BAB EMPAT PULUH SEMBILAN

6.3K 765 45
                                    

Secara ironis, Vale adalah satu-satunya orang yang diberitahu Jemima tentang insiden di Paris. Saat makan malam, baik Bernardie, Maharani, maupun Madea tetap berlaku normal seolah tak terjadi apa-apa.

Vale ingat perutnya melilit ketika Bernardie tiba-tiba mengajaknya bicara—dia sudah siap merapal doa dengan berbagai bahasa dan ragam agama, takut tiba-tiba pria tua itu mengutuk Vale jika tahu apa yang terjadi pada cucu laki-lakinya. Untungnya, seolah Tuhan mendengar doa-doa itu, Vale menghela napas lega karena Bernardie hanya menanyakan bagaimana Jemima memperlakukan dia selama ini, apakah Vale kesulitan, dan bagaimana kabar Jayasena.

Terlatih bertahun-tahun menghadapi bapak di meja makan, Vale dengan mudah mengulas senyum dan menjawab lugas. Bernardie tampak tak terkesan, kendati begitu dia juga tidak menunjukkan reaksi penolakan. Bahkan Maharani yang selama makan malam tak melepas tatapan tegang dari mertua dan menantunya terkejut karena Vale dapat mengatasi Bernardie tanpa membuat sang kepala keluarga mengeluarkan kata-kata tajam.

Kamu mungkin berkah yang ditunggu-tunggu keluarga ini,” ucap Bernadie sebelum menyelesaikan makan malamnya. Mata pria tua itu menatap Vale dengan banyak perhitungan, lantas ketegangan perlahan sirna saat dia tak menemukan tanda bahwa Vale adalah ancaman—begitu saja, dan pemimpin keluarga Sastranegara itu pergi dengan Madea yang mendorong kursi rodanya menuju paviliun.

Intinya, jika mereka tahu saat ini Vale menyembunyikan kabar bahwa Jemima berkelahi hingga masuk kantor polisi di Paris, Vale pasti sudah berganti label sebagai pembawa sial.

Oleh karena itu, sampai suaminya pulang, Vale akan pura-pura tidak tahu apa-apa.

“Tolong sampaikan ke Madea agar akomodasi tamu VIP dan trip ke Raja Ampat dipastikan sudah siap,” ujar Maharani pada seorang sekretarisnya—Marina Ricardo—yang baru-baru ini gencar mengakrabkan diri dengan Nathan. Perempuan itu sigap mencatat, ujung matanya menyadari kedatangan Vale dan pengawalnya yang tampan.

“Ibu,” panggil Vale sembari mengulurkan buket bunga peony merah muda yang diterima sang ibu mertua dengan mata melebar.

“Nak!” Maharani berseru. “Kenapa kamu nggak istirahat di rumah?”

Vale tahu maksud pertanyaan itu baik, Maharani tidak ingin menantunya kelelahan dan jatuh sakit. Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini Vale jadi lebih sensitif, dan tahu-tahu saja kurva di wajahnya turun. “Aku hanya ingin membantu ibu,” ucap Vale lirih. “Bekerja dari rumah terus bikin aku jenuh. Apa Vale mengganggu?”

Maharani mengerutkan kening, dia melirik Nathan yang menghindari tatapannya. “Saya punya cukup staf untuk mengurus persiapan di sini,” perempuan itu menjeda, meraih tangan Vale dan menuntunnya menuju ruangan VIP.

“Jika kamu tiba-tiba sakit lagi, justru itu akan merepotkan saya.” Vale terlihat mengulum bibir, tidak mengatakan apa-apa karena merasa buruk. Nathan mengekor di belakang dengan tatapan khawatir. Maharani menghela napas. “Tapi berhubung kamu sudah di sini, lakukan apa yang kamu mau.”

Beberapa staf dipanggil oleh sang ibu mertua, mereka dengan sigap membawa beberapa troli makanan yang akan disajikan pada acara nanti malam.

Maharani dengan teliti mengundang koki dari restoran yang mendapat label Michelin Stars untuk menyiapkan hidangan. Sementara untuk kudapan ringan, dia secara khusus menyiapkan macaron dengan edible gold sesuai permintaan putranya, berbagai jenis pastry dan kue seperti strawberry shortcake, chocolate ganache cake, choux au craquelin dari bakery ternama hingga makanan tradisional Indonesia buatan koki terbaik. Semua disiapkan dengan saksama dan penuh perhatian. Menihilkan celah apa pun bagi nama Sastranegara.

Vale melirik kehadiran macaron dan mulutnya seketika berair. Belum lagi mango mouse cake yang tampak manis dan segar itu. Rasanya Vale tidak pernah mendengar kata-kata pedas ibu mertuanya dan sibuk berpikir bagian mana dulu yang harus dia coba.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang