BAB ENAM

9.7K 935 44
                                    

Bagaimana ini? Gemerlap lampu yang menyorot merdu di antara bangunan-bangunan tua berpadu begitu cantik dengan paras yang kini tampak tersenyum dari sorot matanya. Berbeda dengan Kota Tua siang hari yang ramai pernik kegiatan, malam memeluk sudut kota ini dengan magis yang sulit dijelaskan.

Hangat, rekat, dan tenang. Tempat yang cocok untuk merajut kembali yang merenggang, saat yang tepat untuk jatuh cinta. Dan tepatnya, padanya yang kini menunjuk pertunjukan teater di depan museum Fatahillah.

“Aku dengar mereka sudah melakukan perjalanan di beberapa kota, dan Kota Tua akan menjadi perjalanan terakhir musim ini,” Danielle menatap penuh binar seraya menarik tangan Jemima untuk berjalan bersamanya. “Pertunjukan mereka selalu di jam tengah malam, sesuai dengan Tuan Muda Sastranegara yang membenci keramaian.” Khusus pada sebutan Jemima, Danielle melirihkan suara dengan gestur mendekat pada telinga sang pria.

Jemima sebenarnya tidak suka menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Ruang publik adalah lokasi yang dihindari orang-orang sepertinya, tapi jika itu Danielle yang meminta, Jemima akan meletakkan nama keluarganya di belakang dan meraih tangan perempuan itu untuk pergi bersama.

“Iya-iya,” Jemima mengeratkan genggaman, membawa Danielle ke dalam jaketnya. Ia lantas meletakkan dagu di atas puncak kepala Danielle bersama dengan kedua jemarinya yang tertaut di depan perut sang perempuan. “Kamu harusnya pakai yang lebih tebal. Di sini ternyata lebih dingin dari yang aku kira.”

“Aku sudah pakai jaket dan syal yang hampir bikin aku susah bernapas juga kamu bilang pakaianku kurang tebal?” protes Danielle.

Jemima terkekeh. Para penonton mulai berdatangan, beberapa pemain tertangkap mata Jemima tengah bersiap-siap. Jemima lalu menghela napas. “Aku nggak suka orang lain melihat kamu.”

Oh stop this possessive behavior,” Danielle mengeluh dengan mata berotasi malas, “No one lay their eyes on me as pervert as you do.”

Dan begitu saja, Jemima membawa Danielle untuk menoleh ke arahnya lalu mencuri ciuman. Satu tangannya yang bebas mengangkat syal di leher perempuannya sebagai tabir, mengambil waktu sebanyak mungkin untuk menyembunyikan Danielle hanya untuknya.

“Ini bener nggak, sih jalannya? Perasaan nggak sampai-sampai, deh.”

Vale sudah mengomel sejak di atas motor. Nathan yang tidak bisa menyelamatkan telinga karena gadis itu kini menempel di punggungnya seperti anak monyet, hanya bisa menghela napas pasrah.

“Lagian jok motor lo terbuat dari batu ya?” Vale mengelus bokongnya yang keram. “Rasanya bokong gue menjadi tepos dalam semalam.”

“Kalau pakai mobil repot ngeluarinnya, Mbak,” Nathan berkata sabar. “Motor juga lebih cepat sampainya.”

Vale mencebik. Dia sebenarnya bukan kesal pada Nathan. Hanya saja bokongnya benar-benar kaku setelah terjebak di atas motor besar berjenis Harley Davidson itu selama hampir satu jam. Belum lagi sebelumnya Vale juga harus berjalan kaki cukup jauh dari gerbang istana setelah berhasil mengelabuhi penjaga. Intinya, jika Haveen Cato tidak muncul malam ini, Vale berpikir untuk menggigit telinga Kale.

“Lo, pernah ke Kota Tua nggak?”

Eh? Nathan berhenti sejenak ketika mendengar pertanyaan itu, lalu berjalan lagi sambil mengangguk.

“Gue baru pertama ke sini,” Vale berkata begitu lirih, meski dari nadanya Nathan dapat mendengar jika gadis itu mengatakannya untuk dirinya sendiri. “Kalau siang, apa sama seperti sekarang ya? Gue nggak mengerti kenapa Kota Tua jadi destinasi wisata yang suka dikunjungi orang-orang.”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang