BAB EMPAT PULUH TUJUH

6K 744 93
                                    

“Yayasan Rumah Kasih Ibu bukan hanya yayasan sosial untuk penyandang disabilitas,” Maharani menyerahkan karangan bunga matahari yang dia bawa pada Sarah, penanggung jawab Rumah Singgah Kasih Ibu di daerah Fatmawati. Kemudian menggandeng Vale untuk masuk dan melihat ke dalam. “Kami juga bergerak untuk memberdayakan perempuan yang menjadi korban kekerasan rumah tangga, atau anak-anak yang menjadi penyintas kekerasan seksual.”

Seorang anak perempuan berlarian di sekitar kaki Vale untuk berebut bingkisan yang dibawa Maharani. Sang ibu mertua mengulas senyum lalu berjongkok untuk merengkuh anak kecil itu. “Jangan berebut, semuanya akan kebagian, oke?” ucapnya lembut.

Anak kecil yang tidak diketahui namanya itu menyengir dan mengangguk patuh, dari arah taman seorang perempuan seumuran dengan Vale segera menggendongnya. Dia terlihat segan dan berkali-kali meminta maaf. “Maafkan anak saya Bu Maharani,” sesalnya. 

Maharani menggeleng sambil meraih tangannya yang kecil. “Namanya anak-anak. Kamu apa  kabar Yulia?”

Perempuan yang dipanggil Yulia itu mengulum senyum canggung, kemudian menjawab lirih. “Saya baik Bu, berkat ibu saya dan anak saya bisa hidup dengan nyaman sampai sekarang.”

“Bukan saya, tapi karena diri kamu sendiri,” sanggah Maharani. “Jika kamu nggak memiliki keberanian untuk melangkah pergi, saya nggak akan memiliki kesempatan untuk mengulurkan bantuan.”

Vale memperhatikan interaksi itu dengan saksama. Hatinya menghangat saat melihat bagaimana akrabnya sang ibu mertua dengan semua orang di rumah singgah. Mereka kemudian berjalan ke arah taman dan menemukan sekumpulan ibu-ibu tengah meronce gelang-gelang kecil yang lucu, sebagian tengah merajut tas. Mereka tampak asyik berbincang sambil melakukan pekerjaan sampai tidak menyadari kedatangan Maharani dan Vale.

“Apa gosip hari ini sangat seru?” sela Maharani ketika dia mengambil duduk di atas rumput. Vale mengikutinya seperti anak kucing.

Ibu-ibu itu terkesiap sejenak hingga yang semula ramai menjadi hening, kemudian di detik selanjutnya mereka berseru serempak. “Astaga Bu Maharani! Ndak bilang-bilang kalau mau ke sini!”

“Saya sudah kangen berat sama Ibu, lama nggak berkunjung, sih.”

“Bu saya kemarin berhasil buat motif baru, nanti Ibu saya kasih satu, ya?”

Sambutan itu begitu rekat dan ramah, wajah-wajah perempuan yang menemukan rumah di dunia mereka yang kecil. Vale merasakan ujung bibirnya tertarik ke atas tanpa sadar.

Maharani tertawa kecil atas sambutan itu dan membalas jabatan tangan satu persatu. Ia mengatakan beberapa hal mengenai alasannya jarang berkunjung dan pujian pada hasil kerajinan tangan yang semakin cantik. Dia lantas menoleh pada sang menantu yang menekuri salah satu hasil ronce dan meraih lengannya. 

“Ibu-ibu, hari ini saya datang dengan menantu saya. Perkenalkan, namanya Avalei,” ujarnya dengan kilat bangga. Cukup membuat Vale tertegun karena ekspresi itu tidak pernah Maharani tampilkan sebelum ini. “Nanti kalau saya sudah tua, dia yang akan menggantikan saya.”

Manik mata ibu-ibu berkilat malu ketika mereka terlalu asik temu kangen dengan Maharani sampai tidak menyadari kehadiran perempuan muda yang menatap mereka kagum. Vale mengulas senyum lebar hingga menampilkan gigi-giginya yang kecil, mengulurkan tangan untuk menjabat ibu-ibu itu. “Saya Avalei,” ujarnya. “Maaf tadi saya terlalu kagum dengan kerajinan ibu-ibu sampai nggak sempat memperkenalkan diri.”

Kamu bisa melihat semburat merah secara kumulatif merekah di wajah para perempuan itu. Mereka terkekeh geli dan sibuk menutupi mulut dengan tangan atas selendang yang mereka gunakan untuk menggendong anak, terlihat imut karena malu. 

HOLIER THAN THOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang