BAB LIMA PULUH DUA

6.5K 889 192
                                    

Mikail benar-benar menghajar Jemima hingga pria itu harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Hidungnya patah seperti ponselnya yang remuk tak berbentuk, sementara sekujur tubuhnya penuh luka. Jemima meringis perih saat menyentuh ujung bibirnya, bahkan setelah beberapa hari luka lebam itu masih membuatnya kesulitan.

Kedatangannya ke Paris untuk menjemput Danielle pada akhirnya berakhir sia-sia.

“Orang kayak lo, kalau nggak dihajar memang nggak akan mau ngerti sih, Je.” Komentar Theodore setibanya di Paris setelah mendengar kabar Jemima dan Mikail berkelahi.

Selama perawatan, Jemima terus mencoba menghubungi perempuan itu melalui Theodore kendati tetap tak mendapat balasan. Dia ingin mendengar langsung kebenaran mengenai bayi mereka, apakah Danielle benar-benar menggugurkannya atau apakah perempuan itu baik-baik saja.

Sayangnya, ketika kembali Theodore hanya menyerahkan receipt perawatan yang menunjukkan bahwa Danielle telah melakukan operasi pengangkatan janin. Dan Jemima hari itu lebih hancur dari saat dia kehilangan ayahnya.

Man, there's nothing we can do anymore,” bujuk Theodore ketika Jemima kehilangan kesabarannya. “Your baby is gone, dan lo nggak punya alasan lagi untuk mengejar Danny.”

Theodore tahu lebih dari siapa pun bahwa Jemima sangat membenci kondisi ketika dia tak mendapat apa yang dia inginkan. Pada dasarnya, Jemima dan dirinya adalah sama. Tapi Theodore berani jamin, dia tidak main perempuan. Dia masih cukup waras untuk tidak memantik amarah Miranda.

Theodore saat ini sudah memejamkan mata di kursi private jet dengan rute menuju Jakarta yang memakan waktu lebih dari 16 jam itu. Ia sudah muak melihat wajah Jemima yang berantakan dan kelakuan pria itu yang membuatnya frustrasi, sehingga dia memilih untuk tidur di kursi yang berjauhan.

Menghela napas berat, Jemima  berdecak melirik Theodore yang sudah memasang penutup mata. Ia kini membaca ulasan hasil galang dana dan follow up pembangunan smelter yang sudah dimulai. Seorang pramugari membawakannya kopi dan kudapan ringan rendah gula—mengingatkan Jemima tentang Avalei, istrinya. Dan tahu-tahu saja pria itu sudah mengulas senyum.

Dia belum mendengar kabar lagi mengenai sang istri selain bahwa proses penuntutan atas lukisan palsu yang digawangi Damian Saeed sudah masuk ke tahap akhir penyidikan. Sejak kepergiannya, Vale memang tidak pernah membalas pesan yang Jemima kirim. Theodore sempat mendapat telepon dari Budiman bahwa Maharani berusaha menghubungi Jemima, tapi ponselnya benar-benar mati dan Jemima yang saat itu sedang menjalani perawatan akibat pukulan Mikail memutuskan untuk tidak menghubungi sang ibu karena takut dia khawatir.

Lagipula menurut Theodore, selagi dia sudah mengabarkan pada Vale bahwa suaminya terlibat perkelahian sampai dibawa ke kantor polisi, tugasnya sudah selesai. Jadi dia tidak perlu repot-repot mencari tahu perkembangan terkini mengenai apa yang terjadi di Jakarta.

“Theo,” panggil Jemima. Si pemilik nama bergeming. “Gue tahu lo belum tidur ya brengsek.”

Menendang kakinya di udara dengan kesal, Theo lantas membuka penutup matanya dan menyalak. “Berisik lo setan!”

Jemima mengabaikan makian itu dan membaca kembali email yang dia terima. “Budiman ngomong apa aja ke lo?”

Theo memberengut sambil mengucek matanya. “Mak lo ngamuk karena lo nggak bisa dihubungi.”

“Ada lagi?”

Menatap bingung dengan masih memasang tampang kesal. Theo mengangkat bahu. “Itu doang anjing, lo kemarin-kemarin gue suruh hubungi balik nggak mau, sekarang marah-marah ke gue.”

He said my wife is sick.”

“Yes, and?”

Jemima mengerutkan keningnya resah. “Gue baru baca email-nya, lo emang nggak dengar kabar apa pun soal Vale?”

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang