BAB LIMA PULUH ENAM

6.6K 828 109
                                    

“Apa kamu baik-baik saja?”

Vale sudah mendengar pertanyaan itu puluhan kali. Dari semua orang, dan kini juga ditanyakan oleh Jemima—suaminya.

Tak acuh, Vale menjawab cepat. “Ya, tentu saja. Anyway, aku ingin membahas beberapa kejanggalan di laporan keuangan galeri dan Damian—”

“Kamu boleh menangis atau pun marah, Avalei.” Jemima mendekati sang istri yang membeku di kursi, berusaha meraih tangannya. “Aku akan menerima kamarahan kamu, tapi jangan seperti ini.”

Jemima terdengar tulus, matanya memburam seiring dengan Vale yang menjauhkan tangannya dari jangkauan sang suami.

“Jangan memendamnya sendiri, Istriku.”

Muak. Hanya itu yang dirasakan Vale saat ini. Dia menggeleng tak habis pikir dan menatap Jemima dengan sorot mata penuh amarah.

Dengan kasar Vale membuang napas, mendesah lelah. “Kamu berharap aku melakukan apa, Jemima?” tanyanya frustrasi. “Marah? Menangis? Atau membiarkan masku membunuh kamu?”

Ruangan kerja Vale terasa sesak ketika akhirnya emosi itu terpecah dalam serangkaian kalimat yang menusuk jantung Jemima bak belati.

“Aku bingung. Aku nggak tahu kenapa semua orang ingin aku mengatakan sesuatu tentang bayiku. Kenapa aku harus menjawab kalian? Bagaimana aku melakukannya saat aku bahkan baru tahu keberadaannya setelah dia pergi?”

Vale berkata putus asa, membuat jaraknya dan sang suami terbentang lebih lebar. Jemima menelan kembali ucapan sebelumnya.

Jemima sadar semua pilihannya keliru, dan langka yang dia ambil telah menghancurkan sang istri hingga perempuan itu bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara menunjukkan duka. Melihat Vale kehilangan kata-kata dan akhirnya terduduk lemas di kursinya, membuat Jemima tak memiliki pilihan.

Meski sempat goyah, ia segera menampar kesadarannya—mengingatkan diri bahwa serangan yang dia terima saat ini telah sulit untuk dibendung. Dan pada akhirnya, tidak ada cara lain lagi.

“Bercerai, apa kamu benar-benar menginginkannya, Avalei?”

Sebagai catatan, Vale tidak pernah menduga pertanyaan itu akan diucapkan sang suami secepat ini. Dia sempat tertegun lalu perlahan mengangguk, di kepalanya kini sibuk membuat dugaan bahwa pukulan Maja telah melakukan sesuatu pada otak suaminya.

“Apa?” Vale menelengkan kepalanya kebingungan lalu melanjutkan dengan ragu. “Well, aku nggak pernah mengubah tujuanku, jadi ya, aku masih menginginkan perceraian kita setelah semua urusan ini selesai.”

Jemima menghitung napasnya yang menjadi berat, matanya yang dibalut lingkaran hitam karena kurangnya tidur membingkai wajah sang istri dengan ekspresi sedih. “Baiklah,” Vale tersentak dan melihat sang suami dengan mata membelalak. “Jika itu membuat kamu bahagia, mari kita bercerai.”

Vale terlalu terkejut untuk bisa merespon. Dia menautkan alis, menatap sulit dengan ekspresi tak percaya.

“Kamu ... bilang apa barusan?” Vale menggaruk cuping telinganya, berpikir bahwa dia mungkin salah dengar. “Kapan? Sekarang?”

“Mari bercerai,” Jemima mengulang kalimatnya dengan suara lembut, menahan dirinya untuk tidak berdiri dan meraih tubuh sang istri yang membeku. “—secepatnya.”

Vale menyipitkan mata curiga. “Apa kamu merencanakan sesuatu?”

Sayangnya memang benar begitu. Jemima mengerti alasan kenapa Vale begitu terkejut. Dalam prenuptial agreement mereka, tertulis bahwa sejumlah aset akan dialihkan pada Vale setelah kelahiran anak pertama, maka wajar ketika Vale kini menyalang dengan mata tajam tidak terima.

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang