera mungkin, jangan menundanya.”

Hahaha. Ternyata Jemima mewarisi kharisma yang mendominasi itu dari sang ibu. Vale masih tersenyum. “Iya, Ibu,” katanya kepada sang ibu mertua. “Aku akan membahasnya sesegera mungkin dengan Jemima—”

“Mas,” potong Maharani. Vale berkedip-kedip bingung sementara wajah ibu mertuanya menjadi begitu serius. “Alangkah baiknya jika kamu memanggil suamimu dengan sebutan, Mas. Iya kan, Nak Avalei?” tandasnya sembari tersenyum lagi.

Tuhan, tolong kirim siapa saja! Vale merasa kehabisan napas jika harus meladeni lebih banyak lagi. Tersenyum seperti yang dia lakukan selama beberapa jam terakhir ini, Vale mengangguk. “Maksud aku, Mas Jemima.” Maharani terus menatap lurus pada Vale, entah kenapa itu membuat Vale seperti dikuliti hidup-hidup. “Nanti aku sampaikan ke Mas, mengenai keinginan Ibu.”

“Iya bagus, memang sudah seharusnya seperti itu,” Maharani mengangguk puas. 

Kanaya dan Kale tidak tampak di jamuan makan malam dan satu-satunya harapan Vale untuk bisa diselamatkan dari situasi ini adalah Jemima.

Sang suami, bagaimanapun, telah terbiasa dengan interaksi sosial seperti ini. Jamuan makan malam sudah menjadi makanan sehari-hari ketika kamu bagian dari pusat perekonomian dan kekuasaan. Oleh karena itu, ketika ia merasakan tatapan tajam menusuk punggungnya, Jemima tahu Vale tengah dalam kondisi yang genting. Ia segera menyelesaikan percakapan dan pamit untuk menjemput istrinya. “Istri saya tampaknya tidak bisa jauh-jauh dalam waktu lama,” kelakar Jemima yang disambut tawa yang berderai dari sang ayah mertua dan koleganya. “Saya permisi.”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang