BAB LIMA PULUH DELAPAN

6.4K 764 98
                                    

On your call, Jemima,” Miranda Tadjanendra meletakkan kembali hasil studi lapangan berikut nama-nama pemilik wilayah di calon Kota Istimewa Nusantara yang ditemukan tim Jemima.

“Saya tidak memiliki masalah dengan siapa yang akan menang, baik Anda atau Madea sama saja.” Perempuan bergaun hitam itu menyeruput teh susu dari cawan porselen, mengulas segaris senyum. Jemima dapat merasakan rahangnya menegang samar kendati wajahnya tetap tenang tanpa menunjukkan reaksi emosional.

Jemima yakin dia datang dengan persiapan matang. Meski begitu, tidak ada yang tahu arah berpikir sang ular putih. Miranda terkenal memiliki wajah seperti kertas yang sulit untuk dibaca, permukaan air yang tenang tapi sanggup menenggelamkan apa saja.

Namun, ketika Jemima berpikir dia mungkin akan menggunakan rencana terakhir, Miranda meletakkan tehnya. Ia mengangkat jari untuk memberi perintah pada seorang sekretarisnya yang telah siap dengan sebuah dokumen.

“Tapi Anda memiliki adik saya,” pupil Jemima melebar, kemudian Miranda mengulurkan dokumen itu padanya. “Haveen Cato memang berpotensi menjegal Anda, tapi dengan dua Tadjanendra di dalam tim, Anda seharusnya bisa bertahan.”

Jemima membaca dokumen yang diberikan Miranda sekilas dan mengangguk puas.

Dokumen itu berisi sejumlah nama dan data transaksi dari penjualan Haveen Cato Ketujuh, transkrip percakapan antara manager operasional galeri dengan beberapa orang, serta salinan MoU kerjasama Heavenly Art Gallery dengan Sartika Art School yang menunjukkan nama Madea sebagai direktur utama.

“Dengan ini, maka kontrak Anda dengan kami sudah tuntas. Sebagai klien Tadjanendra sekaligus sahabat Theodore, akan memalukan jika Anda sampai kalah.”

Ruangan kerja sang ular putih terasa lebih lapang setelah kalimat itu. Jemima akhirnya dapat menarik seringai percaya diri, lantas berkata yakin. “You can have my word, Miranda.”

Jemima tidak pernah tahu jika mansionnya terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Pria itu berjalan langsung menuju ruang baca, meminta Budiman dan asistennya untuk meninggalkannya. Dia melepas kancing paling atas kemeja sebelum duduk dengan bersandar di sofa, lalu menekuri bantal nanas yang tergeletak di atas kursi putar.

“You look even uglier with that expression, Jemima.”

“What kind of expression?”

“That I-am-so-handsome-now-kiss-me-good-night kind of expression. Please stop, kamu bikin aku merinding.”

Jemima terkekeh geli saat ingatan percakapannya dengan sang istri terputar di kepalanya. Dia dapat melihat bayangan Vale yang mendelik panik ketika dia mengikis jarak dan menjepitnya di kursi, lalu sang istri akan mencicit galak dengan berkata.

“Sikat gigi ... dulu. Baru setelah itu aku pikirkan.”

Jika diingat lagi, saat itu Jemima tertawa begitu lepas sampai dia tak sadar mengangkat tubuh Vale ke atas meja. Tapi sekarang, Jemima hanya menemukan ruangan yang lengang dan sepi. Tidak ada lagi perempuan galak yang suka menggigit bibirnya ketika berpikir, atau bertindak impulsif karena salah tingkah.

Suara ketukan pintu lantas terdengar dari luar—membuyarkan kenangan Jemima hingga ekspresi sendunya kembali menjadi keras. Dia kemudian mempersilakan orang itu untuk masuk dan wajah Serayu muncul dari balik pintu.

“Apa ada kabar tentang istri saya?” tanya Jemima mendahului.

Namun Serayu enggan menjawab langsung, alih-alih dia meletakkan surat yang sebelumnya dititipkan Jemima padanya. “Mbak Vale tidak mau menerimanya,” ucap Serayu. “Lebih tepatnya, tidak ada cara untuk menjangkau beliau saat ini. Kami tidak diberitahu di mana keberadaan Mbak Vale dan apa yang ia lakukan selain pesan bahwa Mbak Vale ingin agar Pak Jemima tetap berlaku seolah beliau ada di rumah ini.”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang